|
*1*
|
Saat
ini aku masih sangat ngantuk, tapi aku harus sekolah. Ahhh… pagi ini aku benar-benar
lemas gara-gara semalam hanya empat jam aku tertidur. Untuk member makan otakku
hingga kenyang, aku harus extra belajar. Setiap harinya aku berusaha sekeras
mungkin biar otakku ini berubah jadi sepintar Albert Einstein, meskipun sering melamun tapi bisa jadi ilmuan, kerenkan? Tapi sayangnya aku bukan Albert
Einstein si ilmuan pintar itu, dan diapun bukan aku si cowok ganteng n’ cool.
Setidaknya,
meskipun otakku ini pas-pasan, tapi aku raja optimis. Meskipun kadang orang
bilang apa yang ku lakukan itu nggak masuk akal, tapi aku selalu berusaha
mencobanya. Untungnya ada sahabatku Dony, dia akan siap sedia setiap dimintai
pertolongan, kayak super hero. [ha…ha…ha…]
“Al,
cepetan bangun” Dony menarik selimutku. Dia selalu melakukan cara apapun untuk
membangunkanku.
“ahh
iya iya, 5 menit lagi oke” aku terus memejamkan mataku.
“oke,
5 menit lagi, tapi ntar malem waktu belajar kamu ditambah satu jam” kata Dony,
mengancamku.
“ahh…
nggak! apaan”
“makanya
cepetan bangun” Dony menarik tanganku.
“iya
oke, aku bangun terus mandi sekarang. Puas?” mau nggak mau, aku terpaksa
bangun.
“puas
banget Al” Dony tersenyum puas.
Dia
emang temen yang setia, tapi dia ngotot banget. Umurku lebih tua darinya tiga
minggu lima hari, tapi dia yang bertingkah lebih tua dariku. Aku bersahabat
dengannya sejak kelas 3 SD, dan sampai sekarang hubungan kita masih
sakinah-mawadah-warohman [ha…ha…ha...] maksudnya, hubungan kita masih baik dan
bahkan sekarang kita semakin dekat, sejak Dony tinggal dirumahku.
Saat
SMP, orang tua Dony kecelakaan dan keduanya meninggal ditempat. Dony anak
satu-satunya dan paman, bibi, kakek, neneknya di Jakarta. Awalnya setelah
ditinggal pergi orang tuanya, Dony berencana untuk pindah ke Jakarta, tapi aku
maksa dia untuk tetep tinggal disini. Dan kebetulan saat itu bapaku lagi nyari
guru private yang sabar ngadepin murid dengan seribu satu kenakalan sepertiku.
Guru terakhirku berhenti ngajar karena aku masukin obat pencuci perut ke
minumannya, akibatnya perutnya mules-mules ampe pagi dan dia kapok jadi guruku.
Itulah sebabnya, bapak minta Dony buat jadi guru private ku, dan nggak jadi ke
Jakarta. Berhubung Dony sahabatku, bapak pikir jika aku belajar dengannya, aku
bisa nyaman dan menikmati semua pelajaran.
Kukira
Dony bisa bantuin aku biar nggak terlalu sering belajar, tapi kacau. Setiap
hari sehabis sholat isya, aku harus-musti-kudu-wajib belajar sampai jam 10
malam, bahkan kadang-kadang bisa nyampe jam 11 malem. Tapi ada untungnya juga
sih, dengan begitu, peringkatku naik setiap tahunnya, dan ibu ngasih aku
hadiah. Terakhir di kelas 3 SMP semester 1 aku dapet peringkat 5, yang asalnya
nggak dapet ranking sama sekali. Dan saat lulus kemarin, nilaiku juga nggak
jelek-jelek amat, yah walaupun ujung-ujungnya tetep Dony yang lebih pintar.
Sampai
sekarang, Aldy dan Dony si sahabat sejati ini masih tinggal dirumah yang sama.
Saat ini aku dan Dony udah SMA dan di kelas 2 semester 2, yah bisa dibilang
umurku sekarang sekitar 17 tahun.
Tahukan
apa yang paling menarik dari kisah remaja kayak kita-kita ini? Yap, apa lagi
kalo bukan cerita cintanya. [ masa muda tanpa
cinta.... oh tidak bisa ha... ha... ha...].
Sekarang aku lagi suka-sukanya sama cewek di kelas yang namanya Luzy. Dia
cantik, pinter, menarik, dan yang paling penting dia itu pedes. Nggak ada yang
berani deketin dia kecuali Aldy si raja optimis ini. Sesempurna apapun Luzy,
nggak ada yang berani suka sama dia, karena dia itu super-duper jutek. Tapi
justru itulah yang membuatku tertarik.
Jarak
dari rumah ke sekolah cuma ngabisin waktu 15 menit
bada 5 detik kalo pake jam tangan,
dan sekarang kita berdua udah nyampe disekolah ini. Dan cewek sasaranku lagi
berjalan menuju perpustakaan sendirian.
“Luzy”
aku berteriak memanggilnya.
“ada
apa?” dia menatapku dengan tatapannya yang tajam setajam silet.
“kamu
inget aku?” aku tersenyum se-PD mungkin.
“emm”
Luzy terus menatapku “nggak” katanya, dia langsung membalikan badannya dan
melanjutkan langkah kakiknya.
Kurang
pedes banget kan itu cewek, tapi aku harus tetap sabar dan jadi cowok yang
manis biar dapetin dia. Kemaren waktu pulang sekolah, pas dia jatuh dari motornya
jelas-jelas aku nolongin dia, dan sejak SMP kita selalu duduk di kelas yang
sama, mana mungkin dia lupain wajah ganteng yang
tak ter elakan ini secepat itu.
Oke, tunggu beberapa hari lagi Aldy dan Luzy pasti jadian.
Sebenarnya
aku playboy, saat dirumah oke lah aku jadi anak papah dan mamah yang baik hati,
ramah tamah, tidak sombong dan rajin menabung meskipun di warung. Tapi setelah di luar rumah, itu
kebebasanku yang nggak bisa di ganggu gugat. Banyak cewek yang aku jadikan
bahan taruhan, dan semuanya berhasil. Karena itu, aku udah paham
sepaham-pahamnya dengan semua jenis perempuan. Mulai dari cewek polos
kaya HVS sampai cewek seganas Luzy. Selain itu, hobby ku
adalah maen trek-trekan, bisa dibilang pergaulanku agak bebas, tapi nyantai aja aku nggak
separah temanku yang lainnya, karena masih ada sahabat ku si superhero.
Untungnya Dony nggak pernah banyak nanya kalo aku minta apapun, kayak semalem
waktu aku minta dia anter aku ke tempat trek-trekan, dia nganterin tanpa banyak
pertanyaan dan nasehat. Temanku yang satu ini udah ngerti banget kalau aku
bukanlah orang yang suka diatur-atur.
“udahlah
Al, nggak usah maen-maen sama dia” kata Dony.
“kamu
kan tahu Don, kalau aku pernah pacaran sama tiga jenis cewek yang kayak gitu,
jadi aku hafal banget kalo dia tuh pura-pura jutek”
“Luzy
temen SMP kita loh”
“justru
itu ki– ”
“ah
… yaudah terserah, ayo ke kelas” Dony menarik tanganku.
*2*
Udah
satu bulan, aku nyimpen memo diatas mejanya dikelas yang tulisannya selalu sama
“I LOVE U”. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti datang dan marah-marah.
Sekarang dia datang ke kelas dan ngasihin 30 lembar memo yang selama ini aku
simpan diatas mejanya. Luzy, sama aja kayak cewek jutek sebelumnya yang pernah
aku pacarin, bahkan dia terlalu mudah ditebak. Habis ini dia pasti marah-marah.
“nggak
ada kerjaan banget deh” kata Luzy dengan nada yang tenang.
“emm”
bingung deh mau jawab apa.
Ku
kira dia bakalan marah, dan rencananya waktu dia marah-marah aku bakalan
ngeluarin jurus jitu, yaitu teriak bilang ‘I LOVE YOU’, biasanya setelah itu
cewek bakalan pura-pura mengabaikanku, tapi tamatnya tetep aja cewek itu
nyamperin dan nanyain keseriusan perasaanku terhadap dia.
“aku
nggak marah, aku cuma kasih saran aja, sekali-kali kasih aku coklat, bakso, mie
ayam, atau apa aja deh yang bisa dimakan, aku nggak butuh kertas, kertas kayak
gini aku punya banyak di rumah” kata Luzy, seakan-akan bisa menebak pikiranku.
“apa?”
Gagal!
Kali ini perkiraanku melenceng, banyak banget yang melihat ku, wah… wajah ku
yang putih ini berubah warna jadi merah, kayak tomat yang baru mateng. Makanan?
Parah banget tuh cewek!
“katanya
udah paham betul sama jenis cewek kayak dia” kata Dony, menyindirku.
“udah
deh, mendingan kamu bantuin aku buat deketin Luzy”
“pasti
deh aku lagi yang kena”
“ayolah,
sob!”
“iya
oke, kapan batas akhir kamu harus jadian sama dia?”
“minggu
ini aku harus jadian sama dia, dan minggu selanjutnya aku putusin dia”
“hmm,
dapet karma tahu rasa loh!”
Sebenarnya
setiap kali gagal deketin cewek, aku selalu minta bantuan Dony. Sudah ku bilang,
Doni itu teman yang siap sedia setiap saat. [ha…ha…ha…] entah apa yang bakalan
dia lakuin kali ini buat bantuin aku menangin taruhan kali ini.
Kebetulan
banget aku lihat Dony lagi ngobrol sama Luzy di perpus, kayaknya seru juga kalo
nguping. Jadi type cowok pinter dan tenang kayak Dony yang dia suka, oke lihat
aja nanti, aku pasti berhasil merubah selera kamu itu.
“kamu
suka novel tentang kisah cintakan?” Dony mulai ngedeketin Luzy dan duduk
disebelahnya.
“lalu?”
mukanya Luzy masih sedatar tembok.
“ini”
Dony meletakan novel yang cukup tebal di atas meja “kali ini cerita tentang
cowok nakal yang suka sama cewek kutu buku yang nggak pernah pacaran”
lanjutnya.
“tujuan
kamu pasti mak coblangin aku sama temen kamu itu kan?”
“emm”
Dony mengangguk.
“aku
nggak berani menyukainya, awalnya aku suka dia tapi itu sebelum aku tahu resiko
apa aja yang harus aku terima kalau aku menyukainya” Luzy bicara dengan
senyumannya yang nggak pernah dia tunjukin ke aku.
“jadi?”
“tenang
aja, besok aku bakal bantu dia buat menangin taruhan ini, selanjutnya aku akan
berpura-pura sakit hati karena dia”
“apa
untungnya kamu ngelakuin semua itu?”
“memangnya
saat kita menyukai seseorang, apa keuntungan yang kita dapatkan?”
“nggak
ada”
“cinta
itu bukan perhitungan yang mudah di cari tahu untung dan ruginya, kalau kamu
bertanya tentang kerugiannya pasti banyak hal yang kamu ungkapkan, tapi tanpa
kamu sadari, dibalik kerugian itu pasti akan ada orang yang diuntungkan” Luzy
pergi meninggalkan Dony.
“meskipun
bukan kamu orang yang diuntungkan itu?” teriak Dony.
“keuntunganku
adalah saat aku jadi pacarnya” Luzy tersenyum dan saat ini dia berjalan
kearahku, sepertinya dia tahu sejak tadi aku menguping percakapan mereka.
“eh…
Zy” lagi-lagi aku kehabisan kata-kata saat aku didekatnya.
“aku
mau jadi pacar kamu, hari ini kita resmi jadian dan minggu depan tanggal kita
putus, oke” Luzy tersenyum.
“maksudnya?”
aku beneran bingung sama cewek yang satu ini.
“cepat
atau lambat kamu pasti nembak aku kan?”
“emmm…
iya, tap–”
“kali
ini berapa uang yang kamu dapetin?” Luzy memotong pembicaraanku.
“450
ribu” ahh… gawat, saking gugupnya aku keceplosan deh.
“kalau
gitu, kita bagi tiga”
“bagi
tiga?”
“gimanapun
juga Dony udah bantu kita untuk bisa jadian”
“oh
itu”
“aku
pergi dulu yah, say” dia tersenyum seakan-akan mentertawakanku dengan ucapan
‘say’ nya.
*3*
‘kita resmi jadian’ ‘say’. Ampun deh, itu cewek aneh banget, udah tahu di jadiin
taruhan masih aja mau jadian denganku atau dia lagi butuh uang makanya dia
ngorbanin statusnya? Bukankah dia minta uangnya dibagi tiga. Tapi tadi
jelas-jelas aku denger dia bilang kalo dia menyukaiku, berarti dia pengen
banget jadi pacarku walaupun cuma sebagai cewek taruhan.
“Al”
suara teriakan Dony membuyarkan pikiranku saat ini.
“apa
sih Don, hari ini minggu kan? Jadi nggak sekolah” sekarang aku masih terbaring
di kasur kesayanganku ini.
“kenapa
sasarannya harus Luzy sih?”
“lho,
emang kenapa? Kamu suka Luzy?” aku yang tertidur, sekarang bangun dan nggak
ngantuk lagi.
“nggak,
lupain aja! Cepet sana mandi!”
“emang
mau kemana?”
“di
bawah ada Luzy”
“what?
Yang bener” aku kaget setengah hidup.
“liat
aja sendiri” Dony berjalan keluar dari kamar ini.
“thank’s
ya don!”
Aku
tahu, Dony pasti suka sama Luzy, sebenarnya itu masih dugaanku. Dilihat dari
cara Dony melihat Luzy waktu ngobrol tadi, aku rasa Dony emang nyimpen perasaan
ke Luzy. Tapi tenang aja Don, aku nggak suka sama Luzy kok. Apapun yang dia
lakuin, nggak bisa mengubah perasaanku, karena aku hanya mencintai orang yang
ku kenal sejak kecil dulu. Selama ini, meskipun aku sering pacaran sama
cewek-cewek aneh, tetep aja di hatiku hanya ada satu nama, dan nama itu bukan
Luzy.
“ngapain
kamu kesini?” tanyaku.
“ngapain
lagi kalau bukan ngajak kamu jalan?” jawab Luzy dengan ekspresi wajah yang sama
sekali nggak mirip dengan Luzy yang aku kenal.
“kamu
ini bener-bener nggak punya harga diri yah?” kata-kataku kali ini pasti bikin
dia marah.
“oh…
begitu yah” Luzy tersenyum dan menyodorkan tas yang dia bawa.
Aku
membuka tas itu dan ternyata isinya sweater yang mirip banget kayak yang dia
pakai saat ini.
“sweater
pasangan, cepat pakai setelah itu kita jalan-jalan” senyum Luzy makin melebar.
Ada
apa dengannya? dia bukan Luzy yang ganas. Awalnya dia itu gadis yang asli
pedesnya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba jadi cewek yang ceria. Aneh, apa dia
kembaran Luzy? Tapi setahuku dia nggak punya kembaran. Lalu, siapa yang sedang
berdiri dihadapanku ini?
Tanpa
banyak pertanyaan, aku langsung memakai sweater pasangan itu dan pergi jalan
bareng Luzy. Waktu mau bawa motor, dia nggak mau. Dia menyuruhku untuk berjalan-jalan
tanpa menggunakan motor. Padahal selama ini semua cewek yang aku ajak jalan,
pasti males banget kalo disuruh jalan kaki, tapi Luzy malah menyuruhku untuk
meninggalkan motor kesayanganku itu dirumah.
“kamu
merasa aneh sama sifat ku kan?” Tanya Luzy sambil terus berjalan.
“lebih
aneh lagi kalau aku nggak merasa aneh sama sifat kamu yang baru ini”
“aku
menyukaimu sejak kita di SMP yang sama dua tahun lalu” Luzy bicara tanpa
menatap mataku.
“aku
tahu” kali ini, aku yang menebak pikirannya.
“kamu
nggak sepintar dan nggak sehangat Dony”
“lalu,
kenapa kamu suka sama aku, kenapa nggak suka sama Dony aja”
“karena
kamu Aldy, cowok so playboy padahal sebenernya polos”
“polos?”
dasar Luzy yang menyebalkan!
“kau
sangat jujur mengatakan semua kelemahanmu, untuk ukuran lelaki, kamu terlalu
terbuka dan cerewet”
“heh!
Jadi tujuan kamu ngajak aku jalan buat ini?”
“di
tambah lagi sifat kamu yang gampang marah dan so ganteng”
“sebenarnya
mau kamu itu apa?” aku mulai kesal sama gadis ini.
“berpura-puralah
menyukaiku” Luzy menghentikan langkahnya “meskipun kamu nggak pernah
menyukaiku, tapi selama satu minggu ini berpura-puralah menjadi pacar yang
paling baik” Lanjutnya.
“kamu
membuatku kesulitan menghadapimu, selama ini aku sering berpura-pura menyukai
orang lain, jadi harusnya kamu yang pura-pura nggak tahu kalau aku jadiin kamu
taruhan”
“oke,
selama satu minggu ini aku pura-pura nggak tahu”
“tapi
apa kamu nggak punya harga diri, seharusnya kamu marah karena jadi bahan
percobaan”
“setelah
satu minggu ini berlalu, apa gunanya lagi harga diri. Lagi pula kamu nggak
bakalan mempermalukanku di depan umumkan?”
“se-yakin
itu?”
“aku
kenal kamu udah lama, meskipun kamu baru mengenalku hari ini. Kamu yang kukenal
bukan orang yang jahat. Aldy itu cowok polos yang bodoh dan berpura-pura jadi
cowok dewasa”
Sepertinya
selama ini dia memang banyak mengenalku. Dia terlihat seakan-akan bisa membaca
fikiranku, dia sangat mengenal semua tentangku. Perempuan ini membuatku sulit
mangambil sikap. Semakin dia bersikap seperti ini, aku semakin sulit membuatnya
terluka. Dony benar, kenapa harus dia sasarannya.
Kita
pergi ke banyak tempat, hari ini dia ajaib. Sangat ceria, dan menyenangkan.
Bersamanya aku seperti menemukan kebahagiaan yang baru. Hari ini seperti mimpi,
lebih menyenangkan jika Luzy itu adalah gadis kecilku yang selama ini aku
tunggu.
*4*
Ini
hari ke-3 aku menjadi pacarnya dan gossip udah menyebar seluas samudra
[ha…ha…ha… lebay!]. dan diluar dugaanku Reza, Tony, dan Dika temanku yang
sama-sama ‘badung’ ngasih aku uang 250 ribu itu hari ini, dan parahnya lagi ini
siaran langsung didepan Luzy dan murid-murid lainnya. Saat ini aku ngerasa
kasian sama Luzy, tapi aku juga nggak tahu kenapa mereka ngasih uang itu hari
ini, padahal seharusnya aksi ini mereka lakuin hari sabtu nanti. Waktu aku
melihat Luzy, dia tersenyum, tapi aku tahu itu hanya senyuman untuk menutupi
luka hatinya. Aku nggak mungkin nyamperin dia sekarang, tapi aku udah kasih
aba-aba ke Dony biar dia nyamperin Luzy. Niatnya, seperti biasa aku nyusulin
mereka dan nguping.
Kalau
gini ceritanya, apa yang harus aku dengerin. Aku pikir saat ini dia berubah
jadi gadis cengeng karena malu dihadapan semua orang. Tapi, dari yang ku lihat,
dia asyik banget makan bakso bareng Dony di kantin. Mereka dua orang yang
jarang banget ketawa, tapi sekarang mereka berdua malah tertawa lepas dan
bahagia banget kelihatannya. Yasudahlah, yang penting aku nggak nyakitin
hatinya Luzy. Waktu mau balik ke kelas banget, Luzy melihatku dan dia berteriak
memanggilku. Benar-benar cewek aneh. Sampai saat ini dia masih nggak punya
malu. Mau nggak mau, terpaksa harus mau duduk makan bakso bareng mereka yang
berbahagia ini.
“sebenernya,
kita bukan ngajakin kamu makan bakso” kata Luzy.
“terus
ngapain manggil aku?” tanyaku.
“kamu
baru aja dapet rezeki kan, makanya harus berbagi. Aku udah bantuin kamu buat
berbagi kebahagiaan sama semua orang ini, tadi aku bilang siapapun yang pesen
bakso disini, bakalan dibayarin sama Aldy. Kamu berhutang sama aku, harus
berterimakasih loh!”
Wah… ini cewek nyebelinnya nggak ada yang ngalahin
deh! Si Dony juga rese banget, dia pasti sengaja bantuin nih cewek! Aku terus ngedumel dalam hati dan tersenyum untuk
menutupi rasa kesalku ini. Cewek ini harusnya malu banget hari ini, eh… dia
malah bahagia banget gara-gara berhasil mengerjaiku.
Sesampainya
dirumah, sehabis sholat isya, seperti biasanya aku harus belajar. Padahal hari
ini males banget apa lagi kalau inget kejadian tadi pagi disekolah. Tapi otakku
sekarang harus ditujukan pada soal-soal bahasa inggris yang Dony kasih. Ampun
banget! Soal ini susah banget. Sebenernya mungkin aja gampang, tapi karena
nggak focus, nggak satupun yang berhasil ku jawab.
“Sorry
yah, Al” kata Dony yang terlihat seperti menahan tawanya.
“kamu
suka Luzy?” tanyaku.
“apa
sih?”
“nggak
apa-apa jujur aja, Don”
“itu
nggak penting, yang penting sekarang kapan kamu selesai ngerjain soal itu”
“selalu
begitu”
“apa?”
“mengalihkan
pembicaraan, tiap kali ngerasa dipojokin, pasti ngomongya nggak nyambung lagi
sama apa yang dibahas!”
Dony
hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Dan sekarang aku harus fokus ngerjain
soal-soal ini. Tapi, ponsel ku bunyi, dan ternyata itu Luzy. Dia mengirim
pesan, dan bilang kalau dia menungguku di taman dekat rumahku. Padahal
sebelumnya nggak ada perjanjian apapun, dia tiba-tiba sms dan bilang kalau dia
udah ada disana dan ada hal penting yang harus dia omongin malam itu juga.
Otomatis, nggak pake lama aku langsung lari ke taman itu.
“ada
apa?” tanyaku dengan suara yang terdengar kelelahan.
“kenapa?
Salah kalau aku mau ketemu kamu tanpa alasan”
“apa?
kamu bilang ada hal penting”
“aku
pengen liat bintang bareng pacarku, bisakan temani aku sepuluh menit saja?”
“pacar?”
“masih
ada 4 hari lagi, bukankah ku bilang satu minggu?”
“tap–”
“diam
dan duduk saja” Luzy menarik tanganku dan memaksaku duduk di kursi taman itu.
Malam
ini ada banyak bintang, Luzy terus tersenyum dan melihat langit, dia tidak
mengatakan apapun, hanya diam dan terus memperhatikan bintang-bintang itu.
Sesekali aku melihatnya dan merasa malam ini dia cantik. Ah… tidak, maksudku
dia memang cantik sejak dulu tapi saat ini aku melihatnya dengan perasaan yang
berbeda. Tapi aku yakin ini bukan perasaan cinta.
“apa
aja yang mau kamu lakuin setelah hari ini?” tanyaku.
“makan
ice cream, bersepeda bareng, dan ke bioskop” jawabnya.
“bukankah
ada 4 hari, kenapa cuma tiga hal yang ingin kamu lakukan?”
“hari
terakhirnya rahasia”
“menyebalkan!”
“sudah
sepuluh menit, makasih yah!” dia berlari dan melambaikan tanganya.
*5*
Sesuai
dengan yang Luzy inginkan, di hari ke-4 aku mengajaknya makan ice cream bereng,
hari ke-5 aku mengajaknya bersepeda, dan hari ke-6 aku mengajak dia pergi ke
bioskop. Hari ini hari ke-7, hari terakhir aku menjadi pacarnya. Entah apa yang
ingin dia lakukan di hari ini, tapi aku merasa sulit melepaskannya. Semakin
hari dia semakin menyenangkan, tapi aku nggak bisa terus mempertahankan
hubungan yang memang sejak awal udah nggak baik. Belum lagi, perasaanku saat
ini bukan untuknya, memang selama ini aku mulai menyukainya, tapi aku lebih
menyukai seseorang yang ku cari selama ini.
Hari
ini aku janji bertemu Luzy di taman biasa, taman dekat rumahku. Karena ini hari
terakhir, aku sengaja membawa coklat dan bunga untuknya.
“maaf
membuatmu menunggu lama”
“memang
selalu beginikan”
“hari
ini kita mau kemana?”
“kembali
ke kehidupan masing-masing” Luzy tersenyum, tapi senyumannya semakin menyempit
dan ekspresi wajahnya tidak ceria lagi “itu coklat dan bunga untuku kan?”
“emm,
iya” kataku sambil memberikan coklat dan bunga itu.
“bagaimanapun
juga, terimakasih untuk satu minggu ini” kata Luzy sambil melangkah pergi.
Saat
itu aku kaku dan terus melihatnya yang mulai menjauh dan semakin jauh, karena
itu mulutku berteriak refleks.
“Tidak
bisakah kita memperpanjang waktu pacaran kita satu minggu lagi?”
Entah
apa yang membuatku mengatakan hal itu, tapi perkataanku itu tidak berpengaruh
apapun pada Luzy. Dia terus berjalan seakan-akan tidak mendengar apapun. Tanpa
ku sadari, ternyata Dony dari tadi ada dibelakangku. Waktu aku membalikan
badanku, aku tepat berdiri dihadapannya. Mata Dony terus melihat Luzy hingga
punggung Luzy menghilang ditepi jalan. Kali ini aku yakin kalau Dony suka sama
Luzy. Ku pikir kali ini dia bakal marah karena bagaimanapun juga aku membuat
orang yang dia suka terluka. Tapi ternyata, Dony nggak marah sama sekali, dia
hanya menyuruhku pulang untuk belajar lebih awal, karena semua nilai-nilaiku
turun. Dony nggak bilang apapun soal perasaannya ke Luzy. Menjadi sahabatnya
selama ini, dia tidak pernah curhat tentang apapun, selalu aku yang banyak
cerita padanya. Aku lebih cocok menjadi adiknya meskipun usiaku lebih tua.
Berhubung
lusa Dony ultah, aku harus nyiapin kado. Biar lebih special, mending aku
menjadikan Luzy sebagai kadonya. Entah apa yang bakalan aku lakuin nanti,
karena sampai saat inipun aku belum tahu gimana caranya bikin mereka berdua
dekat. Tapi, jahat nggak sih kalau aku ngasih barang bekas yang udah pernah aku
pake? Meskipun hanya status, tapi tetap aja aku dan Luzy pernah jadian.
Yasudahlah, masalah itu gimana nanti aja, yang penting sekarang aku harus
deketin Luzy lagi. Setelah kemarin kita resmi putus, hari ini dia kembali lagi
dengan tatapan mautnya. Benar-benar gadis yang aneh! Sebenarnya siapa dia,
kenapa dia bisa merubah sikap secepat itu.
Nyari
satu cewek aja sulit banget. Biasanya Luzy di perpus atau di kantin, tapi hari
ini dia nggak ada dimana-mana. Terpaksa deh harus muter-muter sekolahan nyari
itu anak. Sampai kaki ku berhenti waktu mataku ini melihat Luzy dan Dony lagi
duduk berdua di taman belakang sekolah. Nggak ada banyak orang yang datang
kesini, itu berarti ini tempat mereka berdua. Tapi, sejak kapan? Jangan-jangan
mereka udah deket sejak dulu banget. Saking pengen tahu mereka lagi apa, aku
bersembunyi di balik pohon besar dekat tempat mereka berdua duduk. Ternyata
setelah aku lihat seteliti mungkin, mereka bukan cuma duduk dan ngobrol. Mereka
berdua ngedengerin music bareng lewat earphone. Romantis dan pas banget kayak
orang yang lagi pacaran.
“yah
bener, sejak SMP kamu suka banget lagu ini” akhirnya suara Luzy berhasil
kudengarkan.
“kamu
tahu dari mana?” kata Dony.
“aku
tahu semuanya, lusa kamu ultah, apel buah yang paling kamu suka, kamu suka
banget sama makanan pedas, setiap kali ada masalah pasti dengerin music dan
duduk di bersandar di pohon, lebih suka diam tapi bukan berarti nggak pernah
marah, selalu tersenyum bukan berarti nggak ada masalah. Itu hanya sebagian
kecil, menurutmu apa yang nggak aku tahu tentang kamu?” kata Luzy panjang
lebar.
“kenapa
bisa, bukankah selama ini kamu suka sama Aldy?”
“berapa
lama kamu jadi temanku? Sejak SMP kita sering main barengkan?”
“apa
hanya teman?”
“yaiyalah.
Bukankah selama ini aku suka Aldy?”
“emm”
Dony menutup matanya “hari ini cerah”
“aku
ke kelas lagi yah” Luzy berdiri dan membersihkan rumput-rumput kering yang
menempel di roknya.
Kali
ini aku tahu kalo ternyata mereka berdua udah deket sejak lama, tapi kenapa
Dony nggak pernah cerita dan malah pura-pura nggak pernah deket sama dia. Waktu
Luzy balik ke kelas, aku ngikutin dia dari belakang.
“Luzy”
teriakku.
Luzy
membalikan badannya “ada apa?” muka datarnya dimulai lagi.
“tadi
aku liat kalian di belakang”
“aku
tahu, lalu?”
What,
Dia tahu? “sejak kapan kalian temenan?”
“sejak
SMP lah, mulai menyukai mu juga waktu SMP”
Kayaknya
Luzy udah mulai sadar kalo pertanyaan aku ini udah aneh banget. Dia langsung
pergi gitu aja, tanpa senyuman atau apapun. Setidaknya ucapkan kata-kata kayak
yang dia bilang ke Dony “aku ke kelas
lagi yah”. Apa coba yang Dony suka dari cewek hambar kayak dia?
“Tunggu!
Kalau Dony suka sama kamu gimana?” aku berteriak dan akibat ucapanku itu, dia
menghentikan langkahnya.
Dia
berjalan kearahku, wah… aku mulai takut kalau dia meledak “memangnya harus
gimana?”
Syukurlah, dia nggak marah-marah. Tapi, tetep aja ekspresinya
itu lho…
“kamu
nggak bisa jadian sama dia?” tanyaku.
“apa
itu penting? Apa gunanya bilang cinta kalau akhirnya salah satu dari kita bakal
ada yang ditinggalin?”
“Dony
belum pernah pacaran, jadi dia nggak bakal ninggalin kamu. Dia bukan aku” Aku
mulai merasa bersalah setelah mendengar ucapannya.
“kalau
kamu mencintaiku, apa yang akan kamu lakukan saat kamu tahu kapan aku bisa
meninggalkanmu?”
“aku
bakalan lebih sering didekatmu”
“kalau
aku pergi, kamu harus tetap disini. Jika semakin banyak kenangan yang aku
kasih, kamu akan merasa sangat kehilangan waktu aku pergi”
Aku
sama sekali nggak bisa memproduksi kalimat apapun. Secara, saat ini bibirku
beku dan nggak bisa ngomong. Memang apa yang harus kulakukan? Saat aku menyukai
orang itu, aku akan hidup seakan-akan nggak pernah meninggalkan dia. Sebenarnya
apa maksudnya? Dia mau pindah sekolah atau apa? Entahlah, gadis ini memang
sulit kumengerti. Sekeras apapun aku mengikuti jalan pikirannya, aku nggak bisa
menemukan jawaban lewat kehidupannya.
Karena
aku terus diam setelah dia mengatakan hal itu. Dia langsung pergi
meninggalkanku yang masih menyimpan pertanyaan tentang ucapannya. Dia aneh,
tapi menarik. Sama seperti Dony, terlalu banyak hal yang nggak bisa dia bagi
dengan orang-orang sekitarnya. Menyendiri dan selalu merasa kesepian padahal
selama ini ada begitu banyak orang didekatnya.
“ada
apa sih Al, ngapain ngomong gitu ke Luzy?” suara Dony selalu datang tiba-tiba.
“Don”
aku menengok ke arahnya dan tersenyum karena merasa nggak enak.
“ayo”
Dony merangkul bahuku.
“kamu
nggak marah?”
“niat
kamu kan baik, lagian kalo aku marah, bisa-bisa di ultahku nanti kamu nggak
ngasih kado” Dony tersenyum dan mulai bersikap aneh.
Benarkan,
sama banget kaya Luzy, terkadang untuk menutupi kesedihannya dia akan bersikap aneh
dan berbeda. Jika besar nanti mereka berdua berjodoh dan menikah lalu punya
anak, pasti anaknya bakalan lebih dahsyat anehnya dari mereka berdua.
[ha…ha…ha…]
*5*
Hari
ultah Dony kali ini pasti special banget. Semalam Luzy mengajakku bertemu di
tempat biasa, dia menitipkan kado untuk Dony. Entah apa isinya, akupun ingin
segera tahu. Tapi harus sabar, biar lebih kena di hatinya, mendingan aku kasih
nanti sepulang sekolah. Jadi tetep aja, hari ini aku duluan yang ngucapin.
Begitu
sampai disekolah, Dony langsung ke taman belakang tempat waktu itu aku liat
mereka berdua. Seperti biasa, aku ngikutin dari belakang. Begitu sampai, aku
benar-benar terkejut. Tempat ini disulap menjadi sangat indah. Pohon besar yang
saat itu ku pakai untuk bersembunyi, sekarang dihiasi dengan balon-balon
berwarna putih dan merah jambu. Belum lagi ada meja kecil yang diatasnya
tersimpan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Saat itu pikiranku langsung
melayang ke Luzy, apa mungkin dia yang ngelakuin semua ini? Dan sekarang aku ingat
kado itu. Waktu aku ultah kemarin dia nggak ngasih kado apapun, padahal dia
menyukaiku, tapi kenapa saat Dony ulang tahun dia ngasih kado yang cukup gede?
Tempat ini juga dari awal nggak banyak orang yang dateng kesini. Siapa lagi
kalau bukan Luzy?
Tapi,
pikiranku tentang Luzy berhenti waktu aku lihat Dony yang menahan tangisannya
sambil memakan kue itu. Tetap saja, air matanya keluar meskipun ia berusaha
menahannya. Aku makin bingung sama semua keadaan ini. Ada apa sebenarnya?
Setelah
pulang dari sekolah, perhatianku langung tertuju pada kado yang Luzy titipkan
semalam. Tadinya aku nggak berani buka kado ini, karena ini kado milik Dony,
jadi nggak sopan banget, kan kalau aku membukanya tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Tapi, terlalu banyak teka-teki dan aku sangat penasaran. Maafin aku, Don!
Setelah
mengambil kadonya, saat Dony mandi, nggak pake lama aku pergi dengan motorku
membawa kado ini. Jika membukanya dirumah, Dony pasti tahu. Karena itu, aku
pergi nyari tempat yang aman.
Aku
duduk di salah satu meja pelanggan di caffe ini. Perlahan-lahan, aku mulai
membuka kado ini. Yang kulihat hanya buku yang agak tebal. Diary? Secara spontan, hatiku menebak buku ini. Benar, setelah ku
lihat dengan jelas, ini memang Diary. Tapi buat apa dia ngasih benda yang paling
pribadi ke Dony?.
Aku
mulai membuka buku ini. Dan benar, ini tulisan tangan Luzy. Meskipun tidak
akrab dengannya, tapi saat SMP dia bertugas sebagai sekertaris kelas. Itu
sebabnya aku hafal bentuk tulisan cewek ini.
Aku
mulai membaca lembar pertama buku ini.
“selamat
ulang tahun”
hanya tiga kata? Irit banget tuh cewek. Oke, kita
lihat apa yang dia tulis di lembar kedua.
Saat
aku membuka lembar kedua buku itu, ternyata nggak ada tulisan apapun. Aku coba
membuka lembar selanjutnya dan selanjutnya, tapi nggak ada yang dia tulis. Buku
ini memang cukup tebal, dan dilihat dari sisi manapun buku ini adalah diary.
Ternyata ini kadonya, kupikir ada hal yang lebih menarik. Dasar aneh ! lagian
kenapa aku berpikir Luzy bakalan ngasih kado yang special, secara selama ini
Luzy menyukaiku bukan Dony.
“ini,
semalam Luzy menyuruhku ngasihin ini kekamu” aku memberikan buku itu saat
pulang ke rumah.
Dony
nggak bicara apapun, dia hanya membuka buku itu dan membaca kata yang SPJ itu,
[Singkat-Padat-Jelas]. Setelah membacanya, dia langsung menyimpan buku itu
tanpa pertanyaan apapun. Orang-orang ini selalu membuatku penasaran.
Memang
aku ini sahabat – apakah? –
Hari
ini aku benar-benar nggak melihat Luzy. Kepsek bilang, Luzy pindah sekolah. Dia
menghilang tanpa kata apapun, aku sangat ingin mencari tahu tentang dia, tapi
mau nanya kesiapa? Nyari tahu kemana? Jangankan sahabat, temanpun dia nggak
punya.
“Galau?”
lagi-lagi suara Dony mengagetkanku.
“apa
sih?”kataku.
“Luzy
dan aku, kita cuma temenan kok”
“lho,
emang apa hubungannya sama aku? Lebih dari temen juga nggak apa-apa kok!”
“nggak
usah pura-pura, kamu mulai suka kan sama Luzy?”
“ya
nggak lah. Dari jaman Obama sampai jaman nabi adam, aku nggak mungkin suka sama
dia”
“cara
kamu mikirin dia, liat dia, dan ngobrolin dia, sama kayak waktu kamu suka sama
Reina”
“udah
dong Don, aku tahu kamu suka Luzy. Aku suka Reina itu bener, tapi kalau aku
suka Luzy, itu salah”
“pendapat
kamu soal aku suka Luzy juga salah. aku nggak pernah suka sama dia Al”
Ternyata
Dony nggak pernah suka sama Luzy. Pendapatku selalu saja salah, tapi mendengar
Dony bilang kayak gitu, hati ku tiba-tiba berdaun-daun [berbunga-bunga
maksudnya ha… ha… ha…]. Mungkin ini karena aku nggak mau kehilangan fans kayak
Luzy.
Dony
udah tertidur pulas, tapi mataku nggak bisa merem. Kesempetan buat kabur
[ha…ha…ha…] malam ini aku bisa nge-trek di tempat biasa, kebetulan Reza, Tony,
dan Dika udah nunggu disana.
*6*
“setelah
nonton film kita napain?” Tanya Luzy.
“kamu
mau ngapain?” jawabku.
“emm…
photo box” kata Luzy sambil menggandeng tanganku.
Sepulang
dari bioskop kita langsung ke tempat photo box, dan berjalan-jalan sambil makan
ice cream. Hari ini kita sangat dekat, layaknya pasangan yang cucok banget.
Sambil jalan dan makan ice cream, kita berdua mentertawakan muka-muka yang
konyol di photo ini. saat photo box, kita bergaya ‘alay’. selanjutnya Luzy
nggak pernah berhenti menggandeng tanganku. Tapi tiba-tiba aja hujan datang
tanpa undangan, akhirnya kita kehujanan deh.
Hujan?
huahhh… ternyata bukan hujan, tapi Dony menyiramku pake se-gayung air es.
Pantes aja dingin banget!
“keterlaluan
banget sih Don!”
“ya
habisnya dibangunin, terus aja merem. Betah banget, mimpi apa sih?”
“mau
tahu aja!”
“yaudah
buruan mandi, telat nih”
“iya
ah!”
Waktu
berputar lebih cepat dari yang kubayangkan. Sekarang, status kita bukan pelajar
lagi, tapi mahasiswa. Setelah lulus, kita sepakat buat ninggalin Bandung dan
merantahu ke Jakarta untuk mencari ‘seseorang’. [ha…ha…ha…]. Ya nggak lha yah,
kita ke Jakarta untuk kuliah, yah walaupun masih ada kuliahan yang bagus di
Bandung. Tapi ya itu hak asasi manusia. Dan, kita tinggal gratis di kost-kostan
punya paman dan bibinya Dony.
Udah
lama aku nggak mimpiin tentang Luzy, tapi malam ini dia tiba-tiba nongol di
mimpiku. Hmm… mungkin karena dia terlalu aneh, makanya sampai saat ini aku
masih mengingatnya.
Sekarang
aku dan Dony berjalan-jalan di kampus kita ini, kampus yang bakalan manpung
kita sampai kelar. Tapi, gara-gara keasyikan bercanda, aku nggak sengaja
ngedorong Dony sampai dia nabrak cewek disebelahnya.
“Sorry”
kata Dony.
“nggak
apa-apakan?” kataku.
Cewek
ini nggak mengucapkan kata apapun. Dia terus tertunduk dan melihat gelang pink
yang kita pake. Yah… selama ini sebenarnya, kita memakai gelang yang sama
berwarna pink.
“Aldy,
Dony?” kata cewek ini dan mulai mengangkat kepalanya dan melihat sosok pria
tampan yang ada dihadapannya.
Tunggu,
tadi dia lancar banget ngucapin nama kita. Siapa dia? apa dia mengenal kita?
Tapi, semakin aku menelusuri wajahnya, ternyata cewek ini…
Reina,
gadis kecil yang selama ini aku cari dari Sabang sampai Merauke dan balik lagi
ke Bandung.
Saat
itu, umur kita masih sangat kecil. Aku dan Reina berteman sejak TK. Bahkan
sebelum aku menjalin hubungan ku dengan Dony [eitss… maksudnya hubungan
persahabatan].
Tadi pagi disekolah, pembagian raport, dan sekarang
kita resmi jadi siswa kelas 3. Syukurlah, kita naik dengan nilai yang
memuaskan, yah kecuali Aku. Diantara mereka, hanya diriku ini yang nilainya
sedikit kurang, setidaknya aku berhasil masuk peringkat delapan.
Malam ini,
Reina menungguku dan Dony di taman belakang rumahnya. Dia bilang, dia mau
ngomongin sesuatu.
“hey, gadis kecil” kataku sambil berjalan mendekati
Reina.
“umurku sama denganmu” kata Reina yang sedang duduk.
“dulu saat umurmu 4 tahun, kau menangis di taman ini karena
aku mengambil bonekamu” aku langsung tiduran diatas rerumputan.
“itukan udah lama, mau sampai kapan diinget-inget
terus?”
“kamu inget nggak waktu semua temanmu menanyakan
ibumu, bahkan mereka mentertawakanmu karena kamu tidak punya ibu”
“yah, saat itu kau datang dan memarahi merekakan?
Masih kecil tapi hobby nya marah-marah”
“lalu, saat umur 6 tahun, kamu jatuh di lumpur yang
kotor, gara-gara kamu, aku harus pulang tanpa baju”
“ternyata selama ini kamu terus yang muncul di
kenangan masa kecilku”
“tentu, kapan kamu punya teman selain aku”
“maaf aku telat, ada apa Rei, Al?” Dony datang dan
membuat kita berhenti bernostalgia.
“nggak apa-apa” Reina berdiri dan menarik ku agar
akupun berdiri.
“jadi ada apa Rei?” tanya Dony.
“karena kamu sahabat Aldy, itu artinya kamu juga
sahabatku” jawab Reina.
“terus?” kata Dony
“aku mau kamu jadi ayahku dan Aldy jadi ibuku” Reina
duduk dan menunduk.
“maksudnya?” Dony kebingungan dengan ucapan Reina.
“eh… tunggu, apa aku keliatan kayak ibu-ibu?” kataku.
“emm…” Reina menganguk “selama ini, meskipun aku
memiliki ayah, tapi aku selalu kesepian dirumah” lanjutnya.
“tapi, kenapa aku yang jadi ibu?” tanyaku.
“karena seorang ibu lebih mengenal anaknya dan selalu
berada didekat anaknya, lagi pula kamu yang menyuruhku untuk menganggap kamu
sebagai ibuku” jawab Reina.
“itu, karena aku menghiburmu” jawabku dengan suara
yang pelan.
Reina, mengambil tanganku dan memasangkan gelang yang
terbuat dari kain berwarna pink ini. setelah gelang itu terpasang ditanganku,
dia melakukan hal yang sama pada tangan Dony. Saat kulihat, ternyata dibalik
kalung ini ada tulisan tangannya, “ibu”.
Itulah
asal-usulnya gelang c-u-t-e ini kudapatkan.
“hey!”
Reina mengeraskan suaranya dan pikiranku loncat-loncat deh!
“Reina”
aku terus memperhatikan wajahnya dan masih nggak percaya bisa ketemu sama dia
lagi.
“iyah,
aku Reina” Reina berdiri dan tersenyum.
Ahh…
senyumannya membuatku makin cenat-cenut deh! Yah… gadis kecil yang selama ini
kucari dan kutunggu ada di depan mataku. Seperti mimpi di dalam mimpi. Baru aja
mimpi tentang Luzy, eh … paginya ketemu Reina.
“Rei”
kata Dony sambil mengeluarkan sesuatu dalam tasnya “ini” dia memberikan sebuah
kalung pada Reina.
“jadi
selama ini kalungnya ada di kamu, ah… kupikir hilang” Reina mengambil kalung
itu dan terus menggenggamnya sambil tersenyum.
“tunggu
deh, kalung?” tanyaku yang mulai kebingungan.
“dulu
aku nemuin kalung itu di atas tanah” jawab Dony.
“lho,
kok bisa?” Tanya Reina.
“kita
ceritanya sambil jalan-jalan deh” kata Dony.
Kita
mulai berjalan mengelilingi kampus baru ini yang mempertemukan romeo-juliet.
Tapi, kalau itu kalung punya Reina, kenapa ada di Dony. Lalu, kenapa dia nggak
pernah cerita kalau dia menyimpan benda milik Reina. Tapi, kalau dipikir-pikir,
memangnya kapan dia pernah curhat?
Oke
untuk cerita lebih lanjut, kita dengarkan keterangan dari tersangka
[ha…ha…ha…]. Sambil berjalan, Dony mulai menceritakan kisah si kalung itu.
Saat itu, aku disuruh ibu kewarung untuk membeli mie.
Aku berjalan kaki, karena jarak rumah dengan warungnya juga nggak jauh. Waktu
lagi berjalan dengan tenangnya, tiba-tiba saja seseorang berteriak dan merusak
ketenanganku saat itu
“awas!” teriak
seorang cewek yang lagi menaiki sepeda.
“hey, hati-hati!” kataku.
Aku menahan sepedah yang di taiki gadis itu agar dalam
posisi yang seimbang dan gadis itu tidak terjatuh. Tapi gagal, pada akhirnya
malah kita berdua yang jatuh bersama. Anehnya gadis itu malah tertawa.
“ada apa denganmu, kenapa tertawa” Tanyaku.
“karena ini menyenangkan” cewek itu berdiri dan
mengangkat sepedanya yang menimpa tubuh ku yang kurus.
“kamu aneh!” kata Dony.
“ayo” cewek itu tersenyum dan mengulurkan tangannya
untuk membantu ku berdiri.
“emm, makasih” aku berdiri dan tangan kita masih
berpegangan.
“namaku Reina” dia memegang tanganku seakan-akan
sedang berkenalan.
“aku, Dony” merekapun saling melepaskan tangan yang
berjabatan tadi.
“aku tahu, kamu si murid baru itu kan? Yang sebangku
sama Aldy?” tanya Reina.
“kamu sekelas denganku?”
“iyah, sampai ketemu besok disekolah yah” Reina pergi
dengan sepedahnya.
“besok hari minggu”
“ahh… aku lupa, kalau begitu sampai ketemu lusa” Reina
tersenyum dan melanjutkan langkahnya.
Aku tersenyum dan terus melihat Reina yang berjalan
sambil mendorong sepedahnya, hingga ku sadar, seharusnya dari tadi aku ke
warung dan membeli mie. Saat mau pergi meninggalkan tempat itu, aku melihat
kalung yang cantik tergeletak di atas tanah. Kupikir itu adalah kalung Reina
yang terjatuh juga saat kejadian tadi, karena itulah aku membawa kalung itu dan
berniat untuk mengembalikannya disekolah nanti. Tapi ternyata aku lupa dan
selalu tidak ada waktu yang tepat untuk memberikannya, hingga akhirnya aku baru
mengembalikannya sekarang.
Huahh…
ceritanya cukup panjang juga, yah… meskipun masih kurang panjang kalau
dibandingi dengan curhatan yang sering banget ku ceritakan.
Jadi
itu sebabnya, kenapa kalung itu ada di Dony. Sebenarnya, itu kalung yang aku
kasih ke Reina waktu dia berulang tahun yang ke-7. Aku sengaja memilih bentuk
bintang karena dia sangat suka bintang. Syukurlah orang yang menyukainya saat
ini seterang bintang dan se-indah bulan [ha…ha…ha…].
“Rei,
emang nggak ada yang mau kamu omongin sama aku, gitu?” tanyaku yang berharap
banget dia nanya.
“harus
nanya apa?” Tanya Reina.
“apa
aja deh, misalnya kamu kangen nggak sama aku? [ha…ha…ha…]” PD-ku muncul deh
kepermukaan wajah.
“ya
ampun… heh bu! Kenapa kamu nggak berubah?” Reina tertawa.
“dia
yang paling banyak berubah, kok!” kata Dony yang sekarang mulai aktif
berbicara.
“benarkah?”
Reina melihatku se-teliti mungkin “dilihat dari penampilan, kamu kayak…, jangan-jangan…” lanjutnya.
“yap…
tapi keren dan tetap wangi kan, beda banget sama anak genk yang jarang mandi
plus dekil itu”
“ya
emang, ternyata kamu emang susah diatur” kata Reina.
“Rei,
kamu ambil jurusan apa?” Tanya Dony.
Hari
pertama bertemu Reina, pasti akan terus berlanjut pada hari-hari berikutnya.
Ah… Reina, gadis kecilku yang sekarang jadi membesar, aku benar-benar
menunggumu dan sekarang kita ketemu, benar juga kalau jodoh itu nggak akan
kemana, palingan maen dulu ke tetangga [oops… salah yah?].
*8*
Asyiek…
karena sekarang di Jakarta, berarti kata-katanya gue-loe [ha…ha…ha…]. Si gue
ini, sekarang lagi siap-siap buat kencan bareng Reina. Yah… sebenernya bukan
kencan sih, hanya main biasa, soalnya ada Dony. Ah… kalau aja Dony memberiku
waktu buat berduaan bareng Reina.
Sekarang,
kita bertiga lagi muter-muter tempat yang asyik di mamah kota ini [ha…ha…ha…
ibu kota maksudnya]. Pertama dan utama, tentunya kalau nge-date, pasti ke
bioskop, habis itu makan ice cream, terus photo box, dan nggak lupa bersepeda
bareng. Tapi, sebenernya itu nge-date versi Luzy, pacar terakhirku yang entah
kemana. Sekarang, kita baru aja keluar dari bioskop dan langsung ketaman buat
makan ice cream sekalian photo-photo gokil lewat kamera punya Dony.
“Rei,
kita photo berdua yah, Don tolong photo kita!” aku menarik tangan Reina, agar
dia berdiri disebelahku.
“tunggu,
tunggu” kata Reina.
“oke…
1…2…3….” Kata Dony.
“ckrek…”
bunyi suara kamera Dony.
“symbol
cinta” Reina menarik tanganku agar tanganku membuat bentuk hati dengan
tangannya.
“ckrek…”
bunyi suara kamera Dony lagi.
Akhirnya
bukan cuma aku dan Reina yang narsis di photo itu, tapi Dony juga ikutan. Hari
ini, setelah selesai main-main di taman, kita langsung pulang kerumah karena
tugas kuliah udah numpuk kayak baju cucian. Nggak kerasa ternyata kita udah
kuliah di sini kurang-lebih hampir 2 semester, dan selama ini hubungan kita
bertiga makin dekat.
Niatnya
sih seminggu lagi aku mau ngajakin dia berkencan resmi, terus nembak dia deh
[jedor…jedor… deh!]. tapi masih ragu, gara-gara takut ditolak. Selama ini,
Reina malah terlihat lebih dekat dengan Dony, tapi itu juga emang gara-gara aku
juga sih. Karena Reina dan Dony satu jurusan, jadi aku menyuruh Dony buat nyari
informasi tentang dia. selama ini, Dony tahu kalau dialah cewek yang
super-duper-extra luas tempatnya di hatiku. Yah… meskipun terkadang bayangan
Luzy yang selama satu minggu itu hampir mirip kayak Reina. Sebenarnya bukan
Reina yang mirip Luzy, tapi Luzy yang terlihat seperti Reina saat satu minggu
jadi pacarku itu.
Malam
ini, aku nyari hiburan bareng orang sesat ini, huuu… udah tahu sesat terus
ngapain masih di ikutin? Apalagi kalau bukan untuk hiburan, secara otakku udah
mumet dan mampet selama dikampus dan di tempat kost karena makananku selalu
buku. So… buat cuci mata tapi ngotorin hati, ya boleh lah cari kesenangan dikit
walaupun ujung-ujungnya jadi kesengsaraan [ha…ha…ha…].
Kalau
bareng Anton yang anak Jakarta asli plus teman yang lainnya, aku pasti ngomong
so-gaul. Tapi, kalau bareng Dony dan Reina, ucapanku masih terdengar kayak
cowok yang polos [manis dan lucu dong! Ha…ha…ha…].
“Sob,
gimana target loe?” Tanya Anton yang lagi seru-serunya liatin mukanya di cermin
motor.
“target
apaan?” jawabku, yang balik nanya.
“itu
lho, cewek yang jadi calon pacar loe”
“euh…
gue kira apaan”
“udah
lama deket, tapi kapan jadiannya?”
“nanti
juga ada saatnya, tenang aja!”
“loe
kagak takut, si Rei keburu di embat sama temen loe?”
“temen
yang mana? Dony maksud loe?”
“yap!
Si cowok kutu buku itu kan makin hari makin rekat banget sama si Rei”
“gue
emang sengaja nyuruh dia cari info tentang Rei, wajar kalau mereka deket”
“kagak
khawatir?”
“ya
kagak lah!”
“se-yakin
itu?”
“gue
percaya sama Dony, dia bukan orang yang gampang jatuh cinta, diakan udah
nungguin seseorang”
“hah!
Siapa?”
“se-su-a-tu!
ha..ha..ha..”
Ngapain
juga aku harus khawatir? Dony, nggak mungkin suka sama Reina apa lagi dia tahu
kalau aku menyukainya. Buktinya, waktu dia suka sama Luzy, dia nggak berani
ngomong gara-gara aku duluan yang jadi cowoknya.
Huah…
malam ini aku nge-gas motorku dengan extra. Tanpa rasa takut terjatuh aku terus
ngebut membawa motor ninja berwarna merah ini. hal ini udah jadi kebiasaanku,
jadi udah nggak ada rasa takut jatuh dari motor lagi, yah… palingan takut
cicilan motor kaga kebayar [ha…ha…ha…].
*9*
“Dy, buruan!” Anto menarik tanganku.
“emang
ada apa?” kataku.
“liat
aja ntar, loe kagak boleh lewatin yang satu ini”
“apaan
sih? Ada sinetron?”
“tepatnya
ada siaran sinetron yang live”
Mana
ada sinetron yang tayang secara live, ngaco banget nih anak. Padahal, dikantin
tadi aku lagi serius menikmati makanku. Dia tiba-tiba datang dan mengagetkanku.
Baru nyampe disampingku, dia langsung teriak dan narik-narik tanganku yang
mahal ini.
Dan
ternyata, sekarang kita udah nyampe di TKP [ha…ha…ha…]. Saat ini, di dekat
parkiran ini, dimataku ini, yang ada hanya Dony lagi ngobrol sama Reina. Terus,
mana sinetronnya?. Yah… memang agak cemburu juga, soalnya mereka ngobrol dan
makan bareng berdua terus kaga ngajakin sayah! Awalnya mereka cuma makan
masing-masing piring mereka [oops… harusnya, melahap makanan yang ada di atas
piring mereka. he…he….he…] tapi, lama-lama tangan Dony mulai kegatelan dan
perlu digaruk. Masa dia ngehapus makan yang ada dibibir Reina pake tissue dan
langsung pake tangannya, kenapa nggak tissuenya aja yang dia kasih! Tapi,
tenang aja, diantara mereka nggak ada apa-apa walaupun belum tentu nggak
terjadi apa-apa.
Anton
ngotot banget, biar aku percaya kalau Dony suka sama Reina, tapi seratus
kalipun dia ngulangin kata-katanya, aku akan tetap dengan pendapatku, kalau
Dony nggak mungkin suka sama Reina karena dia tahu bahwa murid sekaligus
sahabatnya ini suka banget-banget-banget sama Reina gadis kecilku.
“woy!”
aku datang mendekati mereka dan duduk disebelah Reina.
“kenapa
kesini Al?” Tanya Reina.
“lho,
emang kenapa? Aku juga mau ikutan makan bareng kalian!” kataku walaupun nggak
tahu apa yang mau mereka makan.
“yakin?”
kata Reina.
“mas,
satu lagi yah!” aku berteriak pada pedangang itu.
Akhirnya,
pesanan ini siap disantap. Ternyata ini siomay. Wah… mereka malah asyik
memperhatikan ekspresiku yang terkaget-kaget liat jenis makanan ini. lagian,
kenapa aku nggak nanya dulu, makanan apa yang lagi mereka pesen. Lalu, kenapa
aku nggak merhatiin gerobaknya yang jelas-jelas terpajang kata ‘siomay’. Kalau
udah gini, mendingan cabut aja deh! Makanan ini, paling nggak mood untukku
makan. Meskipun mereka berdua rakus banget menyantapnya, tetep aja sekali nggak
suka tetap nggak suka. Akhirnya aku terlihat seperti lalat yang mengganggu
mereka makan. Tapi, ngomong-ngomong apa yang bakalan terjadi kalau ada lalat
setampan ini? cewek lalat pasti ngejar-ngejar. [ha…ha…ha…]
Aku
emang nggak pernah nafsu liat jenis makanan yang satu ini sejak usiaku 5 tahun.
Sebenarnya itu gara-gara kejadian konyol yang memalukan. Waktu lagi makan
siomay, aku lari-lari dan akhirnya jatuh, saat itu juga lah siomayku yang ada
dimulut langsung meluncur ke kerongkongan tanpa dikunyah. Apalagi kalau bukan
tersedak, tapi ini parah karena siomaynya cukup besar. Dan saat itu, Reina
melihatku dan mentertawakanku. Tapi, yasudahlah itu udah jadi sejarah.
“masih
yakin?” Reina menyindirku.
“nggak!
Aku suka semua jenis makanan, kecuali yang satu ini!” kataku.
“itu
aku juga tahu, makanya kita nggak ngajak kamu” kata Reina sambil menyuapkan
siomay itu.
“yaudah,
kalau gitu aku balik dulu yah” aku mulai berdiri.
“siomaynya?”
kata Dony.
“buat
loe aja” aku berjalan kembali ketempat sebelumnya.
Anton
yang maksa banget aku buat nonton mereka, masih nunggu kabar selanjutnya
dariku. Lagian kenapa juga ini anak ngarep banget aku percaya kalau Dony suka
sama Reina.
“gimana?”
Tanya Anton.
“gimana
apanya?” aku bertanya balik.
“yaelah,
itu loh mereka berdua”
“mereka
lagi makan siomay bukan mesra-mesraan”
“ah…
loe bodoh banget sih Al, mereka emang makan siomay, tapi sambil romantis-romantisan”
“dimana-mana
kalau mau so sweet itu di tempat yang romantis, masa iya di pinggir parkiran
gitu”
“terserah
deh, yang penting gue udah ngasih tahu”
“yaudah,
ke perpus yuk! Kita nyari bahan buat tugas”
Sampai
kapanpun, aku nggak mungkin percaya kalau Dony bakalan suka sama Reina. Dony
mendekati Reina buat jadi mak comblang kita berdua, masa iya malahan mereka
yang saling suka. Ditambah lagi, aku adalah orang dimasa lalunya Reina, yah…
kalau cinta monyet buat anak-anak SMP/SMA, berarti kisah ku dan Reina panggil
aja cinta anaknya monyet [ha…ha…ha…].
*10*
Setelah
seharian nggak berhenti bergerak, sekarang baru kerasa deh pegal-pegalnya.
Malam ini, aku lagi duduk di kursi sambil nanton TV. Ini udah jam 9 malam, tapi
Dony belum balik. Kemana aja sih dia, mana ponselnya nggak bisa di hubungi
lagi. Minggu-minggu ini kita memang lagi sibuk masing-masing, jadi kita jarang
pulang atahu berangkan bareng.
Acara
di TV nggak ada yang seru! Hoamm… aku juga mulai ngantuk, tapi Dony masih belum
pulang. dari pada bosen sendirian dirumah, mendingan aku keluar dengan motorku.
Tapi, janjian dulu sama Anton di tempat biasa, jalan tempat anak-anak
nongkrong.
Sambil
mengendarai motor di jalan ke tempat tujuan, aku masih memikirkan Dony.
Sebelumnya selalu dia yang pulang lebih awal, kenapa sekarang malah telat
banget dia pulang. nggak mungkin kan kalau dia diculik, dia bukan anak kecil.
Jadi kemungkinan dia lagi main atau ngerjain tugas. Tapi, kalau dia main
berarti sama Reina dong. Benar… sejak tadikan aku liat mereka lagi makan
siomay, dan semakin hari mereka berdua juga makin deket. Tapi, sampai sekarang
Reina masih biasa aja, mungkin dia masih nggak tahu kalau aku suka. Terus,
kapan Dony mulai deketin kita sebagai pasangan?
Ah… udah deh, dari pada menebak-nebak nggak
tentu mendingan sekarang sebelum ke tempat trek-trekan, aku dateng dulu ke
rumah Reina.
Sampai
juga di rumahnya, tapi aku nggak langsung masuk. Itu karena saat ini, kejadian
yang terekam dimataku secara langsung bikin hatiku mulai gerah. Ternyata Dony
memang lagi di rumah Reina, tapi yang bikin parah ditempat ini adalah, Reina
dan Dony duduk bersebelahan sambil mendengarkan music di ipon lewat headshet.
Suasana ini membuat pikiranku mengingat masa lalu waktu di SMA. Saat Dony dan
Luzy berduaan ditaman belakang, yang kulihat saat ini mirip banget sama yang
pernah tayang waktu SMA, yang membedakannya hanya tempat dan waktu. Tapi,
justru ini lebih romantis dari pada yang pernah aku liat waktu SMA. Sambil
mendengarkan music bersama, mereka tertawa dibawah cahaya bintang. Tapi,
ngomong-ngomong cahaya bintang, aku mulai mengingat Luzy lagi. Ah… udahan deh!
Sekarang bukan waktu yang tepat buat mengenang masa lalu.
Sekarang
aku bakalan nyamperin mereka dan marah sama Dony. Yah… aku mulai melangkahkan
kakiku, selangkah, dualangkah, dan akhirnya aku berhenti sebelum sampai di
dekat mereka. Langkahku terhenti setelah aku melihat setumpuk buku di samping
Reina. Saat ini aku berpikir, mungkin saja mereka lagi ngerjain tugas dan duduk
santai berdua itu setelah menyelesaikan tugasnya. Lagian seharusnya aku percaya
sama Dony. Aku putuskan untuk segera pergi dari tempat ini sebelum mereka sadar
dengan kedatanganku. Aku pergi diam-diam karena saat datangpun diam-diam.
Benar…
mereka juga sahabatan, wajar aja kalau mereka duduk sedekat itu. Walaupun
terlihat kayak yang lagi pacaran, tapi nggak mungkin lah! Mana mungkin? Benar…
sekali lagi, mana mungkin?
Meskipun
udah berkali-kali berusaha meyakinkan hatiku ini kalau kedekatan mereka malam
itu nggak lebih dari sahabat, tetep aja hati ini masih kepanasan dan perlu di
kipasin. Huah… yasudahlah, yang penting aku harus berusaha percaya.
Setelah
sampai di arena balapan ini, aku melampiaskankan semua yang aku rasa lewat
kecepatan motor ini. aku menjalankan motor ini sangat cepat dan bahkan lebih
cepat dari biasanya. Dan… sampai di garis finish, tetep aja ada yang lebih
cepat dariku. Tapi, setidaknya aku yang ke-2. Orang itu juga pasti lagi kesal,
makanya ngendarain motornya super-duper cepat.
Orang
yang mengalahkan ku itu mengulurkan tangannya, dan akupun menjabatnya. Dengan
busana yang berwarna hitam dia terlihat lebih keren dariku, tapi bukan berarti
lebih ganteng, karena sampai sekarangpun dia nggak ngebuka helmnya, mungkin
kurang PD dengan wajahnya [ha…ha…ha…].
Eits…
ternyata sekarang dia mulai membuka helmnya, dan saat itu juga rambut
panjangnya terurai. Hah? Kupikir dia lelaki, ternyata perempuan, ah… ternyata
yang mengalahkan ku seorang wanita. Tapi, sepertinya aku mengenali wajah ini,
tatapan dan senyumannya udah nggak asing lagi. Benarkah? Ternyata, cewek ini
Luzy. Hebat… ternyata aku bertemu dengan dia lagi. Dia memang bukan cewek
biasa, bahkan hal seperti inipun mampu dia lakukan?
“woy!”
Luzy mengagetkan ku yang sejak tadi tertegun melihat wajahnya.
“emmm…”
aku menundukan kepala karena bingung mau bilang apa.
“apa
kabar?” Tanya Luzy dengan tenang.
“baik,
kamu?” jawabku singkat.
“sangat
baik”
“oh…
baguslah”
Luzy
menatapku seakan-akan ada yang salah denganku “ada apa denganmu, kenapa jadi
kaku gitu?” kata Luzy.
“wah,
ini sifat barumu lagi?” kataku.
“sorry,
sifat baru?” Tanya Luzy yang mulai kebingungan.
“saat
SMP kamu pendiam, masuk SMA jadi jutek, dan selama satu minggu jadi sangat
ceria, dan sekarang kamu mulai bertingkah aneh. Sebenarnya mana sifat aslimu?”
kataku panjang lebar.
“nanti
juga kamu tahu, seperti apa sifatku yang sebenarnya” kata Luzy sambil memakai
helmnya lagi.
Luzy
pergi dengan motornya. Bodoh… kenapa aku nggak sempat meminta nomor ponselnya.
Tapi, ucapannya itu terdengar seakan-akan dia yakin kita bakalan ketemu lagi.
Yah… mungkin karena dia bakalan sering ketempat ini dan pastinya ditempat ini
juga kita ketemu lagi. Ahh… bertemu dengan dia membuatku mulai bertanya-tanya
lagi. Dia kayak soal matematika, sulit tapi kadang bisa menyenangkan dengan
proses yang panjang untuk menemukan jawabannya.
Sekarang
udah waktunya balik ke kost-kostan. Ternyata, Dony udah pulang bahkan sekarang
dia lagi asyik dengan mimpinya. Akupun harus segera tidur karena besok harus ke
kampus pagi-pagi.
*11*
Hari
ini, aku masih harus menyelesaikan tugasku, dan tentunya masih harus ngumpulin
bahan sebanyak mungkin. Jadi aku harus rajin-rajin ke perpus. Keliling-keliling
nyari buku, tapi bingung juga nyari buku apa [ha…ha…ha…].
“a..aw”
suara itu seperti suara Reina.
Aku
mendekati suara itu berasal dan ternyata memang benar itu Reina. Seperti
dugaanku, pasti bukan hanya Reina, karena akhir-akhir ini dimana ada Reina
disitulah ada Dony. Aku hanya bisa diam karena waktu terasa sulit bergulir.
Secara, saat ini aku melihat mereka bersikap seperti pasangan, bahkan bukan
seperti, tapi memang pasangan. Jika orang lainpun melihatnya, orang akan
berpendapat sama denganku. Karena, tidak akan ada sahabat yang dekat seperti
kedekatan mereka. ini perpustakaan, tapi mereka melakukan tindakan tercela! Dan
kenapa harus Dony dan Reina?
“bruk”
aku melemparkan buku yang aku pegang ke lantai, dan mereka mulai menghentikan
apa yang mereka lakukan. Saat ini, mereka berdua melihatku dan akupun terus menatap
mereka dengan penuh rasa kesal. Setelah beberapa menit dalam tempat yang
menyebalkan ini, aku mengambil kembali buku yang kulemparkan karena aku memang
membutuhkan buku itu. Setelah itu, aku membalikan badanku dan berlari keluar.
“Al,
gue udah dapet bukunya, loe gimana” Tanya Anto sambil menyodorkan buku yang dia
bawa, tapi aku mengabaikannya dan melanjutkan langkahku.
Aku
sangat kesal dengan apa yang kulihat tadi. Saat ini aku bener-bener butuh waktu
buat menengangkan pikiranku. Aku terus berjalan keluar dan sampailah di kursi
dekat pohon yang cukup besar. Aku mencoba menjernihkan pikiranku. Tapi, apa
yang kulihat tadi itu sulit ku lupakan begitu saja. Wajar jika aku cemburu,
karena aku menyukainya.
“bantu
aku menghabiskannya!” tiba-tiba saja ada suasana yang membuatku berhenti
mengingat kejadian itu.
Aku
menengok kesebelah kiri dekat pohon itu, dan ternyata aku benar-benar
dikejutkan oleh pemilik suara itu. Dia Luzy, saat ini dia tersenyum dan
menyodorkan ice cream padaku. Aku terus melihat senyumannya. Tapi kali ini,
bukan senyuman menakutkan ataupun senyuman yang ceria, melainkan senyuman yang
sangat tenang dan membuatku merasa tenang juga melihatnya.
“cepat
ambil, aku mulai pegal!” kata Luzy.
“eh…
emm…” aku mengambil ice cream itu.
Setelah
itu, dia langsung duduk di sebelah ku “oke aku setuju!” kata Luzy, yang entah
apa maksudnya.
“setuju
apa?” tanyaku yang selalu kebingungan didekatnya.
“bukankah
ucapanmu yang terakhir memintaku untuk memperpanjang waktu jadian kita selama
satu minggu lagi” Luzy tersenyum.
“ah…
kamu masih ingat hal itu” aku menggaruk kepala ku karena malu “eh… tapi, kenapa
kamu bisa ada disini?” tanyaku.
“ini
kampusku, jadi nggak anehkan kalau aku ada disini”
“tapi,
aku nggak pernah liat kamu”
“kampus
kita inikan sangat luas, kita juga beda jurusan. Dan, setiap ada kamu aku pasti
sembunyi”
“hah?
Ngapain sembunyi segala?”
“ngapain
lagi kalau bukan karena ingin kamu temukan?”
“apa?”
“jadi,
gimana? Ucapanmu malam itu masih berlaku nggak?” Luzy kembali menanyakan hal
itu.
“emm…
sorry Luz, tapi saat ini aku nggak bisa” jawabku dengan penuh rasa bersalah.
“karena
Reina?”
“tahu
dari mana?”
“selama
ini yang bersembunyikan aku, bukan kamu”
“maksudnya?”
“lupakanlah”
Luzy melihat kebelakang “kayaknya ada yang mau ngomong deh!” kata Luzy yang
langsung pergi.
Otomatis,
aku langsung melihat apa yang terjadi, aku langsung menengokan kepalaku dan
ternyata, Reina ada di belakangku.
“Al”
Reina mendekatiku dan langsung duduk menggantikan Luzy.
“ada
apa?” kataku kesal.
“apa
yang kamu liat nggak sama kayak apa yang kamu pikirin”
“sama
banget kayak sinetron!” kataku dan langsung pergi meninggalkannya.
aku
langsung keparkiran untuk mengambil motorku, karena aku harus bertemu dengan
Dony, yang ternyata mempermainkan kepercayaanku. Aku dan motorku terus melaju
melalui jalan ini hingga sampai di kost. Ternyata Dony yang selama ini jadi
sahabat yang siap sedia setiap saat malah jadi orang yang paling membuatku
kesal.
*12*
Dony
yang lagi anteng duduk sambil nonton TV, seakan-akan nggak ada apapun yang
terjadi, aku seret keluar dan apa lagi yang kulakukan kalau bukan memberinya
pukulan.
Aku
mengepalkan tanganku dengan penuh rasa emosi dan aku mulai meluncurkan pukulan
di wajahnya, tapi lagi-lagi tanganku terasa kaku setelah aku berpikir bahwa dia
sahabatku. Akhirnya aku menurunkan tanganku dan hanya menarik kerah bajunya.
“kalau
mau jadi maling, harusnya loe nyuri buat keluarga loe, tapi loe malah jadi
maling dalam keluarga loe sendiri” tanganku masih menarik kerah bajunya.
Dony
mencoba melepaskan kerah bajunya yang kutarik hingga aku melepaskannya “tadi di
perp–” kata Dony.
“Don!”
aku berteriak memotong pembicaraannya “gue tulus sayang sama loe, tapi itu
sebelum hari ini” aku pergi meninggalkannya.
“tapi…”
Dony berteriak dan menghentikan langkahku “hari ini, besok. Atau kapanpun, loe
tetep sahabat gue” lanjutnya.
Aku
berjalan kembali mendekatinya dan saat itu. Aku langsung mengepalkan tanganku
dan meluncurkan pukulanku tepat di wajahnya, dan ujung bibir Dony pun berdarah.
Jujur, saat ini aku sangat ingin meminta maaf dan mengobatinya karena merasa
bersalah, tapi rasa marahku saat ini lebih besar dari perasaan bersalah itu.
Aku langsung pergi dan membawa motorku.
aku
terus menjalankan motorku, dan terus mencoba menenangkan pikiranku. Sebenarnya
apa yang harus kulakukan? Oke, aku memang menyukainya dan sangat wajar jika
cemburu, tapi hanya wajar, karena aku nggak punya hak untuk cemburu terhadap
Dony dan Reina, karena bagaimanapun juga aku masih sahabatnya Reina dan bukan
pacarnya.
Selama
inipun Dony selalu mengalah, masalah apapun dia akan selalu mengalah untuku.
Bahkan, meskipun dia menyukai Luzy, dia nggak bilang apapun dan hanya diam
menyembunyikan perasaannya agar aku tetap jadian sama Luzy. Oke, sekarang
waktunya aku mengalah. Tadi jelas-jelas Reina datang dan bilang kalau apa yang
kulihat nggak sama seperti apa yang aku pikirkan, berarti aku hanya salah
paham.
Setelah
memikirkan semuanya, aku memutar balik motorku dan kembali ke kost-kostan untuk
meminta maaf. Setelah sampai, ternyata pintu kost ditutup dan akupun
membukanya.
“ahh…”
kata Dony yang merasakan sakit karena pukulanku tadi.
Saat
ini, ternyata Reina ada disini dan bahkan dia sangat teliti mengobati luka
Dony. Lalu, apa ini masih salah paham?
Reina
dan Dony melihatku yang sedang berdiri di sela pintu. Apa lagi yang harus
kulakukan sekarang, nggak mungkin kalau aku melanjutkan niatku untuk meminta
maaf. Rasa kesalku semakin bertambah.
“sumpah…
gue nyesel udah balik ketempat ini!” kataku dan langsung membanting pintu
sekeras mungkin.
“Al”
mereka berteriak memanggilku, tapi aku terus mengabaikannya.
Aku
membawa motorku pergi dan terus menjalankannya dengan kecepatan yang melebihi
batas normal, ini lebih cepat dari sebelumnya, semua ini karena aku sangat
kesal.
Apa
yang membuatku kesal, kurasa bukan hanya cemburu, tapi aku merasa mereka
mempermainkanku dan Dony menghianatiku, tapi sebenarnya aku juga menyesal
karena mungkin setelah kejadian ini aku dan Dony nggak bersahabat lagi. Tidak…
aku nggak peduli, masih ada Anton dan anak-anak yang lainnya.
Motorku
terus melaju dengan cepat dan rasa kesalku terus menyelimuti hati dan
pikiranku. Dan, motorku bertambah cepat dan semakin cepat, hingga… semuanya
gelap!
Kejadian
yang hanya beberapa detik itu membuatku terjatuh dari motorku dan aku tidak
bisa melihat sekelilingku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya…
*13*
Saat
ini aku merasakan sakit di kepalaku dan tubuhku yang lainnya, tapi kurasa aku
mulai sadar.
“Al”
aku yakin itu suara ibu
“kamu
sadar, nak?” dan yang ini adalah suara bapa.
Aku
mencoba membuka mataku untuk memastikan bahwa itu memang ibu dan bapa. Saat ini
aku berhasil membuka mataku, tapi meskipun begitu aku tidak bisa melihat apapun
karena ruangan ini terlalu gelap. Tunggu… tidak mungkin ruangan ini tidak ada
lampunya, pasti ada yang salah denganku, tepatnya lagi dengan mataku. Ada apa
ini? aku buta?.
“nggak
mungkin” berulang kali aku mengucapkan kata itu dengan teriakan yang sepertinya
membuat bapa dan ibu khawatir.
Setelah
dokter memeriksa ku, ternyata benar… “aku
buta!”. Kornea mataku rusak saat kecelakaan, dan aku bisa melihat lagi,
jika ada donor mata untukku. Tapi, itu tidak semudah seperti donor darah. Kali
ini aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun. Apa gunanya hidup tanpa mata,
mana mungkin aku bisa bertahan tanpa melihat apapun. Kini, aku menyalahkan
Dony, semua ini karena dia!
“Al”
aku mendengar suara Dony.
“pergi
loe!” aku berteriak mengusirnya!
“sorry,
Al”
“pergi!
Loe senengkan liat gue buta? Reina jelas lebih milih loe!” aku semakin
mengeraskan suaraku.
“Al,
please jangan gitu!” tiba-tiba aku mendengar suara Reina.
“oh…
ternyata ada Reina juga, jadi sekarang kalian mau ngetawain gue bareng-bareng?”
“Al”
“PERGI!”
entah apa yang aku lemparkan saat ini, tapi yang jelas aku berhasil membuat
mereka keluar.
Bapa
dan ibu berusaha menenangkanku, tapi akupun mendengar ibu menangis melihatku
begini. Sekarang apa yang harus ku lakukan? “apa?
apa? apa?”.
*13*
Selama
satu bulan ini, Luzy terus menemaniku dengan sifatnya yang membuatku tenang.
Ternyata ini sifat dia sebenarnya. Hangat dan tenang. Sampai sekarang, aku
nggak pernah dengar lagi kelanjutan kisah dari Reina dan Dony. Karena nggak ada
seorangpun yang berani membicarakan masalah itu, yah… kecuali Luzy yang keras
kepala.
“kamu
yakin, itu perasaan cinta?” Tanya Luzy memulai obrolan kita.
“apa
lagi kalau buka cinta?” jawabku.
“tapi,
bukankah cinta itu menumbuhkan kasih sayang dan bukan permusuhan?”
“aku
mau tidur sekarang!” aku menghindari percakapan ini.
“yaudah,
semoga dalam tidurmu, ada mimpi, dan dalam mimpimu ada masa lalumu”
“keluarlah,
aku mau tidur”
Apa
bedanya aku membuka atau menutup mataku saat tidur? Bukankah sama saja,
sekalipun mataku terbuka aku tetap tidak bisa melihat apapun seperti orang yang
menutup matanya.
Sebenarnya
aku nggak mau tidur, hanya ingin menjauh dari Luzy, karena dia sering
membicarakan tentang Dony dan Reina, ini bukan pertama kalinya. Dia selalu
membahas mereka.
Aku
hanya berbaring di kasur, dan tidak tertidur. Tapi, tiba-tiba saja aku
mendengar suara di luar ruang rawatku.
“pokoknya
aku mau masuk!” sepertinya itu suara Reina.
“
nggak bisa, belum saatnya!” dan ini pasti Dony.
“kenapa
sih kamu minta Luzy buat jaga Aldy, padahal kalau aku yang menjaganya dia juga
pasti mau!”
“dia
masih kesal sama kamu”
“bukan
aku, tapi kamu! Dia marah sama kamu! Aldy nggak mungkin marah sama aku,
bukannya dia menyukaiku?”
“please!
Kali ini, berhentilah bersikap kekanak-kanakan”
“udah
cukup, Aldy lagi tidur!” suara Luzy mulai terdengar.
“selama
satu bulan ini, kamu nggak berusaha ngerebut Aldy kan?” kata Reina.
“bukankah
kamu selalu ada setiap aku lagi sama dia?” Luzy
“udah
cukup!” kata Dony.
“ah…
kamu nggak pernah ngerasain hal ini, kamu nggak pernah ngerti tentang perasaan
ini. Kenapa kamu malah deketin Aldy sama dia sih? Aldy itu dari awal menyukaiku
dan harusnya kita jadian” suara Reina.
“kamu
yang nyuruh aku buat bikin dia salah paham karena kamu pengen liat seberapa
besar rasa sukanya sama kamu. Rei, cinta itu bukan permainan dan bukan juga
tes” Dony membalas perkataan Reina.
“ahh…
udah aku pergi! Sampai kapanpun kamu nggak bakalan ngerti dengan apa yang aku
rasain!”
“aku
lebih mengerti perasaan itu dari pada kamu, karena aku merasakannya sejak awal,
hanya bisa bersamanya tapi tidak bisa memilikinya, mencintainya tapi harus
melepaskannya, bukankah itu yang kamu rasakan?”
Suara
mereka semua tidak terdengar lagi. Sekarang, tidak ada apapun yang kudengar.
Tapi, apa maksud semua ini? jika aku menebak dari apa yang ku dengar, beararti
selama ini Reina juga menyukaiku dan dia sengaja membuatku salah paham dengan
kedekatannya sama Dony biar dia bisa liat seberapa besar aku menyukainya. Dasar
gadis bodoh! Kenapa dia selalu bersikap seperti itu diusianya sekarang ini?
tapi apa gunanya semua yang ku dengar. Selama ini, selama satu bulan terakhir
ini aku berhasil membiasakan diri untuk tidak menyukainya. Bisa dibilang,
perasaanku sudah berkurang dan bahkan hampir tidak ada!
Jadi
selama satu bulan inipun, mereka berdua membantu Luzy mengurusku? Ternyata
mereka ada disampingku meskipun aku tidak merasakannya. Bagaimanapun juga,
sekarang aku tahu kebenarannya dan sangat berterimakasih karena mereka tetap
menjadi sahabatku.
“Diary
itu, kamu sudah mengisinya?” suara Luzy terdengar tenang.
“emm…
maksih Luz” kata Dony.
“Dony,
aku harap nanti dimanapun kau berada, tersenyum dan bahagialah”
“ini,
nanti berikan ini padanya!”
Sebenarnya
apa yang mereka bicarakan? Reina pasti sudah pergi, karena aku hanya mendengar
suara Luzy dan Dony. Tapi, pembicaraan mereka kali ini, aku sama sekali tidak mengerti.
Yasudahlah, lagi pula suara kedua orang itu sudah tidak terdengar lagi.
*14*
Sudah
dua minggu aku di berada Bandung, dan selama ini bukan ibu atau bapa yang
mengurusku, tapi Luzy. Dia tiba-tiba datang menyusulku ke Bandung setelah
kejadian di rumah sakit itu dan memintaku untuk menjadikannya perawat. Awalnya
aku nggak mau, tapi dia terus maksa dan akhirnya waktu ibu dan bapa membawaku
pulang ke Bandung, Luzy diam-diam mengikutiku dan entah dengan cara apa, dia
berhasil menjadi perawatku.
“buka
mulutmu, aa…” kata Luzy yang saat ini sedang menyuapiku.
“udah,
mana sendoknya. Aku bisa sendiri!” aku membentak Luzy.
“tapi,
aku ingin menyuapi mu”
Aku
menghempashan tanganku dan ternyata pas pada sendok yang saat itu sedang di
pegang Luzy. Sepertinya sendok itu jatuh karena aku mendengar suara “treng..”
“Aldy”
suara Luzy terdengar begitu lembut. “jika permintaanmu yang waktu itu sudah
tidak berlaku lagi, kalau begitu sekarang izinkan aku yang memohon satu
permintaan” jelasnya.
“aku
nggak mau”
“sampai
matamu sembuh” pintanya.
“lalu,
setelah itu kamu akan menghilang lagi seperti sebelumnya. Begitu?”
“emm…
karena memang seharusnya begitu”
Setelah
menutup mulut beberapa menit, akhirnya aku mulai berbicara kembali.
“baiklah,
sampai mataku bisa melihat, kau adalah pacarku”
“serius?”
suara Luzy mulai kegirangan, sayang aku tidak bisa melihat senyumnya.
“sebenarnya,
kenapa kau selalu datang membantuku setelah itu pergi tanpa kabar?”
“karena
aku menyukaimu. Aku suka dan aku akan membantumu, dengan begitu aku bisa
menjadi orang yang berguna dimata orang yang aku sukai”
“hanya
itu?”
“aku
kebelakang dulu yah, mengganti sendok. Setelah itu, kamu harus menghabiskan
makananmu”
*14*
Setelah
selesai menyuapiku, Luzy mendorong kursi rodaku. Dengan tenangnya, aku begitu
nyaman di dekatnya. Meskipun saat ini hanya warna hitam pekat yang ada di
pandanganku, tapi aku yakin sekarang aku berada di luar rumah. Karena, udaranya
mulai terasa.
“selamat
sore, Kak!” suara itu terdengar kompak di telingaku.
“kau
tahu, dimana kita sekarang?” kali ini, hanya satu suara yang terdengar, dan itu
Luzy.
“dimana?”
tanyaku.
“kita
di taman, tempat dulu saat kita jadi pasangan satu minggu”
“lalu
suara anak kecil itu?”
“mereka
ada di hadapanmu”
“untuk
apa?”
“memberi
energy positif”
“apa
maksudmu?”
“mereka
dihadapanmu, tapi kau tidak bisa melihatnya dan hanya bisa merasakannya, kan?
Begitu juga sebaliknya”
Aku
terdiam begitu mendengar ucapan Luzy. Apa itu artinya, anak-anak itu buta?
Lalu, apa maksudnya Luzy membawaku bertemu dengan mereka? energy positif apa
yang dia maksud?
“kakak
akan memberi tahu kalian tentang teman kakak ini, kalian semua ingin
mendengarkannya, kan?” suara Luzy yang begitu ceria mulai terdengar keras.
“iya!”
anak-anak itu terdengar keras.
“baiklah,
kakak mulai. Panggil saja dia kak Aldy. Dia begitu baik dan menyenangkan,
karena itu, kakak akan meninggalkan kalian dengan kak Aldy” jelasnya pada
anak-anak itu.
“eh,
Luz” secara spontan, aku langsung memanggil Luzy, karena jika dia pergi siapa
yang akan menuntunku? Semua orang disini buta, kecuali Luzy.
“aku
ke warung dulu sebentar, mereka harus dikasih minum dan makanan, kan?” itu
ucapan terakhir Luzy.
Sepertinya
Luzy benar-benar pergi, karena sebanyak apapun aku memanggil namanya, dia sama
sekali tidak menjawab.
“kak
Aldy, apa kakak pernah melihat daun?” Tanya salah seorng dari mereka.
“emm…
tentu. Warnanya hijau dan hampir berbentuk oval”
“kita
bahkan tidak tahu, seperti apa warna hijau itu” kata yang lainnya.
“kalian
sama sekali tidak pernah melihatnya?”
“kita
semua buta sejak lahir”
Apa?
sejak lahir? Setidaknya aku lebih beruntung, aku bisa melihat semua hal sebelum
aku buta, tidak ada benda yang belum pernah ku lihat. Tapi, mereka hidup dalam
kegelapan sejak lahir. Pasti sangat menyedihkan tidak bisa melihat apapun
semasa hidupnya, yang ada hanya warna hitam.
“kakak,
karena kak Aldy bisa melihat, tolong katakan pada kita semua seperti apa tempat
ini. udaranya begitu sejuk, pasti tempat ini begitu menyenangkan” pinta seorang
anak.
Jadi,
Luzy tidak memberi tahu mereka bahwa aku juga buta? Apa yang bisa ku lihat?
Saat ini mataku tidak bisa melihat apapun. Tapi, setidaknya aku pernah datang
ke taman ini, bahkan sering. Jadi, aku akan menceritakan semua yang aku ingat
dari taman ini.
“ada
pohon yang besar dan kokoh, lalu ada kursi disebelah pohon itu. Di taman ini,
begitu banyak tumbuhan. Nah, di sebelah kiri pohon itu jika berjalan lima
langkah, maka kalian akan tiba di kolam ikan. Di sebrang adalah…”
Aku
terus menceritakan semua hal di tempat ini meskipun sebenarnya aku tidak
melihat apapun, tapi aku mengingatnya karena pernah melihatnya. Dan, semoga
saja mereka bisa mengingat keindahannya lewat apa yang mereka dengar.
*15*
“awan,
bunga, tanah, air” aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan
perlahan “aku hidup kembali, Luz” kataku.
“memangnya
selama ini kamu mati?” jawabnya.
“mataku
yang mati” aku menghela nafas. “aku mau ketemu sama Reina dan Dony” lanjutku.
“yaudah,
tunggu sebentar”
Satu
minggu setelah aku menceritakan banyak hal pada anak-anak yang tidak bisa
melihat itu, aku mendapatkan kabar baik. Aku dapat donor mata. Sekarang, aku
bisa melihat dunia ini lagi. Lagit itu biru, awan putih, daun hijau, dan
seluruh warna dan bentuk yang ada. Aku sangat-sangat bahagia. Siapapun yang
mendonorkan matanya, aku sangat berterimakasih. Tapi, lebih berterimakasih lagi
jika aku bisa melihat keindahan dunia ini bersama dengan orang-orang yang tidak
bisa melihat. Jika mata bisa dipinjamkan, aku akan memohon agar orang yang
memiliki mata yang sempurna bisa meminjamkan matanya pada orang yang buta
meskipun hanya 5 detik untuk melihat sehelai daun. Mulai sekarang aku akan
lebih berhati-hati menjaga mata ini.
Saat
ini, aku menunggu Luzy kembali bersama Reina dan Dony. Aku juga merindukan
mereka, sekarang aku sangat ingin memeluk mereka dan bercanda bareng mereka
lagi. Mulai sekarang, apapun yang terjadi mana mungkin aku menyalahkan kedua
sahabatku itu. Hanya salah paham yang kecil, tidak seharusnya membuat
persahabatan kita berantakan.
“ini”
Luzy kembali dan menyodorkan sebuah buku.
“emm..”
aku mengambil buku tersebut “mana Dony dan Reina?” tanyaku.
“Reina
bentar lagi datang, tapi Dony…”
“kenapa?”
“kamu
akan tahu setelah melihat buku itu”
“Al”
teriakan yang nyaring itu tiba-tiba terdengar. Benar, ternyata Reina datang.
“Rei”
aku berlari mendekatinya dengan tatapan yang bahagia [tapi, bukan cinta].
“ternyata,
kamu suka juga sama aku?” aku menyindirnya.
“ihh…
GR banget!”
“ngaku
aja!”
“sampai
kapanpun kamu akan tetap menjadi sahabat dan ibuku, aku datang untuk pamit sama
kamu”
“emangnya
mau kemana?”
“aku
lanjutin study ke luar, kemungkinan nggak bakalan balik lagi”
“lho,
tap–”
“Luzy”
Reina berteriak memanggil Luzy “titip ibuku yah!” Reina tersenyum dan pergi.
Menyebalkan,
sekarang saat aku sudah bisa melihat lagi dia malah pergi. Tapi, Dony? Aku baru
ingat kalau tadi Luzy memberiku sebuah buku. Ternyata ini buku Diary yang Luzy
hadiahkan saat ulang tahun Dony. Lalu, tujuannya memberiku diary ini untuk apa?
daripada penasaran, aku langsung membuka diary ini dan ternyata diary yang
awalnya hanya berisi ‘selamat ulang tahun’ ini, sekarang menjadi padat dengan
tulisan tangan Dony.
“langsung
baca lembar terakhir aja, Al” kata Luzy.
Aku
pun menurutinya dan membaca buku ini langsung pada lembar terakhirnya.
“lewat
mata ini, aku akan tetap hadir menjadi sahabatmu dan lewat mata ini aku akan
tetap melihat orang yang aku sukai. Jaga mata itu dan Luzy seperti kamu menjaga
persahabatan kita selama ini”
Tanpa
kusadari, ternyata air mata mulai membasahi pipiku “Don” suaraku mulai melemah.
“itu
mata Dony, jangan di pake nagis!” Luzy mencoba menenangkanku.
“tapi,
kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.
“sejak
dulu aku tahu Dony punya penyakit yang bisa membuatnya mati kapan saja, karena
itulah aku memberinya Diary untuk menuliskan kejadian yang dia lalui selama dia
hidup”
“sejak
kapan? Dan kenapa kamu nggak pernah ngasih tahu aku?”
“semua
pertanyaan yang membuatmu penasaran akan terjawab setelah kamu membaca Diary
ini”
Benar…
lewat diary ini, aku bisa melihat semua kejadian yang kita alami lewat sudut
pandangnya. Lewat diary ini, aku mengerti apa yang dia rasakan, lewat diary ini
juga aku belajar banyak dari kata-kata yang dia rangkai, dan lewat mata ini
Dony akan tetap hidup sebagai orang yang berpengaruh dalam memotivasiku.
Tidak
semua hal yang ku lakukan sama dengan apa yang orang lain harapkan. Dalam hidup
ini aku harus belajar melakukan, memikirkan, dan menginginkan sesuatu setelah
kita mempertimbangkannya. Karena, dunia ini bukan hanya milikku, tapi dunia ini
juga milikmu, dia, mereka, kalian, dan siapapun. Jadi, aku harus belajar
melihat hal lewat sudut pandang orang lain, tidak hanya melihat pendapat diri
sendiri.
Lewat
diary nya, Dony mengajarkanku hal yang paling penting yang wajib ku ketahui.
Saat
ini aku masih sangat ngantuk, tapi aku harus sekolah. Ahhh… pagi ini aku
benar-benar lemas gara-gara semalem hanya empat jam aku tertidur. Untuk memberi
otakku hingga kenyang, aku harus extra belajar. Setiap harinya aku berusaha
sekeras mungkin biar otakku ini berubah jadi sepintar Albert Einstein, meskipun
nggak belajar tapi bisa jadi ilmuan, kerenkan? Tapi sayangnya aku bukan Albert
Einstein si ilmuan pintar itu, dan diapun bukan aku si cowok ganteng n’ cool.
Setidaknya,
meskipun otakku ini pas-pasan, tapi aku raja optimis. Meskipun kadang orang
bilang apa yang ku lakukan itu nggak masuk akal, tapi aku selalu berusaha
mencobanya. Untungnya ada sahabatku Dony, dia akan siap sedia setiap dimintai
pertolongan, kayak super hero. [ha…ha…ha…]
“Al,
cepetan bangun” Dony menarik selimutku. Dia selalu melakukan cara apapun untuk
membangunkanku.
“ahh
iya iya, 5 menit lagi oke” aku terus memejamkan mataku.
“oke,
5 menit lagi, tapi ntar malem waktu belajar kamu ditambah satu jam” kata Dony,
mengancamku.
“ahh…
nggak! apaan”
“makanya
cepetan bangun” Dony menarik tanganku.
“iya
oke, aku bangun terus mandi sekarang. Puas?” mau nggak mau, aku terpaksa
bangun.
“puas
banget Al” Dony tersenyum puas.
Dia
emang temen yang setia, tapi dia ngotot banget. Umurku lebih tua darinya tiga
minggu lima hari, tapi dia yang bertingkah lebih tua dariku. Aku bersahabat
dengannya sejak kelas 3 SD, dan sampai sekarang hubungan kita masih
sakinah-mawadah-warohman [ha…ha…ha...] maksudnya, hubungan kita masih baik dan
bahkan sekarang kita semakin dekat, sejak Dony tinggal dirumahku.
Saat
SMP, orang tua Dony kecelakaan dan keduanya meninggal ditempat. Dony anak
satu-satunya dan paman, bibi, kakek, neneknya di Jakarta. Awalnya setelah
ditinggal pergi orang tuanya, Dony berencana untuk pindah ke Jakarta, tapi aku
maksa dia untuk tetep tinggal disini. Dan kebetulan saat itu bapaku lagi nyari
guru private yang sabar ngadepin murid dengan seribu satu kenakalan sepertiku.
Guru terakhirku berhenti ngajar karena aku masukin obat pencuci perut ke
minumannya, akibatnya perutnya mules-mules ampe pagi dan dia kapok jadi guruku.
Itulah sebabnya, bapak minta Dony buat jadi guru private ku, dan nggak jadi ke
Jakarta. Berhubung Dony sahabatku, bapak pikir jika aku belajar dengannya, aku
bisa nyaman dan menikmati semua pelajaran.
Kukira
Dony bisa bantuin aku biar nggak terlalu sering belajar, tapi kacau. Setiap
hari sehabis sholat isya, aku harus-musti-kudu-wajib belajar sampai jam 10
malam, bahkan kadang-kadang bisa nyampe jam 11 malem. Tapi ada untungnya juga
sih, dengan begitu, peringkatku naik setiap tahunnya, dan ibu ngasih aku
hadiah. Terakhir di kelas 3 SMP semester 1 aku dapet peringkat 5, yang asalnya
nggak dapet ranking sama sekali. Dan saat lulus kemarin, nilaiku juga nggak
jelek-jelek amat, yah walaupun ujung-ujungnya tetep Dony yang lebih pintar.
Sampai
sekarang, Aldy dan Dony si sahabat sejati ini masih tinggal dirumah yang sama.
Saat ini aku dan Dony udah SMA dan di kelas 2 semester 2, yah bisa dibilang
umurku sekarang sekitar 17 tahun.
Tahukan
apa yang paling menarik dari kisah remaja kayak kita-kita ini? Yap, apa lagi
kalo bukan cerita cintanya. [ masa muda tanpa
cinta.... oh tidak bisa ha... ha... ha...].
Sekarang aku lagi suka-sukanya sama cewek di kelas yang namanya Luzy. Dia
cantik, pinter, menarik, dan yang paling penting dia itu pedes. Nggak ada yang
berani deketin dia kecuali Aldy si raja optimis ini. Sesempurna apapun Luzy,
nggak ada yang berani suka sama dia, karena dia itu super-duper jutek. Tapi
justru itulah yang membuatku tertarik.
Jarak
dari rumah ke sekolah cuma ngabisin waktu 15 menit
bada 5 detik kalo pake jam tangan,
dan sekarang kita berdua udah nyampe disekolah ini. Dan cewek sasaranku lagi
berjalan menuju perpustakaan sendirian.
“Luzy”
aku berteriak memanggilnya.
“ada
apa?” dia menatapku dengan tatapannya yang tajam setajam silet.
“kamu
inget aku?” aku tersenyum se-PD mungkin.
“emm”
Luzy terus menatapku “nggak” katanya, dia langsung membalikan badannya dan
melanjutkan langkah kakiknya.
Kurang
pedes banget kan itu cewek, tapi aku harus tetap sabar dan jadi cowok yang
manis biar dapetin dia. Kemaren waktu pulang sekolah, pas dia jatuh dari
motornya jelas-jelas aku nolongin dia, dan sejak SMP kita selalu duduk di kelas
yang sama, mana mungkin dia lupain wajah ganteng yang
tak ter elakan ini secepat itu.
Oke, tunggu beberapa hari lagi Aldy dan Luzy pasti jadian.
Sebenarnya
aku playboy, saat dirumah oke lah aku jadi anak papah dan mamah yang baik hati,
ramah tamah, tidak sombong dan rajin menabung meskipun di warung. Tapi setelah di luar rumah, itu
kebebasanku yang nggak bisa di ganggu gugat. Banyak cewek yang aku jadikan
bahan taruhan, dan semuanya berhasil. Karena itu, aku udah paham
sepaham-pahamnya dengan semua jenis perempuan. Mulai dari cewek polos
kaya HVS sampai cewek seganas Luzy. Selain itu, hobby ku
adalah maen trek-trekan, bisa dibilang pergaulanku agak bebas, tapi nyantai aja aku nggak
separah temanku yang lainnya, karena masih ada sahabat ku si superhero.
Untungnya Dony nggak pernah banyak nanya kalo aku minta apapun, kayak semalem
waktu aku minta dia anter aku ke tempat trek-trekan, dia nganterin tanpa banyak
pertanyaan dan nasehat. Temanku yang satu ini udah ngerti banget kalau aku
bukanlah orang yang suka diatur-atur.
“udahlah
Al, nggak usah maen-maen sama dia” kata Dony.
“kamu
kan tahu Don, kalau aku pernah pacaran sama tiga jenis cewek yang kayak gitu,
jadi aku hafal banget kalo dia tuh pura-pura jutek”
“Luzy
temen SMP kita loh”
“justru
itu ki– ”
“ah
… yaudah terserah, ayo ke kelas” Dony menarik tanganku.
*2*
Udah
satu bulan, aku nyimpen memo diatas mejanya dikelas yang tulisannya selalu sama
“I LOVE U”. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti datang dan marah-marah.
Sekarang dia datang ke kelas dan ngasihin 30 lembar memo yang selama ini aku
simpan diatas mejanya. Luzy, sama aja kayak cewek jutek sebelumnya yang pernah
aku pacarin, bahkan dia terlalu mudah ditebak. Habis ini dia pasti marah-marah.
“nggak
ada kerjaan banget deh” kata Luzy dengan nada yang tenang.
“emm”
bingung deh mau jawab apa.
Ku
kira dia bakalan marah, dan rencananya waktu dia marah-marah aku bakalan
ngeluarin jurus jitu, yaitu teriak bilang ‘I LOVE YOU’, biasanya setelah itu
cewek bakalan pura-pura mengabaikanku, tapi tamatnya tetep aja cewek itu
nyamperin dan nanyain keseriusan perasaanku terhadap dia.
“aku
nggak marah, aku cuma kasih saran aja, sekali-kali kasih aku coklat, bakso, mie
ayam, atau apa aja deh yang bisa dimakan, aku nggak butuh kertas, kertas kayak
gini aku punya banyak di rumah” kata Luzy, seakan-akan bisa menebak pikiranku.
“apa?”
Gagal!
Kali ini perkiraanku melenceng, banyak banget yang melihat ku, wah… wajah ku
yang putih ini berubah warna jadi merah, kayak tomat yang baru mateng. Makanan?
Parah banget tuh cewek!
“katanya
udah paham betul sama jenis cewek kayak dia” kata Dony, menyindirku.
“udah
deh, mendingan kamu bantuin aku buat deketin Luzy”
“pasti
deh aku lagi yang kena”
“ayolah,
sob!”
“iya
oke, kapan batas akhir kamu harus jadian sama dia?”
“minggu
ini aku harus jadian sama dia, dan minggu selanjutnya aku putusin dia”
“hmm,
dapet karma tahu rasa loh!”
Sebenarnya
setiap kali gagal deketin cewek, aku selalu minta bantuan Dony. Sudah ku
bilang, Doni itu teman yang siap sedia setiap saat. [ha…ha…ha…] entah apa yang
bakalan dia lakuin kali ini buat bantuin aku menangin taruhan kali ini.
Kebetulan
banget aku lihat Dony lagi ngobrol sama Luzy di perpus, kayaknya seru juga kalo
nguping. Jadi type cowok pinter dan tenang kayak Dony yang dia suka, oke lihat
aja nanti, aku pasti berhasil merubah selera kamu itu.
“kamu
suka novel tentang kisah cintakan?” Dony mulai ngedeketin Luzy dan duduk
disebelahnya.
“lalu?”
mukanya Luzy masih sedatar tembok.
“ini”
Dony meletakan novel yang cukup tebal di atas meja “kali ini cerita tentang
cowok nakal yang suka sama cewek kutu buku yang nggak pernah pacaran”
lanjutnya.
“tujuan
kamu pasti mak coblangin aku sama temen kamu itu kan?”
“emm”
Dony mengangguk.
“aku
nggak berani menyukainya, awalnya aku suka dia tapi itu sebelum aku tahu resiko
apa aja yang harus aku terima kalau aku menyukainya” Luzy bicara dengan
senyumannya yang nggak pernah dia tunjukin ke aku.
“jadi?”
“tenang
aja, besok aku bakal bantu dia buat menangin taruhan ini, selanjutnya aku akan
berpura-pura sakit hati karena dia”
“apa
untungnya kamu ngelakuin semua itu?”
“memangnya
saat kita menyukai seseorang, apa keuntungan yang kita dapatkan?”
“nggak
ada”
“cinta
itu bukan perhitungan yang mudah di cari tahu untung dan ruginya, kalau kamu
bertanya tentang kerugiannya pasti banyak hal yang kamu ungkapkan, tapi tanpa
kamu sadari, dibalik kerugian itu pasti akan ada orang yang diuntungkan” Luzy
pergi meninggalkan Dony.
“meskipun
bukan kamu orang yang diuntungkan itu?” teriak Dony.
“keuntunganku
adalah saat aku jadi pacarnya” Luzy tersenyum dan saat ini dia berjalan
kearahku, sepertinya dia tahu sejak tadi aku menguping percakapan mereka.
“eh…
Zy” lagi-lagi aku kehabisan kata-kata saat aku didekatnya.
“aku
mau jadi pacar kamu, hari ini kita resmi jadian dan minggu depan tanggal kita
putus, oke” Luzy tersenyum.
“maksudnya?”
aku beneran bingung sama cewek yang satu ini.
“cepat
atau lambat kamu pasti nembak aku kan?”
“emmm…
iya, tap–”
“kali
ini berapa uang yang kamu dapetin?” Luzy memotong pembicaraanku.
“450
ribu” ahh… gawat, saking gugupnya aku keceplosan deh.
“kalau
gitu, kita bagi tiga”
“bagi
tiga?”
“gimanapun
juga Dony udah bantu kita untuk bisa jadian”
“oh
itu”
“aku
pergi dulu yah, say” dia tersenyum seakan-akan mentertawakanku dengan ucapan
‘say’ nya.
*3*
‘kita resmi jadian’ ‘say’. Ampun deh, itu cewek aneh banget, udah tahu di jadiin
taruhan masih aja mau jadian denganku atau dia lagi butuh uang makanya dia
ngorbanin statusnya? Bukankah dia minta uangnya dibagi tiga. Tapi tadi
jelas-jelas aku denger dia bilang kalo dia menyukaiku, berarti dia pengen
banget jadi pacarku walaupun cuma sebagai cewek taruhan.
“Al”
suara teriakan Dony membuyarkan pikiranku saat ini.
“apa
sih Don, hari ini minggu kan? Jadi nggak sekolah” sekarang aku masih terbaring
di kasur kesayanganku ini.
“kenapa
sasarannya harus Luzy sih?”
“lho,
emang kenapa? Kamu suka Luzy?” aku yang tertidur, sekarang bangun dan nggak
ngantuk lagi.
“nggak,
lupain aja! Cepet sana mandi!”
“emang
mau kemana?”
“di
bawah ada Luzy”
“what?
Yang bener” aku kaget setengah hidup.
“liat
aja sendiri” Dony berjalan keluar dari kamar ini.
“thank’s
ya don!”
Aku
tahu, Dony pasti suka sama Luzy, sebenarnya itu masih dugaanku. Dilihat dari
cara Dony melihat Luzy waktu ngobrol tadi, aku rasa Dony emang nyimpen perasaan
ke Luzy. Tapi tenang aja Don, aku nggak suka sama Luzy kok. Apapun yang dia
lakuin, nggak bisa mengubah perasaanku, karena aku hanya mencintai orang yang
ku kenal sejak kecil dulu. Selama ini, meskipun aku sering pacaran sama
cewek-cewek aneh, tetep aja di hatiku hanya ada satu nama, dan nama itu bukan
Luzy.
“ngapain
kamu kesini?” tanyaku.
“ngapain
lagi kalau bukan ngajak kamu jalan?” jawab Luzy dengan ekspresi wajah yang sama
sekali nggak mirip dengan Luzy yang aku kenal.
“kamu
ini bener-bener nggak punya harga diri yah?” kata-kataku kali ini pasti bikin
dia marah.
“oh…
begitu yah” Luzy tersenyum dan menyodorkan tas yang dia bawa.
Aku
membuka tas itu dan ternyata isinya sweater yang mirip banget kayak yang dia
pakai saat ini.
“sweater
pasangan, cepat pakai setelah itu kita jalan-jalan” senyum Luzy makin melebar.
Ada
apa dengannya? dia bukan Luzy yang ganas. Awalnya dia itu gadis yang asli
pedesnya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba jadi cewek yang ceria. Aneh, apa dia
kembaran Luzy? Tapi setahuku dia nggak punya kembaran. Lalu, siapa yang sedang
berdiri dihadapanku ini?
Tanpa
banyak pertanyaan, aku langsung memakai sweater pasangan itu dan pergi jalan
bareng Luzy. Waktu mau bawa motor, dia nggak mau. Dia menyuruhku untuk
berjalan-jalan tanpa menggunakan motor. Padahal selama ini semua cewek yang aku
ajak jalan, pasti males banget kalo disuruh jalan kaki, tapi Luzy malah
menyuruhku untuk meninggalkan motor kesayanganku itu dirumah.
“kamu
merasa aneh sama sifat ku kan?” Tanya Luzy sambil terus berjalan.
“lebih
aneh lagi kalau aku nggak merasa aneh sama sifat kamu yang baru ini”
“aku
menyukaimu sejak kita di SMP yang sama dua tahun lalu” Luzy bicara tanpa
menatap mataku.
“aku
tahu” kali ini, aku yang menebak pikirannya.
“kamu
nggak sepintar dan nggak sehangat Dony”
“lalu,
kenapa kamu suka sama aku, kenapa nggak suka sama Dony aja”
“karena
kamu Aldy, cowok so playboy padahal sebenernya polos”
“polos?”
dasar Luzy yang menyebalkan!
“kau
sangat jujur mengatakan semua kelemahanmu, untuk ukuran lelaki, kamu terlalu
terbuka dan cerewet”
“heh!
Jadi tujuan kamu ngajak aku jalan buat ini?”
“di
tambah lagi sifat kamu yang gampang marah dan so ganteng”
“sebenarnya
mau kamu itu apa?” aku mulai kesal sama gadis ini.
“berpura-puralah
menyukaiku” Luzy menghentikan langkahnya “meskipun kamu nggak pernah menyukaiku,
tapi selama satu minggu ini berpura-puralah menjadi pacar yang paling baik”
Lanjutnya.
“kamu
membuatku kesulitan menghadapimu, selama ini aku sering berpura-pura menyukai
orang lain, jadi harusnya kamu yang pura-pura nggak tahu kalau aku jadiin kamu
taruhan”
“oke,
selama satu minggu ini aku pura-pura nggak tahu”
“tapi
apa kamu nggak punya harga diri, seharusnya kamu marah karena jadi bahan
percobaan”
“setelah
satu minggu ini berlalu, apa gunanya lagi harga diri. Lagi pula kamu nggak
bakalan mempermalukanku di depan umumkan?”
“se-yakin
itu?”
“aku
kenal kamu udah lama, meskipun kamu baru mengenalku hari ini. Kamu yang kukenal
bukan orang yang jahat. Aldy itu cowok polos yang bodoh dan berpura-pura jadi
cowok dewasa”
Sepertinya
selama ini dia memang banyak mengenalku. Dia terlihat seakan-akan bisa membaca
fikiranku, dia sangat mengenal semua tentangku. Perempuan ini membuatku sulit
mangambil sikap. Semakin dia bersikap seperti ini, aku semakin sulit membuatnya
terluka. Dony benar, kenapa harus dia sasarannya.
Kita
pergi ke banyak tempat, hari ini dia ajaib. Sangat ceria, dan menyenangkan.
Bersamanya aku seperti menemukan kebahagiaan yang baru. Hari ini seperti mimpi,
lebih menyenangkan jika Luzy itu adalah gadis kecilku yang selama ini aku
tunggu.
*4*
Ini
hari ke-3 aku menjadi pacarnya dan gossip udah menyebar seluas samudra
[ha…ha…ha… lebay!]. dan diluar dugaanku Reza, Tony, dan Dika temanku yang
sama-sama ‘badung’ ngasih aku uang 250 ribu itu hari ini, dan parahnya lagi ini
siaran langsung didepan Luzy dan murid-murid lainnya. Saat ini aku ngerasa
kasian sama Luzy, tapi aku juga nggak tahu kenapa mereka ngasih uang itu hari
ini, padahal seharusnya aksi ini mereka lakuin hari sabtu nanti. Waktu aku
melihat Luzy, dia tersenyum, tapi aku tahu itu hanya senyuman untuk menutupi
luka hatinya. Aku nggak mungkin nyamperin dia sekarang, tapi aku udah kasih
aba-aba ke Dony biar dia nyamperin Luzy. Niatnya, seperti biasa aku nyusulin
mereka dan nguping.
Kalau
gini ceritanya, apa yang harus aku dengerin. Aku pikir saat ini dia berubah
jadi gadis cengeng karena malu dihadapan semua orang. Tapi, dari yang ku lihat,
dia asyik banget makan bakso bareng Dony di kantin. Mereka dua orang yang
jarang banget ketawa, tapi sekarang mereka berdua malah tertawa lepas dan
bahagia banget kelihatannya. Yasudahlah, yang penting aku nggak nyakitin
hatinya Luzy. Waktu mau balik ke kelas banget, Luzy melihatku dan dia berteriak
memanggilku. Benar-benar cewek aneh. Sampai saat ini dia masih nggak punya
malu. Mau nggak mau, terpaksa harus mau duduk makan bakso bareng mereka yang
berbahagia ini.
“sebenernya,
kita bukan ngajakin kamu makan bakso” kata Luzy.
“terus
ngapain manggil aku?” tanyaku.
“kamu
baru aja dapet rezeki kan, makanya harus berbagi. Aku udah bantuin kamu buat
berbagi kebahagiaan sama semua orang ini, tadi aku bilang siapapun yang pesen
bakso disini, bakalan dibayarin sama Aldy. Kamu berhutang sama aku, harus
berterimakasih loh!”
Wah… ini cewek nyebelinnya nggak ada yang ngalahin
deh! Si Dony juga rese banget, dia pasti sengaja bantuin nih cewek! Aku terus ngedumel dalam hati dan tersenyum untuk
menutupi rasa kesalku ini. Cewek ini harusnya malu banget hari ini, eh… dia
malah bahagia banget gara-gara berhasil mengerjaiku.
Sesampainya
dirumah, sehabis sholat isya, seperti biasanya aku harus belajar. Padahal hari
ini males banget apa lagi kalau inget kejadian tadi pagi disekolah. Tapi otakku
sekarang harus ditujukan pada soal-soal bahasa inggris yang Dony kasih. Ampun
banget! Soal ini susah banget. Sebenernya mungkin aja gampang, tapi karena
nggak focus, nggak satupun yang berhasil ku jawab.
“Sorry
yah, Al” kata Dony yang terlihat seperti menahan tawanya.
“kamu
suka Luzy?” tanyaku.
“apa
sih?”
“nggak
apa-apa jujur aja, Don”
“itu
nggak penting, yang penting sekarang kapan kamu selesai ngerjain soal itu”
“selalu
begitu”
“apa?”
“mengalihkan
pembicaraan, tiap kali ngerasa dipojokin, pasti ngomongya nggak nyambung lagi
sama apa yang dibahas!”
Dony
hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Dan sekarang aku harus fokus ngerjain
soal-soal ini. Tapi, ponsel ku bunyi, dan ternyata itu Luzy. Dia mengirim
pesan, dan bilang kalau dia menungguku di taman dekat rumahku. Padahal
sebelumnya nggak ada perjanjian apapun, dia tiba-tiba sms dan bilang kalau dia
udah ada disana dan ada hal penting yang harus dia omongin malam itu juga.
Otomatis, nggak pake lama aku langsung lari ke taman itu.
“ada
apa?” tanyaku dengan suara yang terdengar kelelahan.
“kenapa?
Salah kalau aku mau ketemu kamu tanpa alasan”
“apa?
kamu bilang ada hal penting”
“aku
pengen liat bintang bareng pacarku, bisakan temani aku sepuluh menit saja?”
“pacar?”
“masih
ada 4 hari lagi, bukankah ku bilang satu minggu?”
“tap–”
“diam
dan duduk saja” Luzy menarik tanganku dan memaksaku duduk di kursi taman itu.
Malam
ini ada banyak bintang, Luzy terus tersenyum dan melihat langit, dia tidak
mengatakan apapun, hanya diam dan terus memperhatikan bintang-bintang itu.
Sesekali aku melihatnya dan merasa malam ini dia cantik. Ah… tidak, maksudku
dia memang cantik sejak dulu tapi saat ini aku melihatnya dengan perasaan yang
berbeda. Tapi aku yakin ini bukan perasaan cinta.
“apa
aja yang mau kamu lakuin setelah hari ini?” tanyaku.
“makan
ice cream, bersepeda bareng, dan ke bioskop” jawabnya.
“bukankah
ada 4 hari, kenapa cuma tiga hal yang ingin kamu lakukan?”
“hari
terakhirnya rahasia”
“menyebalkan!”
“sudah
sepuluh menit, makasih yah!” dia berlari dan melambaikan tanganya.
*5*
Sesuai
dengan yang Luzy inginkan, di hari ke-4 aku mengajaknya makan ice cream bereng,
hari ke-5 aku mengajaknya bersepeda, dan hari ke-6 aku mengajak dia pergi ke
bioskop. Hari ini hari ke-7, hari terakhir aku menjadi pacarnya. Entah apa yang
ingin dia lakukan di hari ini, tapi aku merasa sulit melepaskannya. Semakin
hari dia semakin menyenangkan, tapi aku nggak bisa terus mempertahankan hubungan
yang memang sejak awal udah nggak baik. Belum lagi, perasaanku saat ini bukan
untuknya, memang selama ini aku mulai menyukainya, tapi aku lebih menyukai
seseorang yang ku cari selama ini.
Hari
ini aku janji bertemu Luzy di taman biasa, taman dekat rumahku. Karena ini hari
terakhir, aku sengaja membawa coklat dan bunga untuknya.
“maaf
membuatmu menunggu lama”
“memang
selalu beginikan”
“hari
ini kita mau kemana?”
“kembali
ke kehidupan masing-masing” Luzy tersenyum, tapi senyumannya semakin menyempit
dan ekspresi wajahnya tidak ceria lagi “itu coklat dan bunga untuku kan?”
“emm,
iya” kataku sambil memberikan coklat dan bunga itu.
“bagaimanapun
juga, terimakasih untuk satu minggu ini” kata Luzy sambil melangkah pergi.
Saat
itu aku kaku dan terus melihatnya yang mulai menjauh dan semakin jauh, karena
itu mulutku berteriak refleks.
“Tidak
bisakah kita memperpanjang waktu pacaran kita satu minggu lagi?”
Entah
apa yang membuatku mengatakan hal itu, tapi perkataanku itu tidak berpengaruh
apapun pada Luzy. Dia terus berjalan seakan-akan tidak mendengar apapun. Tanpa
ku sadari, ternyata Dony dari tadi ada dibelakangku. Waktu aku membalikan
badanku, aku tepat berdiri dihadapannya. Mata Dony terus melihat Luzy hingga
punggung Luzy menghilang ditepi jalan. Kali ini aku yakin kalau Dony suka sama
Luzy. Ku pikir kali ini dia bakal marah karena bagaimanapun juga aku membuat
orang yang dia suka terluka. Tapi ternyata, Dony nggak marah sama sekali, dia
hanya menyuruhku pulang untuk belajar lebih awal, karena semua nilai-nilaiku
turun. Dony nggak bilang apapun soal perasaannya ke Luzy. Menjadi sahabatnya
selama ini, dia tidak pernah curhat tentang apapun, selalu aku yang banyak
cerita padanya. Aku lebih cocok menjadi adiknya meskipun usiaku lebih tua.
Berhubung
lusa Dony ultah, aku harus nyiapin kado. Biar lebih special, mending aku
menjadikan Luzy sebagai kadonya. Entah apa yang bakalan aku lakuin nanti,
karena sampai saat inipun aku belum tahu gimana caranya bikin mereka berdua
dekat. Tapi, jahat nggak sih kalau aku ngasih barang bekas yang udah pernah aku
pake? Meskipun hanya status, tapi tetap aja aku dan Luzy pernah jadian.
Yasudahlah, masalah itu gimana nanti aja, yang penting sekarang aku harus
deketin Luzy lagi. Setelah kemarin kita resmi putus, hari ini dia kembali lagi
dengan tatapan mautnya. Benar-benar gadis yang aneh! Sebenarnya siapa dia,
kenapa dia bisa merubah sikap secepat itu.
Nyari
satu cewek aja sulit banget. Biasanya Luzy di perpus atau di kantin, tapi hari
ini dia nggak ada dimana-mana. Terpaksa deh harus muter-muter sekolahan nyari
itu anak. Sampai kaki ku berhenti waktu mataku ini melihat Luzy dan Dony lagi
duduk berdua di taman belakang sekolah. Nggak ada banyak orang yang datang
kesini, itu berarti ini tempat mereka berdua. Tapi, sejak kapan? Jangan-jangan
mereka udah deket sejak dulu banget. Saking pengen tahu mereka lagi apa, aku
bersembunyi di balik pohon besar dekat tempat mereka berdua duduk. Ternyata
setelah aku lihat seteliti mungkin, mereka bukan cuma duduk dan ngobrol. Mereka
berdua ngedengerin music bareng lewat earphone. Romantis dan pas banget kayak
orang yang lagi pacaran.
“yah
bener, sejak SMP kamu suka banget lagu ini” akhirnya suara Luzy berhasil
kudengarkan.
“kamu
tahu dari mana?” kata Dony.
“aku
tahu semuanya, lusa kamu ultah, apel buah yang paling kamu suka, kamu suka
banget sama makanan pedas, setiap kali ada masalah pasti dengerin music dan
duduk di bersandar di pohon, lebih suka diam tapi bukan berarti nggak pernah
marah, selalu tersenyum bukan berarti nggak ada masalah. Itu hanya sebagian
kecil, menurutmu apa yang nggak aku tahu tentang kamu?” kata Luzy panjang
lebar.
“kenapa
bisa, bukankah selama ini kamu suka sama Aldy?”
“berapa
lama kamu jadi temanku? Sejak SMP kita sering main barengkan?”
“apa
hanya teman?”
“yaiyalah.
Bukankah selama ini aku suka Aldy?”
“emm”
Dony menutup matanya “hari ini cerah”
“aku
ke kelas lagi yah” Luzy berdiri dan membersihkan rumput-rumput kering yang
menempel di roknya.
Kali
ini aku tahu kalo ternyata mereka berdua udah deket sejak lama, tapi kenapa
Dony nggak pernah cerita dan malah pura-pura nggak pernah deket sama dia. Waktu
Luzy balik ke kelas, aku ngikutin dia dari belakang.
“Luzy”
teriakku.
Luzy
membalikan badannya “ada apa?” muka datarnya dimulai lagi.
“tadi
aku liat kalian di belakang”
“aku
tahu, lalu?”
What,
Dia tahu? “sejak kapan kalian temenan?”
“sejak
SMP lah, mulai menyukai mu juga waktu SMP”
Kayaknya
Luzy udah mulai sadar kalo pertanyaan aku ini udah aneh banget. Dia langsung
pergi gitu aja, tanpa senyuman atau apapun. Setidaknya ucapkan kata-kata kayak
yang dia bilang ke Dony “aku ke kelas
lagi yah”. Apa coba yang Dony suka dari cewek hambar kayak dia?
“Tunggu!
Kalau Dony suka sama kamu gimana?” aku berteriak dan akibat ucapanku itu, dia
menghentikan langkahnya.
Dia
berjalan kearahku, wah… aku mulai takut kalau dia meledak “memangnya harus
gimana?”
Syukurlah, dia nggak marah-marah. Tapi, tetep aja
ekspresinya itu lho…
“kamu
nggak bisa jadian sama dia?” tanyaku.
“apa
itu penting? Apa gunanya bilang cinta kalau akhirnya salah satu dari kita bakal
ada yang ditinggalin?”
“Dony
belum pernah pacaran, jadi dia nggak bakal ninggalin kamu. Dia bukan aku” Aku
mulai merasa bersalah setelah mendengar ucapannya.
“kalau
kamu mencintaiku, apa yang akan kamu lakukan saat kamu tahu kapan aku bisa meninggalkanmu?”
“aku
bakalan lebih sering didekatmu”
“kalau
aku pergi, kamu harus tetap disini. Jika semakin banyak kenangan yang aku
kasih, kamu akan merasa sangat kehilangan waktu aku pergi”
Aku
sama sekali nggak bisa memproduksi kalimat apapun. Secara, saat ini bibirku
beku dan nggak bisa ngomong. Memang apa yang harus kulakukan? Saat aku menyukai
orang itu, aku akan hidup seakan-akan nggak pernah meninggalkan dia. Sebenarnya
apa maksudnya? Dia mau pindah sekolah atau apa? Entahlah, gadis ini memang sulit
kumengerti. Sekeras apapun aku mengikuti jalan pikirannya, aku nggak bisa
menemukan jawaban lewat kehidupannya.
Karena
aku terus diam setelah dia mengatakan hal itu. Dia langsung pergi
meninggalkanku yang masih menyimpan pertanyaan tentang ucapannya. Dia aneh,
tapi menarik. Sama seperti Dony, terlalu banyak hal yang nggak bisa dia bagi
dengan orang-orang sekitarnya. Menyendiri dan selalu merasa kesepian padahal
selama ini ada begitu banyak orang didekatnya.
“ada
apa sih Al, ngapain ngomong gitu ke Luzy?” suara Dony selalu datang tiba-tiba.
“Don”
aku menengok ke arahnya dan tersenyum karena merasa nggak enak.
“ayo”
Dony merangkul bahuku.
“kamu
nggak marah?”
“niat
kamu kan baik, lagian kalo aku marah, bisa-bisa di ultahku nanti kamu nggak
ngasih kado” Dony tersenyum dan mulai bersikap aneh.
Benarkan,
sama banget kaya Luzy, terkadang untuk menutupi kesedihannya dia akan bersikap
aneh dan berbeda. Jika besar nanti mereka berdua berjodoh dan menikah lalu
punya anak, pasti anaknya bakalan lebih dahsyat anehnya dari mereka berdua.
[ha…ha…ha…]
*5*
Hari
ultah Dony kali ini pasti special banget. Semalam Luzy mengajakku bertemu di
tempat biasa, dia menitipkan kado untuk Dony. Entah apa isinya, akupun ingin
segera tahu. Tapi harus sabar, biar lebih kena di hatinya, mendingan aku kasih
nanti sepulang sekolah. Jadi tetep aja, hari ini aku duluan yang ngucapin.
Begitu
sampai disekolah, Dony langsung ke taman belakang tempat waktu itu aku liat
mereka berdua. Seperti biasa, aku ngikutin dari belakang. Begitu sampai, aku
benar-benar terkejut. Tempat ini disulap menjadi sangat indah. Pohon besar yang
saat itu ku pakai untuk bersembunyi, sekarang dihiasi dengan balon-balon
berwarna putih dan merah jambu. Belum lagi ada meja kecil yang diatasnya
tersimpan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Saat itu pikiranku langsung
melayang ke Luzy, apa mungkin dia yang ngelakuin semua ini? Dan sekarang aku
ingat kado itu. Waktu aku ultah kemarin dia nggak ngasih kado apapun, padahal
dia menyukaiku, tapi kenapa saat Dony ulang tahun dia ngasih kado yang cukup
gede? Tempat ini juga dari awal nggak banyak orang yang dateng kesini. Siapa
lagi kalau bukan Luzy?
Tapi,
pikiranku tentang Luzy berhenti waktu aku lihat Dony yang menahan tangisannya
sambil memakan kue itu. Tetap saja, air matanya keluar meskipun ia berusaha
menahannya. Aku makin bingung sama semua keadaan ini. Ada apa sebenarnya?
Setelah
pulang dari sekolah, perhatianku langung tertuju pada kado yang Luzy titipkan
semalam. Tadinya aku nggak berani buka kado ini, karena ini kado milik Dony,
jadi nggak sopan banget, kan kalau aku membukanya tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Tapi, terlalu banyak teka-teki dan aku sangat penasaran. Maafin aku, Don!
Setelah
mengambil kadonya, saat Dony mandi, nggak pake lama aku pergi dengan motorku
membawa kado ini. Jika membukanya dirumah, Dony pasti tahu. Karena itu, aku
pergi nyari tempat yang aman.
Aku
duduk di salah satu meja pelanggan di caffe ini. Perlahan-lahan, aku mulai
membuka kado ini. Yang kulihat hanya buku yang agak tebal. Diary? Secara spontan, hatiku menebak buku ini. Benar, setelah ku
lihat dengan jelas, ini memang Diary. Tapi buat apa dia ngasih benda yang
paling pribadi ke Dony?.
Aku
mulai membuka buku ini. Dan benar, ini tulisan tangan Luzy. Meskipun tidak
akrab dengannya, tapi saat SMP dia bertugas sebagai sekertaris kelas. Itu
sebabnya aku hafal bentuk tulisan cewek ini.
Aku
mulai membaca lembar pertama buku ini.
“selamat
ulang tahun”
hanya tiga kata? Irit banget tuh cewek. Oke, kita
lihat apa yang dia tulis di lembar kedua.
Saat
aku membuka lembar kedua buku itu, ternyata nggak ada tulisan apapun. Aku coba
membuka lembar selanjutnya dan selanjutnya, tapi nggak ada yang dia tulis. Buku
ini memang cukup tebal, dan dilihat dari sisi manapun buku ini adalah diary.
Ternyata ini kadonya, kupikir ada hal yang lebih menarik. Dasar aneh ! lagian
kenapa aku berpikir Luzy bakalan ngasih kado yang special, secara selama ini
Luzy menyukaiku bukan Dony.
“ini,
semalam Luzy menyuruhku ngasihin ini kekamu” aku memberikan buku itu saat
pulang ke rumah.
Dony
nggak bicara apapun, dia hanya membuka buku itu dan membaca kata yang SPJ itu,
[Singkat-Padat-Jelas]. Setelah membacanya, dia langsung menyimpan buku itu
tanpa pertanyaan apapun. Orang-orang ini selalu membuatku penasaran.
Memang
aku ini sahabat – apakah? –
Hari
ini aku benar-benar nggak melihat Luzy. Kepsek bilang, Luzy pindah sekolah. Dia
menghilang tanpa kata apapun, aku sangat ingin mencari tahu tentang dia, tapi
mau nanya kesiapa? Nyari tahu kemana? Jangankan sahabat, temanpun dia nggak
punya.
“Galau?”
lagi-lagi suara Dony mengagetkanku.
“apa
sih?”kataku.
“Luzy
dan aku, kita cuma temenan kok”
“lho,
emang apa hubungannya sama aku? Lebih dari temen juga nggak apa-apa kok!”
“nggak
usah pura-pura, kamu mulai suka kan sama Luzy?”
“ya
nggak lah. Dari jaman Obama sampai jaman nabi adam, aku nggak mungkin suka sama
dia”
“cara
kamu mikirin dia, liat dia, dan ngobrolin dia, sama kayak waktu kamu suka sama
Reina”
“udah
dong Don, aku tahu kamu suka Luzy. Aku suka Reina itu bener, tapi kalau aku
suka Luzy, itu salah”
“pendapat
kamu soal aku suka Luzy juga salah. aku nggak pernah suka sama dia Al”
Ternyata
Dony nggak pernah suka sama Luzy. Pendapatku selalu saja salah, tapi mendengar
Dony bilang kayak gitu, hati ku tiba-tiba berdaun-daun [berbunga-bunga maksudnya
ha… ha… ha…]. Mungkin ini karena aku nggak mau kehilangan fans kayak Luzy.
Dony
udah tertidur pulas, tapi mataku nggak bisa merem. Kesempetan buat kabur
[ha…ha…ha…] malam ini aku bisa nge-trek di tempat biasa, kebetulan Reza, Tony,
dan Dika udah nunggu disana.
*6*
“setelah
nonton film kita napain?” Tanya Luzy.
“kamu
mau ngapain?” jawabku.
“emm…
photo box” kata Luzy sambil menggandeng tanganku.
Sepulang
dari bioskop kita langsung ke tempat photo box, dan berjalan-jalan sambil makan
ice cream. Hari ini kita sangat dekat, layaknya pasangan yang cucok banget.
Sambil jalan dan makan ice cream, kita berdua mentertawakan muka-muka yang
konyol di photo ini. saat photo box, kita bergaya ‘alay’. selanjutnya Luzy
nggak pernah berhenti menggandeng tanganku. Tapi tiba-tiba aja hujan datang
tanpa undangan, akhirnya kita kehujanan deh.
Hujan?
huahhh… ternyata bukan hujan, tapi Dony menyiramku pake se-gayung air es.
Pantes aja dingin banget!
“keterlaluan
banget sih Don!”
“ya
habisnya dibangunin, terus aja merem. Betah banget, mimpi apa sih?”
“mau
tahu aja!”
“yaudah
buruan mandi, telat nih”
“iya
ah!”
Waktu
berputar lebih cepat dari yang kubayangkan. Sekarang, status kita bukan pelajar
lagi, tapi mahasiswa. Setelah lulus, kita sepakat buat ninggalin Bandung dan
merantahu ke Jakarta untuk mencari ‘seseorang’. [ha…ha…ha…]. Ya nggak lha yah,
kita ke Jakarta untuk kuliah, yah walaupun masih ada kuliahan yang bagus di
Bandung. Tapi ya itu hak asasi manusia. Dan, kita tinggal gratis di kost-kostan
punya paman dan bibinya Dony.
Udah
lama aku nggak mimpiin tentang Luzy, tapi malam ini dia tiba-tiba nongol di
mimpiku. Hmm… mungkin karena dia terlalu aneh, makanya sampai saat ini aku
masih mengingatnya.
Sekarang
aku dan Dony berjalan-jalan di kampus kita ini, kampus yang bakalan manpung
kita sampai kelar. Tapi, gara-gara keasyikan bercanda, aku nggak sengaja
ngedorong Dony sampai dia nabrak cewek disebelahnya.
“Sorry”
kata Dony.
“nggak
apa-apakan?” kataku.
Cewek
ini nggak mengucapkan kata apapun. Dia terus tertunduk dan melihat gelang pink
yang kita pake. Yah… selama ini sebenarnya, kita memakai gelang yang sama
berwarna pink.
“Aldy,
Dony?” kata cewek ini dan mulai mengangkat kepalanya dan melihat sosok pria
tampan yang ada dihadapannya.
Tunggu,
tadi dia lancar banget ngucapin nama kita. Siapa dia? apa dia mengenal kita?
Tapi, semakin aku menelusuri wajahnya, ternyata cewek ini…
Reina,
gadis kecil yang selama ini aku cari dari Sabang sampai Merauke dan balik lagi
ke Bandung.
Saat
itu, umur kita masih sangat kecil. Aku dan Reina berteman sejak TK. Bahkan
sebelum aku menjalin hubungan ku dengan Dony [eitss… maksudnya hubungan
persahabatan].
Tadi pagi disekolah, pembagian raport, dan sekarang
kita resmi jadi siswa kelas 3. Syukurlah, kita naik dengan nilai yang
memuaskan, yah kecuali Aku. Diantara mereka, hanya diriku ini yang nilainya
sedikit kurang, setidaknya aku berhasil masuk peringkat delapan.
Malam ini,
Reina menungguku dan Dony di taman belakang rumahnya. Dia bilang, dia mau
ngomongin sesuatu.
“hey, gadis kecil” kataku sambil berjalan mendekati
Reina.
“umurku sama denganmu” kata Reina yang sedang duduk.
“dulu saat umurmu 4 tahun, kau menangis di taman ini
karena aku mengambil bonekamu” aku langsung tiduran diatas rerumputan.
“itukan udah lama, mau sampai kapan diinget-inget
terus?”
“kamu inget nggak waktu semua temanmu menanyakan
ibumu, bahkan mereka mentertawakanmu karena kamu tidak punya ibu”
“yah, saat itu kau datang dan memarahi merekakan?
Masih kecil tapi hobby nya marah-marah”
“lalu, saat umur 6 tahun, kamu jatuh di lumpur yang
kotor, gara-gara kamu, aku harus pulang tanpa baju”
“ternyata selama ini kamu terus yang muncul di
kenangan masa kecilku”
“tentu, kapan kamu punya teman selain aku”
“maaf aku telat, ada apa Rei, Al?” Dony datang dan
membuat kita berhenti bernostalgia.
“nggak apa-apa” Reina berdiri dan menarik ku agar
akupun berdiri.
“jadi ada apa Rei?” tanya Dony.
“karena kamu sahabat Aldy, itu artinya kamu juga
sahabatku” jawab Reina.
“terus?” kata Dony
“aku mau kamu jadi ayahku dan Aldy jadi ibuku” Reina
duduk dan menunduk.
“maksudnya?” Dony kebingungan dengan ucapan Reina.
“eh… tunggu, apa aku keliatan kayak ibu-ibu?” kataku.
“emm…” Reina menganguk “selama ini, meskipun aku
memiliki ayah, tapi aku selalu kesepian dirumah” lanjutnya.
“tapi, kenapa aku yang jadi ibu?” tanyaku.
“karena seorang ibu lebih mengenal anaknya dan selalu
berada didekat anaknya, lagi pula kamu yang menyuruhku untuk menganggap kamu
sebagai ibuku” jawab Reina.
“itu, karena aku menghiburmu” jawabku dengan suara
yang pelan.
Reina, mengambil tanganku dan memasangkan gelang yang
terbuat dari kain berwarna pink ini. setelah gelang itu terpasang ditanganku,
dia melakukan hal yang sama pada tangan Dony. Saat kulihat, ternyata dibalik
kalung ini ada tulisan tangannya, “ibu”.
Itulah
asal-usulnya gelang c-u-t-e ini kudapatkan.
“hey!”
Reina mengeraskan suaranya dan pikiranku loncat-loncat deh!
“Reina”
aku terus memperhatikan wajahnya dan masih nggak percaya bisa ketemu sama dia
lagi.
“iyah,
aku Reina” Reina berdiri dan tersenyum.
Ahh…
senyumannya membuatku makin cenat-cenut deh! Yah… gadis kecil yang selama ini
kucari dan kutunggu ada di depan mataku. Seperti mimpi di dalam mimpi. Baru aja
mimpi tentang Luzy, eh … paginya ketemu Reina.
“Rei”
kata Dony sambil mengeluarkan sesuatu dalam tasnya “ini” dia memberikan sebuah
kalung pada Reina.
“jadi
selama ini kalungnya ada di kamu, ah… kupikir hilang” Reina mengambil kalung
itu dan terus menggenggamnya sambil tersenyum.
“tunggu
deh, kalung?” tanyaku yang mulai kebingungan.
“dulu
aku nemuin kalung itu di atas tanah” jawab Dony.
“lho,
kok bisa?” Tanya Reina.
“kita
ceritanya sambil jalan-jalan deh” kata Dony.
Kita
mulai berjalan mengelilingi kampus baru ini yang mempertemukan romeo-juliet.
Tapi, kalau itu kalung punya Reina, kenapa ada di Dony. Lalu, kenapa dia nggak pernah
cerita kalau dia menyimpan benda milik Reina. Tapi, kalau dipikir-pikir,
memangnya kapan dia pernah curhat?
Oke
untuk cerita lebih lanjut, kita dengarkan keterangan dari tersangka
[ha…ha…ha…]. Sambil berjalan, Dony mulai menceritakan kisah si kalung itu.
Saat itu, aku disuruh ibu kewarung untuk membeli mie.
Aku berjalan kaki, karena jarak rumah dengan warungnya juga nggak jauh. Waktu
lagi berjalan dengan tenangnya, tiba-tiba saja seseorang berteriak dan merusak
ketenanganku saat itu
“awas!” teriak
seorang cewek yang lagi menaiki sepeda.
“hey, hati-hati!” kataku.
Aku menahan sepedah yang di taiki gadis itu agar dalam
posisi yang seimbang dan gadis itu tidak terjatuh. Tapi gagal, pada akhirnya
malah kita berdua yang jatuh bersama. Anehnya gadis itu malah tertawa.
“ada apa denganmu, kenapa tertawa” Tanyaku.
“karena ini menyenangkan” cewek itu berdiri dan
mengangkat sepedanya yang menimpa tubuh ku yang kurus.
“kamu aneh!” kata Dony.
“ayo” cewek itu tersenyum dan mengulurkan tangannya
untuk membantu ku berdiri.
“emm, makasih” aku berdiri dan tangan kita masih
berpegangan.
“namaku Reina” dia memegang tanganku seakan-akan
sedang berkenalan.
“aku, Dony” merekapun saling melepaskan tangan yang
berjabatan tadi.
“aku tahu, kamu si murid baru itu kan? Yang sebangku
sama Aldy?” tanya Reina.
“kamu sekelas denganku?”
“iyah, sampai ketemu besok disekolah yah” Reina pergi
dengan sepedahnya.
“besok hari minggu”
“ahh… aku lupa, kalau begitu sampai ketemu lusa” Reina
tersenyum dan melanjutkan langkahnya.
Aku tersenyum dan terus melihat Reina yang berjalan
sambil mendorong sepedahnya, hingga ku sadar, seharusnya dari tadi aku ke
warung dan membeli mie. Saat mau pergi meninggalkan tempat itu, aku melihat
kalung yang cantik tergeletak di atas tanah. Kupikir itu adalah kalung Reina
yang terjatuh juga saat kejadian tadi, karena itulah aku membawa kalung itu dan
berniat untuk mengembalikannya disekolah nanti. Tapi ternyata aku lupa dan
selalu tidak ada waktu yang tepat untuk memberikannya, hingga akhirnya aku baru
mengembalikannya sekarang.
Huahh…
ceritanya cukup panjang juga, yah… meskipun masih kurang panjang kalau
dibandingi dengan curhatan yang sering banget ku ceritakan.
Jadi
itu sebabnya, kenapa kalung itu ada di Dony. Sebenarnya, itu kalung yang aku
kasih ke Reina waktu dia berulang tahun yang ke-7. Aku sengaja memilih bentuk
bintang karena dia sangat suka bintang. Syukurlah orang yang menyukainya saat
ini seterang bintang dan se-indah bulan [ha…ha…ha…].
“Rei,
emang nggak ada yang mau kamu omongin sama aku, gitu?” tanyaku yang berharap
banget dia nanya.
“harus
nanya apa?” Tanya Reina.
“apa
aja deh, misalnya kamu kangen nggak sama aku? [ha…ha…ha…]” PD-ku muncul deh
kepermukaan wajah.
“ya
ampun… heh bu! Kenapa kamu nggak berubah?” Reina tertawa.
“dia
yang paling banyak berubah, kok!” kata Dony yang sekarang mulai aktif
berbicara.
“benarkah?”
Reina melihatku se-teliti mungkin “dilihat dari penampilan, kamu kayak…, jangan-jangan…” lanjutnya.
“yap…
tapi keren dan tetap wangi kan, beda banget sama anak genk yang jarang mandi
plus dekil itu”
“ya
emang, ternyata kamu emang susah diatur” kata Reina.
“Rei,
kamu ambil jurusan apa?” Tanya Dony.
Hari
pertama bertemu Reina, pasti akan terus berlanjut pada hari-hari berikutnya.
Ah… Reina, gadis kecilku yang sekarang jadi membesar, aku benar-benar
menunggumu dan sekarang kita ketemu, benar juga kalau jodoh itu nggak akan
kemana, palingan maen dulu ke tetangga [oops… salah yah?].
*8*
Asyiek…
karena sekarang di Jakarta, berarti kata-katanya gue-loe [ha…ha…ha…]. Si gue
ini, sekarang lagi siap-siap buat kencan bareng Reina. Yah… sebenernya bukan
kencan sih, hanya main biasa, soalnya ada Dony. Ah… kalau aja Dony memberiku
waktu buat berduaan bareng Reina.
Sekarang,
kita bertiga lagi muter-muter tempat yang asyik di mamah kota ini [ha…ha…ha…
ibu kota maksudnya]. Pertama dan utama, tentunya kalau nge-date, pasti ke
bioskop, habis itu makan ice cream, terus photo box, dan nggak lupa bersepeda
bareng. Tapi, sebenernya itu nge-date versi Luzy, pacar terakhirku yang entah
kemana. Sekarang, kita baru aja keluar dari bioskop dan langsung ketaman buat
makan ice cream sekalian photo-photo gokil lewat kamera punya Dony.
“Rei,
kita photo berdua yah, Don tolong photo kita!” aku menarik tangan Reina, agar
dia berdiri disebelahku.
“tunggu,
tunggu” kata Reina.
“oke…
1…2…3….” Kata Dony.
“ckrek…”
bunyi suara kamera Dony.
“symbol
cinta” Reina menarik tanganku agar tanganku membuat bentuk hati dengan
tangannya.
“ckrek…”
bunyi suara kamera Dony lagi.
Akhirnya
bukan cuma aku dan Reina yang narsis di photo itu, tapi Dony juga ikutan. Hari
ini, setelah selesai main-main di taman, kita langsung pulang kerumah karena
tugas kuliah udah numpuk kayak baju cucian. Nggak kerasa ternyata kita udah
kuliah di sini kurang-lebih hampir 2 semester, dan selama ini hubungan kita
bertiga makin dekat.
Niatnya
sih seminggu lagi aku mau ngajakin dia berkencan resmi, terus nembak dia deh
[jedor…jedor… deh!]. tapi masih ragu, gara-gara takut ditolak. Selama ini,
Reina malah terlihat lebih dekat dengan Dony, tapi itu juga emang gara-gara aku
juga sih. Karena Reina dan Dony satu jurusan, jadi aku menyuruh Dony buat nyari
informasi tentang dia. selama ini, Dony tahu kalau dialah cewek yang
super-duper-extra luas tempatnya di hatiku. Yah… meskipun terkadang bayangan
Luzy yang selama satu minggu itu hampir mirip kayak Reina. Sebenarnya bukan
Reina yang mirip Luzy, tapi Luzy yang terlihat seperti Reina saat satu minggu
jadi pacarku itu.
Malam
ini, aku nyari hiburan bareng orang sesat ini, huuu… udah tahu sesat terus
ngapain masih di ikutin? Apalagi kalau bukan untuk hiburan, secara otakku udah
mumet dan mampet selama dikampus dan di tempat kost karena makananku selalu
buku. So… buat cuci mata tapi ngotorin hati, ya boleh lah cari kesenangan dikit
walaupun ujung-ujungnya jadi kesengsaraan [ha…ha…ha…].
Kalau
bareng Anton yang anak Jakarta asli plus teman yang lainnya, aku pasti ngomong
so-gaul. Tapi, kalau bareng Dony dan Reina, ucapanku masih terdengar kayak
cowok yang polos [manis dan lucu dong! Ha…ha…ha…].
“Sob,
gimana target loe?” Tanya Anton yang lagi seru-serunya liatin mukanya di cermin
motor.
“target
apaan?” jawabku, yang balik nanya.
“itu
lho, cewek yang jadi calon pacar loe”
“euh…
gue kira apaan”
“udah
lama deket, tapi kapan jadiannya?”
“nanti
juga ada saatnya, tenang aja!”
“loe
kagak takut, si Rei keburu di embat sama temen loe?”
“temen
yang mana? Dony maksud loe?”
“yap!
Si cowok kutu buku itu kan makin hari makin rekat banget sama si Rei”
“gue
emang sengaja nyuruh dia cari info tentang Rei, wajar kalau mereka deket”
“kagak
khawatir?”
“ya
kagak lah!”
“se-yakin
itu?”
“gue
percaya sama Dony, dia bukan orang yang gampang jatuh cinta, diakan udah
nungguin seseorang”
“hah!
Siapa?”
“se-su-a-tu!
ha..ha..ha..”
Ngapain
juga aku harus khawatir? Dony, nggak mungkin suka sama Reina apa lagi dia tahu
kalau aku menyukainya. Buktinya, waktu dia suka sama Luzy, dia nggak berani
ngomong gara-gara aku duluan yang jadi cowoknya.
Huah…
malam ini aku nge-gas motorku dengan extra. Tanpa rasa takut terjatuh aku terus
ngebut membawa motor ninja berwarna merah ini. hal ini udah jadi kebiasaanku,
jadi udah nggak ada rasa takut jatuh dari motor lagi, yah… palingan takut
cicilan motor kaga kebayar [ha…ha…ha…].
*9*
“Dy, buruan!” Anto menarik tanganku.
“emang
ada apa?” kataku.
“liat
aja ntar, loe kagak boleh lewatin yang satu ini”
“apaan
sih? Ada sinetron?”
“tepatnya
ada siaran sinetron yang live”
Mana
ada sinetron yang tayang secara live, ngaco banget nih anak. Padahal, dikantin
tadi aku lagi serius menikmati makanku. Dia tiba-tiba datang dan mengagetkanku.
Baru nyampe disampingku, dia langsung teriak dan narik-narik tanganku yang
mahal ini.
Dan
ternyata, sekarang kita udah nyampe di TKP [ha…ha…ha…]. Saat ini, di dekat
parkiran ini, dimataku ini, yang ada hanya Dony lagi ngobrol sama Reina. Terus,
mana sinetronnya?. Yah… memang agak cemburu juga, soalnya mereka ngobrol dan
makan bareng berdua terus kaga ngajakin sayah! Awalnya mereka cuma makan
masing-masing piring mereka [oops… harusnya, melahap makanan yang ada di atas
piring mereka. he…he….he…] tapi, lama-lama tangan Dony mulai kegatelan dan
perlu digaruk. Masa dia ngehapus makan yang ada dibibir Reina pake tissue dan
langsung pake tangannya, kenapa nggak tissuenya aja yang dia kasih! Tapi,
tenang aja, diantara mereka nggak ada apa-apa walaupun belum tentu nggak
terjadi apa-apa.
Anton
ngotot banget, biar aku percaya kalau Dony suka sama Reina, tapi seratus
kalipun dia ngulangin kata-katanya, aku akan tetap dengan pendapatku, kalau
Dony nggak mungkin suka sama Reina karena dia tahu bahwa murid sekaligus sahabatnya
ini suka banget-banget-banget sama Reina gadis kecilku.
“woy!”
aku datang mendekati mereka dan duduk disebelah Reina.
“kenapa
kesini Al?” Tanya Reina.
“lho,
emang kenapa? Aku juga mau ikutan makan bareng kalian!” kataku walaupun nggak
tahu apa yang mau mereka makan.
“yakin?”
kata Reina.
“mas,
satu lagi yah!” aku berteriak pada pedangang itu.
Akhirnya,
pesanan ini siap disantap. Ternyata ini siomay. Wah… mereka malah asyik
memperhatikan ekspresiku yang terkaget-kaget liat jenis makanan ini. lagian,
kenapa aku nggak nanya dulu, makanan apa yang lagi mereka pesen. Lalu, kenapa
aku nggak merhatiin gerobaknya yang jelas-jelas terpajang kata ‘siomay’. Kalau
udah gini, mendingan cabut aja deh! Makanan ini, paling nggak mood untukku
makan. Meskipun mereka berdua rakus banget menyantapnya, tetep aja sekali nggak
suka tetap nggak suka. Akhirnya aku terlihat seperti lalat yang mengganggu
mereka makan. Tapi, ngomong-ngomong apa yang bakalan terjadi kalau ada lalat
setampan ini? cewek lalat pasti ngejar-ngejar. [ha…ha…ha…]
Aku
emang nggak pernah nafsu liat jenis makanan yang satu ini sejak usiaku 5 tahun.
Sebenarnya itu gara-gara kejadian konyol yang memalukan. Waktu lagi makan
siomay, aku lari-lari dan akhirnya jatuh, saat itu juga lah siomayku yang ada
dimulut langsung meluncur ke kerongkongan tanpa dikunyah. Apalagi kalau bukan
tersedak, tapi ini parah karena siomaynya cukup besar. Dan saat itu, Reina
melihatku dan mentertawakanku. Tapi, yasudahlah itu udah jadi sejarah.
“masih
yakin?” Reina menyindirku.
“nggak!
Aku suka semua jenis makanan, kecuali yang satu ini!” kataku.
“itu
aku juga tahu, makanya kita nggak ngajak kamu” kata Reina sambil menyuapkan
siomay itu.
“yaudah,
kalau gitu aku balik dulu yah” aku mulai berdiri.
“siomaynya?”
kata Dony.
“buat
loe aja” aku berjalan kembali ketempat sebelumnya.
Anton
yang maksa banget aku buat nonton mereka, masih nunggu kabar selanjutnya
dariku. Lagian kenapa juga ini anak ngarep banget aku percaya kalau Dony suka
sama Reina.
“gimana?”
Tanya Anton.
“gimana
apanya?” aku bertanya balik.
“yaelah,
itu loh mereka berdua”
“mereka
lagi makan siomay bukan mesra-mesraan”
“ah…
loe bodoh banget sih Al, mereka emang makan siomay, tapi sambil romantis-romantisan”
“dimana-mana
kalau mau so sweet itu di tempat yang romantis, masa iya di pinggir parkiran
gitu”
“terserah
deh, yang penting gue udah ngasih tahu”
“yaudah,
ke perpus yuk! Kita nyari bahan buat tugas”
Sampai
kapanpun, aku nggak mungkin percaya kalau Dony bakalan suka sama Reina. Dony
mendekati Reina buat jadi mak comblang kita berdua, masa iya malahan mereka
yang saling suka. Ditambah lagi, aku adalah orang dimasa lalunya Reina, yah…
kalau cinta monyet buat anak-anak SMP/SMA, berarti kisah ku dan Reina panggil
aja cinta anaknya monyet [ha…ha…ha…].
*10*
Setelah
seharian nggak berhenti bergerak, sekarang baru kerasa deh pegal-pegalnya.
Malam ini, aku lagi duduk di kursi sambil nanton TV. Ini udah jam 9 malam, tapi
Dony belum balik. Kemana aja sih dia, mana ponselnya nggak bisa di hubungi
lagi. Minggu-minggu ini kita memang lagi sibuk masing-masing, jadi kita jarang
pulang atahu berangkan bareng.
Acara
di TV nggak ada yang seru! Hoamm… aku juga mulai ngantuk, tapi Dony masih belum
pulang. dari pada bosen sendirian dirumah, mendingan aku keluar dengan motorku.
Tapi, janjian dulu sama Anton di tempat biasa, jalan tempat anak-anak
nongkrong.
Sambil
mengendarai motor di jalan ke tempat tujuan, aku masih memikirkan Dony.
Sebelumnya selalu dia yang pulang lebih awal, kenapa sekarang malah telat
banget dia pulang. nggak mungkin kan kalau dia diculik, dia bukan anak kecil.
Jadi kemungkinan dia lagi main atau ngerjain tugas. Tapi, kalau dia main
berarti sama Reina dong. Benar… sejak tadikan aku liat mereka lagi makan
siomay, dan semakin hari mereka berdua juga makin deket. Tapi, sampai sekarang
Reina masih biasa aja, mungkin dia masih nggak tahu kalau aku suka. Terus,
kapan Dony mulai deketin kita sebagai pasangan?
Ah… udah deh, dari pada menebak-nebak nggak
tentu mendingan sekarang sebelum ke tempat trek-trekan, aku dateng dulu ke
rumah Reina.
Sampai
juga di rumahnya, tapi aku nggak langsung masuk. Itu karena saat ini, kejadian
yang terekam dimataku secara langsung bikin hatiku mulai gerah. Ternyata Dony
memang lagi di rumah Reina, tapi yang bikin parah ditempat ini adalah, Reina
dan Dony duduk bersebelahan sambil mendengarkan music di ipon lewat headshet.
Suasana ini membuat pikiranku mengingat masa lalu waktu di SMA. Saat Dony dan
Luzy berduaan ditaman belakang, yang kulihat saat ini mirip banget sama yang
pernah tayang waktu SMA, yang membedakannya hanya tempat dan waktu. Tapi,
justru ini lebih romantis dari pada yang pernah aku liat waktu SMA. Sambil
mendengarkan music bersama, mereka tertawa dibawah cahaya bintang. Tapi,
ngomong-ngomong cahaya bintang, aku mulai mengingat Luzy lagi. Ah… udahan deh!
Sekarang bukan waktu yang tepat buat mengenang masa lalu.
Sekarang
aku bakalan nyamperin mereka dan marah sama Dony. Yah… aku mulai melangkahkan
kakiku, selangkah, dualangkah, dan akhirnya aku berhenti sebelum sampai di
dekat mereka. Langkahku terhenti setelah aku melihat setumpuk buku di samping
Reina. Saat ini aku berpikir, mungkin saja mereka lagi ngerjain tugas dan duduk
santai berdua itu setelah menyelesaikan tugasnya. Lagian seharusnya aku percaya
sama Dony. Aku putuskan untuk segera pergi dari tempat ini sebelum mereka sadar
dengan kedatanganku. Aku pergi diam-diam karena saat datangpun diam-diam.
Benar…
mereka juga sahabatan, wajar aja kalau mereka duduk sedekat itu. Walaupun
terlihat kayak yang lagi pacaran, tapi nggak mungkin lah! Mana mungkin? Benar…
sekali lagi, mana mungkin?
Meskipun
udah berkali-kali berusaha meyakinkan hatiku ini kalau kedekatan mereka malam
itu nggak lebih dari sahabat, tetep aja hati ini masih kepanasan dan perlu di
kipasin. Huah… yasudahlah, yang penting aku harus berusaha percaya.
Setelah
sampai di arena balapan ini, aku melampiaskankan semua yang aku rasa lewat
kecepatan motor ini. aku menjalankan motor ini sangat cepat dan bahkan lebih
cepat dari biasanya. Dan… sampai di garis finish, tetep aja ada yang lebih
cepat dariku. Tapi, setidaknya aku yang ke-2. Orang itu juga pasti lagi kesal,
makanya ngendarain motornya super-duper cepat.
Orang
yang mengalahkan ku itu mengulurkan tangannya, dan akupun menjabatnya. Dengan
busana yang berwarna hitam dia terlihat lebih keren dariku, tapi bukan berarti
lebih ganteng, karena sampai sekarangpun dia nggak ngebuka helmnya, mungkin
kurang PD dengan wajahnya [ha…ha…ha…].
Eits…
ternyata sekarang dia mulai membuka helmnya, dan saat itu juga rambut
panjangnya terurai. Hah? Kupikir dia lelaki, ternyata perempuan, ah… ternyata
yang mengalahkan ku seorang wanita. Tapi, sepertinya aku mengenali wajah ini,
tatapan dan senyumannya udah nggak asing lagi. Benarkah? Ternyata, cewek ini
Luzy. Hebat… ternyata aku bertemu dengan dia lagi. Dia memang bukan cewek
biasa, bahkan hal seperti inipun mampu dia lakukan?
“woy!”
Luzy mengagetkan ku yang sejak tadi tertegun melihat wajahnya.
“emmm…”
aku menundukan kepala karena bingung mau bilang apa.
“apa
kabar?” Tanya Luzy dengan tenang.
“baik,
kamu?” jawabku singkat.
“sangat
baik”
“oh…
baguslah”
Luzy
menatapku seakan-akan ada yang salah denganku “ada apa denganmu, kenapa jadi
kaku gitu?” kata Luzy.
“wah,
ini sifat barumu lagi?” kataku.
“sorry,
sifat baru?” Tanya Luzy yang mulai kebingungan.
“saat
SMP kamu pendiam, masuk SMA jadi jutek, dan selama satu minggu jadi sangat
ceria, dan sekarang kamu mulai bertingkah aneh. Sebenarnya mana sifat aslimu?”
kataku panjang lebar.
“nanti
juga kamu tahu, seperti apa sifatku yang sebenarnya” kata Luzy sambil memakai
helmnya lagi.
Luzy
pergi dengan motornya. Bodoh… kenapa aku nggak sempat meminta nomor ponselnya.
Tapi, ucapannya itu terdengar seakan-akan dia yakin kita bakalan ketemu lagi.
Yah… mungkin karena dia bakalan sering ketempat ini dan pastinya ditempat ini
juga kita ketemu lagi. Ahh… bertemu dengan dia membuatku mulai bertanya-tanya
lagi. Dia kayak soal matematika, sulit tapi kadang bisa menyenangkan dengan
proses yang panjang untuk menemukan jawabannya.
Sekarang
udah waktunya balik ke kost-kostan. Ternyata, Dony udah pulang bahkan sekarang
dia lagi asyik dengan mimpinya. Akupun harus segera tidur karena besok harus ke
kampus pagi-pagi.
*11*
Hari
ini, aku masih harus menyelesaikan tugasku, dan tentunya masih harus ngumpulin
bahan sebanyak mungkin. Jadi aku harus rajin-rajin ke perpus. Keliling-keliling
nyari buku, tapi bingung juga nyari buku apa [ha…ha…ha…].
“a..aw”
suara itu seperti suara Reina.
Aku
mendekati suara itu berasal dan ternyata memang benar itu Reina. Seperti
dugaanku, pasti bukan hanya Reina, karena akhir-akhir ini dimana ada Reina
disitulah ada Dony. Aku hanya bisa diam karena waktu terasa sulit bergulir.
Secara, saat ini aku melihat mereka bersikap seperti pasangan, bahkan bukan
seperti, tapi memang pasangan. Jika orang lainpun melihatnya, orang akan berpendapat
sama denganku. Karena, tidak akan ada sahabat yang dekat seperti kedekatan
mereka. ini perpustakaan, tapi mereka melakukan tindakan tercela! Dan kenapa
harus Dony dan Reina?
“bruk”
aku melemparkan buku yang aku pegang ke lantai, dan mereka mulai menghentikan
apa yang mereka lakukan. Saat ini, mereka berdua melihatku dan akupun terus
menatap mereka dengan penuh rasa kesal. Setelah beberapa menit dalam tempat
yang menyebalkan ini, aku mengambil kembali buku yang kulemparkan karena aku
memang membutuhkan buku itu. Setelah itu, aku membalikan badanku dan berlari
keluar.
“Al,
gue udah dapet bukunya, loe gimana” Tanya Anto sambil menyodorkan buku yang dia
bawa, tapi aku mengabaikannya dan melanjutkan langkahku.
Aku
sangat kesal dengan apa yang kulihat tadi. Saat ini aku bener-bener butuh waktu
buat menengangkan pikiranku. Aku terus berjalan keluar dan sampailah di kursi
dekat pohon yang cukup besar. Aku mencoba menjernihkan pikiranku. Tapi, apa
yang kulihat tadi itu sulit ku lupakan begitu saja. Wajar jika aku cemburu,
karena aku menyukainya.
“bantu
aku menghabiskannya!” tiba-tiba saja ada suasana yang membuatku berhenti
mengingat kejadian itu.
Aku
menengok kesebelah kiri dekat pohon itu, dan ternyata aku benar-benar
dikejutkan oleh pemilik suara itu. Dia Luzy, saat ini dia tersenyum dan
menyodorkan ice cream padaku. Aku terus melihat senyumannya. Tapi kali ini,
bukan senyuman menakutkan ataupun senyuman yang ceria, melainkan senyuman yang
sangat tenang dan membuatku merasa tenang juga melihatnya.
“cepat
ambil, aku mulai pegal!” kata Luzy.
“eh…
emm…” aku mengambil ice cream itu.
Setelah
itu, dia langsung duduk di sebelah ku “oke aku setuju!” kata Luzy, yang entah
apa maksudnya.
“setuju
apa?” tanyaku yang selalu kebingungan didekatnya.
“bukankah
ucapanmu yang terakhir memintaku untuk memperpanjang waktu jadian kita selama
satu minggu lagi” Luzy tersenyum.
“ah…
kamu masih ingat hal itu” aku menggaruk kepala ku karena malu “eh… tapi, kenapa
kamu bisa ada disini?” tanyaku.
“ini
kampusku, jadi nggak anehkan kalau aku ada disini”
“tapi,
aku nggak pernah liat kamu”
“kampus
kita inikan sangat luas, kita juga beda jurusan. Dan, setiap ada kamu aku pasti
sembunyi”
“hah?
Ngapain sembunyi segala?”
“ngapain
lagi kalau bukan karena ingin kamu temukan?”
“apa?”
“jadi,
gimana? Ucapanmu malam itu masih berlaku nggak?” Luzy kembali menanyakan hal
itu.
“emm…
sorry Luz, tapi saat ini aku nggak bisa” jawabku dengan penuh rasa bersalah.
“karena
Reina?”
“tahu
dari mana?”
“selama
ini yang bersembunyikan aku, bukan kamu”
“maksudnya?”
“lupakanlah”
Luzy melihat kebelakang “kayaknya ada yang mau ngomong deh!” kata Luzy yang
langsung pergi.
Otomatis,
aku langsung melihat apa yang terjadi, aku langsung menengokan kepalaku dan
ternyata, Reina ada di belakangku.
“Al”
Reina mendekatiku dan langsung duduk menggantikan Luzy.
“ada
apa?” kataku kesal.
“apa
yang kamu liat nggak sama kayak apa yang kamu pikirin”
“sama
banget kayak sinetron!” kataku dan langsung pergi meninggalkannya.
aku
langsung keparkiran untuk mengambil motorku, karena aku harus bertemu dengan
Dony, yang ternyata mempermainkan kepercayaanku. Aku dan motorku terus melaju
melalui jalan ini hingga sampai di kost. Ternyata Dony yang selama ini jadi
sahabat yang siap sedia setiap saat malah jadi orang yang paling membuatku
kesal.
*12*
Dony
yang lagi anteng duduk sambil nonton TV, seakan-akan nggak ada apapun yang
terjadi, aku seret keluar dan apa lagi yang kulakukan kalau bukan memberinya
pukulan.
Aku
mengepalkan tanganku dengan penuh rasa emosi dan aku mulai meluncurkan pukulan
di wajahnya, tapi lagi-lagi tanganku terasa kaku setelah aku berpikir bahwa dia
sahabatku. Akhirnya aku menurunkan tanganku dan hanya menarik kerah bajunya.
“kalau
mau jadi maling, harusnya loe nyuri buat keluarga loe, tapi loe malah jadi
maling dalam keluarga loe sendiri” tanganku masih menarik kerah bajunya.
Dony
mencoba melepaskan kerah bajunya yang kutarik hingga aku melepaskannya “tadi di
perp–” kata Dony.
“Don!”
aku berteriak memotong pembicaraannya “gue tulus sayang sama loe, tapi itu
sebelum hari ini” aku pergi meninggalkannya.
“tapi…”
Dony berteriak dan menghentikan langkahku “hari ini, besok. Atau kapanpun, loe
tetep sahabat gue” lanjutnya.
Aku
berjalan kembali mendekatinya dan saat itu. Aku langsung mengepalkan tanganku
dan meluncurkan pukulanku tepat di wajahnya, dan ujung bibir Dony pun berdarah.
Jujur, saat ini aku sangat ingin meminta maaf dan mengobatinya karena merasa
bersalah, tapi rasa marahku saat ini lebih besar dari perasaan bersalah itu.
Aku langsung pergi dan membawa motorku.
aku
terus menjalankan motorku, dan terus mencoba menenangkan pikiranku. Sebenarnya
apa yang harus kulakukan? Oke, aku memang menyukainya dan sangat wajar jika
cemburu, tapi hanya wajar, karena aku nggak punya hak untuk cemburu terhadap
Dony dan Reina, karena bagaimanapun juga aku masih sahabatnya Reina dan bukan
pacarnya.
Selama
inipun Dony selalu mengalah, masalah apapun dia akan selalu mengalah untuku.
Bahkan, meskipun dia menyukai Luzy, dia nggak bilang apapun dan hanya diam
menyembunyikan perasaannya agar aku tetap jadian sama Luzy. Oke, sekarang
waktunya aku mengalah. Tadi jelas-jelas Reina datang dan bilang kalau apa yang
kulihat nggak sama seperti apa yang aku pikirkan, berarti aku hanya salah
paham.
Setelah
memikirkan semuanya, aku memutar balik motorku dan kembali ke kost-kostan untuk
meminta maaf. Setelah sampai, ternyata pintu kost ditutup dan akupun
membukanya.
“ahh…”
kata Dony yang merasakan sakit karena pukulanku tadi.
Saat
ini, ternyata Reina ada disini dan bahkan dia sangat teliti mengobati luka
Dony. Lalu, apa ini masih salah paham?
Reina
dan Dony melihatku yang sedang berdiri di sela pintu. Apa lagi yang harus
kulakukan sekarang, nggak mungkin kalau aku melanjutkan niatku untuk meminta
maaf. Rasa kesalku semakin bertambah.
“sumpah…
gue nyesel udah balik ketempat ini!” kataku dan langsung membanting pintu
sekeras mungkin.
“Al”
mereka berteriak memanggilku, tapi aku terus mengabaikannya.
Aku
membawa motorku pergi dan terus menjalankannya dengan kecepatan yang melebihi
batas normal, ini lebih cepat dari sebelumnya, semua ini karena aku sangat
kesal.
Apa
yang membuatku kesal, kurasa bukan hanya cemburu, tapi aku merasa mereka
mempermainkanku dan Dony menghianatiku, tapi sebenarnya aku juga menyesal
karena mungkin setelah kejadian ini aku dan Dony nggak bersahabat lagi. Tidak…
aku nggak peduli, masih ada Anton dan anak-anak yang lainnya.
Motorku
terus melaju dengan cepat dan rasa kesalku terus menyelimuti hati dan
pikiranku. Dan, motorku bertambah cepat dan semakin cepat, hingga… semuanya
gelap!
Kejadian
yang hanya beberapa detik itu membuatku terjatuh dari motorku dan aku tidak
bisa melihat sekelilingku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya…
*13*
Saat
ini aku merasakan sakit di kepalaku dan tubuhku yang lainnya, tapi kurasa aku
mulai sadar.
“Al”
aku yakin itu suara ibu
“kamu
sadar, nak?” dan yang ini adalah suara bapa.
Aku
mencoba membuka mataku untuk memastikan bahwa itu memang ibu dan bapa. Saat ini
aku berhasil membuka mataku, tapi meskipun begitu aku tidak bisa melihat apapun
karena ruangan ini terlalu gelap. Tunggu… tidak mungkin ruangan ini tidak ada
lampunya, pasti ada yang salah denganku, tepatnya lagi dengan mataku. Ada apa
ini? aku buta?.
“nggak
mungkin” berulang kali aku mengucapkan kata itu dengan teriakan yang sepertinya
membuat bapa dan ibu khawatir.
Setelah
dokter memeriksa ku, ternyata benar… “aku
buta!”. Kornea mataku rusak saat kecelakaan, dan aku bisa melihat lagi,
jika ada donor mata untukku. Tapi, itu tidak semudah seperti donor darah. Kali
ini aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun. Apa gunanya hidup tanpa mata,
mana mungkin aku bisa bertahan tanpa melihat apapun. Kini, aku menyalahkan
Dony, semua ini karena dia!
“Al”
aku mendengar suara Dony.
“pergi
loe!” aku berteriak mengusirnya!
“sorry,
Al”
“pergi!
Loe senengkan liat gue buta? Reina jelas lebih milih loe!” aku semakin
mengeraskan suaraku.
“Al,
please jangan gitu!” tiba-tiba aku mendengar suara Reina.
“oh…
ternyata ada Reina juga, jadi sekarang kalian mau ngetawain gue bareng-bareng?”
“Al”
“PERGI!”
entah apa yang aku lemparkan saat ini, tapi yang jelas aku berhasil membuat
mereka keluar.
Bapa
dan ibu berusaha menenangkanku, tapi akupun mendengar ibu menangis melihatku
begini. Sekarang apa yang harus ku lakukan? “apa?
apa? apa?”.
*13*
Selama
satu bulan ini, Luzy terus menemaniku dengan sifatnya yang membuatku tenang.
Ternyata ini sifat dia sebenarnya. Hangat dan tenang. Sampai sekarang, aku
nggak pernah dengar lagi kelanjutan kisah dari Reina dan Dony. Karena nggak ada
seorangpun yang berani membicarakan masalah itu, yah… kecuali Luzy yang keras
kepala.
“kamu
yakin, itu perasaan cinta?” Tanya Luzy memulai obrolan kita.
“apa
lagi kalau buka cinta?” jawabku.
“tapi,
bukankah cinta itu menumbuhkan kasih sayang dan bukan permusuhan?”
“aku
mau tidur sekarang!” aku menghindari percakapan ini.
“yaudah,
semoga dalam tidurmu, ada mimpi, dan dalam mimpimu ada masa lalumu”
“keluarlah,
aku mau tidur”
Apa
bedanya aku membuka atau menutup mataku saat tidur? Bukankah sama saja,
sekalipun mataku terbuka aku tetap tidak bisa melihat apapun seperti orang yang
menutup matanya.
Sebenarnya
aku nggak mau tidur, hanya ingin menjauh dari Luzy, karena dia sering
membicarakan tentang Dony dan Reina, ini bukan pertama kalinya. Dia selalu
membahas mereka.
Aku
hanya berbaring di kasur, dan tidak tertidur. Tapi, tiba-tiba saja aku
mendengar suara di luar ruang rawatku.
“pokoknya
aku mau masuk!” sepertinya itu suara Reina.
“
nggak bisa, belum saatnya!” dan ini pasti Dony.
“kenapa
sih kamu minta Luzy buat jaga Aldy, padahal kalau aku yang menjaganya dia juga
pasti mau!”
“dia
masih kesal sama kamu”
“bukan
aku, tapi kamu! Dia marah sama kamu! Aldy nggak mungkin marah sama aku,
bukannya dia menyukaiku?”
“please!
Kali ini, berhentilah bersikap kekanak-kanakan”
“udah
cukup, Aldy lagi tidur!” suara Luzy mulai terdengar.
“selama
satu bulan ini, kamu nggak berusaha ngerebut Aldy kan?” kata Reina.
“bukankah
kamu selalu ada setiap aku lagi sama dia?” Luzy
“udah
cukup!” kata Dony.
“ah…
kamu nggak pernah ngerasain hal ini, kamu nggak pernah ngerti tentang perasaan
ini. Kenapa kamu malah deketin Aldy sama dia sih? Aldy itu dari awal menyukaiku
dan harusnya kita jadian” suara Reina.
“kamu
yang nyuruh aku buat bikin dia salah paham karena kamu pengen liat seberapa
besar rasa sukanya sama kamu. Rei, cinta itu bukan permainan dan bukan juga
tes” Dony membalas perkataan Reina.
“ahh…
udah aku pergi! Sampai kapanpun kamu nggak bakalan ngerti dengan apa yang aku rasain!”
“aku
lebih mengerti perasaan itu dari pada kamu, karena aku merasakannya sejak awal,
hanya bisa bersamanya tapi tidak bisa memilikinya, mencintainya tapi harus
melepaskannya, bukankah itu yang kamu rasakan?”
Suara
mereka semua tidak terdengar lagi. Sekarang, tidak ada apapun yang kudengar.
Tapi, apa maksud semua ini? jika aku menebak dari apa yang ku dengar, beararti
selama ini Reina juga menyukaiku dan dia sengaja membuatku salah paham dengan
kedekatannya sama Dony biar dia bisa liat seberapa besar aku menyukainya. Dasar
gadis bodoh! Kenapa dia selalu bersikap seperti itu diusianya sekarang ini?
tapi apa gunanya semua yang ku dengar. Selama ini, selama satu bulan terakhir
ini aku berhasil membiasakan diri untuk tidak menyukainya. Bisa dibilang, perasaanku
sudah berkurang dan bahkan hampir tidak ada!
Jadi
selama satu bulan inipun, mereka berdua membantu Luzy mengurusku? Ternyata
mereka ada disampingku meskipun aku tidak merasakannya. Bagaimanapun juga,
sekarang aku tahu kebenarannya dan sangat berterimakasih karena mereka tetap
menjadi sahabatku.
“Diary
itu, kamu sudah mengisinya?” suara Luzy terdengar tenang.
“emm…
maksih Luz” kata Dony.
“Dony,
aku harap nanti dimanapun kau berada, tersenyum dan bahagialah”
“ini,
nanti berikan ini padanya!”
Sebenarnya
apa yang mereka bicarakan? Reina pasti sudah pergi, karena aku hanya mendengar
suara Luzy dan Dony. Tapi, pembicaraan mereka kali ini, aku sama sekali tidak mengerti.
Yasudahlah, lagi pula suara kedua orang itu sudah tidak terdengar lagi.
*14*
Sudah
dua minggu aku di berada Bandung, dan selama ini bukan ibu atau bapa yang
mengurusku, tapi Luzy. Dia tiba-tiba datang menyusulku ke Bandung setelah
kejadian di rumah sakit itu dan memintaku untuk menjadikannya perawat. Awalnya
aku nggak mau, tapi dia terus maksa dan akhirnya waktu ibu dan bapa membawaku
pulang ke Bandung, Luzy diam-diam mengikutiku dan entah dengan cara apa, dia
berhasil menjadi perawatku.
“buka
mulutmu, aa…” kata Luzy yang saat ini sedang menyuapiku.
“udah,
mana sendoknya. Aku bisa sendiri!” aku membentak Luzy.
“tapi,
aku ingin menyuapi mu”
Aku
menghempashan tanganku dan ternyata pas pada sendok yang saat itu sedang di
pegang Luzy. Sepertinya sendok itu jatuh karena aku mendengar suara “treng..”
“Aldy”
suara Luzy terdengar begitu lembut. “jika permintaanmu yang waktu itu sudah
tidak berlaku lagi, kalau begitu sekarang izinkan aku yang memohon satu
permintaan” jelasnya.
“aku
nggak mau”
“sampai
matamu sembuh” pintanya.
“lalu,
setelah itu kamu akan menghilang lagi seperti sebelumnya. Begitu?”
“emm…
karena memang seharusnya begitu”
Setelah
menutup mulut beberapa menit, akhirnya aku mulai berbicara kembali.
“baiklah,
sampai mataku bisa melihat, kau adalah pacarku”
“serius?”
suara Luzy mulai kegirangan, sayang aku tidak bisa melihat senyumnya.
“sebenarnya,
kenapa kau selalu datang membantuku setelah itu pergi tanpa kabar?”
“karena
aku menyukaimu. Aku suka dan aku akan membantumu, dengan begitu aku bisa
menjadi orang yang berguna dimata orang yang aku sukai”
“hanya
itu?”
“aku
kebelakang dulu yah, mengganti sendok. Setelah itu, kamu harus menghabiskan
makananmu”
*14*
Setelah
selesai menyuapiku, Luzy mendorong kursi rodaku. Dengan tenangnya, aku begitu
nyaman di dekatnya. Meskipun saat ini hanya warna hitam pekat yang ada di
pandanganku, tapi aku yakin sekarang aku berada di luar rumah. Karena, udaranya
mulai terasa.
“selamat
sore, Kak!” suara itu terdengar kompak di telingaku.
“kau
tahu, dimana kita sekarang?” kali ini, hanya satu suara yang terdengar, dan itu
Luzy.
“dimana?”
tanyaku.
“kita
di taman, tempat dulu saat kita jadi pasangan satu minggu”
“lalu
suara anak kecil itu?”
“mereka
ada di hadapanmu”
“untuk
apa?”
“memberi
energy positif”
“apa
maksudmu?”
“mereka
dihadapanmu, tapi kau tidak bisa melihatnya dan hanya bisa merasakannya, kan?
Begitu juga sebaliknya”
Aku
terdiam begitu mendengar ucapan Luzy. Apa itu artinya, anak-anak itu buta?
Lalu, apa maksudnya Luzy membawaku bertemu dengan mereka? energy positif apa
yang dia maksud?
“kakak
akan memberi tahu kalian tentang teman kakak ini, kalian semua ingin
mendengarkannya, kan?” suara Luzy yang begitu ceria mulai terdengar keras.
“iya!”
anak-anak itu terdengar keras.
“baiklah,
kakak mulai. Panggil saja dia kak Aldy. Dia begitu baik dan menyenangkan,
karena itu, kakak akan meninggalkan kalian dengan kak Aldy” jelasnya pada
anak-anak itu.
“eh,
Luz” secara spontan, aku langsung memanggil Luzy, karena jika dia pergi siapa
yang akan menuntunku? Semua orang disini buta, kecuali Luzy.
“aku
ke warung dulu sebentar, mereka harus dikasih minum dan makanan, kan?” itu
ucapan terakhir Luzy.
Sepertinya
Luzy benar-benar pergi, karena sebanyak apapun aku memanggil namanya, dia sama
sekali tidak menjawab.
“kak
Aldy, apa kakak pernah melihat daun?” Tanya salah seorng dari mereka.
“emm…
tentu. Warnanya hijau dan hampir berbentuk oval”
“kita
bahkan tidak tahu, seperti apa warna hijau itu” kata yang lainnya.
“kalian
sama sekali tidak pernah melihatnya?”
“kita
semua buta sejak lahir”
Apa?
sejak lahir? Setidaknya aku lebih beruntung, aku bisa melihat semua hal sebelum
aku buta, tidak ada benda yang belum pernah ku lihat. Tapi, mereka hidup dalam
kegelapan sejak lahir. Pasti sangat menyedihkan tidak bisa melihat apapun
semasa hidupnya, yang ada hanya warna hitam.
“kakak,
karena kak Aldy bisa melihat, tolong katakan pada kita semua seperti apa tempat
ini. udaranya begitu sejuk, pasti tempat ini begitu menyenangkan” pinta seorang
anak.
Jadi,
Luzy tidak memberi tahu mereka bahwa aku juga buta? Apa yang bisa ku lihat?
Saat ini mataku tidak bisa melihat apapun. Tapi, setidaknya aku pernah datang
ke taman ini, bahkan sering. Jadi, aku akan menceritakan semua yang aku ingat
dari taman ini.
“ada
pohon yang besar dan kokoh, lalu ada kursi disebelah pohon itu. Di taman ini,
begitu banyak tumbuhan. Nah, di sebelah kiri pohon itu jika berjalan lima
langkah, maka kalian akan tiba di kolam ikan. Di sebrang adalah…”
Aku
terus menceritakan semua hal di tempat ini meskipun sebenarnya aku tidak
melihat apapun, tapi aku mengingatnya karena pernah melihatnya. Dan, semoga
saja mereka bisa mengingat keindahannya lewat apa yang mereka dengar.
*15*
“awan,
bunga, tanah, air” aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan
perlahan “aku hidup kembali, Luz” kataku.
“memangnya
selama ini kamu mati?” jawabnya.
“mataku
yang mati” aku menghela nafas. “aku mau ketemu sama Reina dan Dony” lanjutku.
“yaudah,
tunggu sebentar”
Satu
minggu setelah aku menceritakan banyak hal pada anak-anak yang tidak bisa
melihat itu, aku mendapatkan kabar baik. Aku dapat donor mata. Sekarang, aku
bisa melihat dunia ini lagi. Lagit itu biru, awan putih, daun hijau, dan
seluruh warna dan bentuk yang ada. Aku sangat-sangat bahagia. Siapapun yang
mendonorkan matanya, aku sangat berterimakasih. Tapi, lebih berterimakasih lagi
jika aku bisa melihat keindahan dunia ini bersama dengan orang-orang yang tidak
bisa melihat. Jika mata bisa dipinjamkan, aku akan memohon agar orang yang
memiliki mata yang sempurna bisa meminjamkan matanya pada orang yang buta
meskipun hanya 5 detik untuk melihat sehelai daun. Mulai sekarang aku akan
lebih berhati-hati menjaga mata ini.
Saat
ini, aku menunggu Luzy kembali bersama Reina dan Dony. Aku juga merindukan
mereka, sekarang aku sangat ingin memeluk mereka dan bercanda bareng mereka
lagi. Mulai sekarang, apapun yang terjadi mana mungkin aku menyalahkan kedua
sahabatku itu. Hanya salah paham yang kecil, tidak seharusnya membuat
persahabatan kita berantakan.
“ini”
Luzy kembali dan menyodorkan sebuah buku.
“emm..”
aku mengambil buku tersebut “mana Dony dan Reina?” tanyaku.
“Reina
bentar lagi datang, tapi Dony…”
“kenapa?”
“kamu
akan tahu setelah melihat buku itu”
“Al”
teriakan yang nyaring itu tiba-tiba terdengar. Benar, ternyata Reina datang.
“Rei”
aku berlari mendekatinya dengan tatapan yang bahagia [tapi, bukan cinta].
“ternyata,
kamu suka juga sama aku?” aku menyindirnya.
“ihh…
GR banget!”
“ngaku
aja!”
“sampai
kapanpun kamu akan tetap menjadi sahabat dan ibuku, aku datang untuk pamit sama
kamu”
“emangnya
mau kemana?”
“aku
lanjutin study ke luar, kemungkinan nggak bakalan balik lagi”
“lho,
tap–”
“Luzy”
Reina berteriak memanggil Luzy “titip ibuku yah!” Reina tersenyum dan pergi.
Menyebalkan,
sekarang saat aku sudah bisa melihat lagi dia malah pergi. Tapi, Dony? Aku baru
ingat kalau tadi Luzy memberiku sebuah buku. Ternyata ini buku Diary yang Luzy
hadiahkan saat ulang tahun Dony. Lalu, tujuannya memberiku diary ini untuk apa?
daripada penasaran, aku langsung membuka diary ini dan ternyata diary yang
awalnya hanya berisi ‘selamat ulang tahun’ ini, sekarang menjadi padat dengan
tulisan tangan Dony.
“langsung
baca lembar terakhir aja, Al” kata Luzy.
Aku
pun menurutinya dan membaca buku ini langsung pada lembar terakhirnya.
“lewat
mata ini, aku akan tetap hadir menjadi sahabatmu dan lewat mata ini aku akan
tetap melihat orang yang aku sukai. Jaga mata itu dan Luzy seperti kamu menjaga
persahabatan kita selama ini”
Tanpa
kusadari, ternyata air mata mulai membasahi pipiku “Don” suaraku mulai melemah.
“itu
mata Dony, jangan di pake nagis!” Luzy mencoba menenangkanku.
“tapi,
kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.
“sejak
dulu aku tahu Dony punya penyakit yang bisa membuatnya mati kapan saja, karena
itulah aku memberinya Diary untuk menuliskan kejadian yang dia lalui selama dia
hidup”
“sejak
kapan? Dan kenapa kamu nggak pernah ngasih tahu aku?”
“semua
pertanyaan yang membuatmu penasaran akan terjawab setelah kamu membaca Diary
ini”
Benar…
lewat diary ini, aku bisa melihat semua kejadian yang kita alami lewat sudut
pandangnya. Lewat diary ini, aku mengerti apa yang dia rasakan, lewat diary ini
juga aku belajar banyak dari kata-kata yang dia rangkai, dan lewat mata ini
Dony akan tetap hidup sebagai orang yang berpengaruh dalam memotivasiku.
Tidak
semua hal yang ku lakukan sama dengan apa yang orang lain harapkan. Dalam hidup
ini aku harus belajar melakukan, memikirkan, dan menginginkan sesuatu setelah
kita mempertimbangkannya. Karena, dunia ini bukan hanya milikku, tapi dunia ini
juga milikmu, dia, mereka, kalian, dan siapapun. Jadi, aku harus belajar
melihat hal lewat sudut pandang orang lain, tidak hanya melihat pendapat diri
sendiri.
Lewat
diary nya, Dony mengajarkanku hal yang paling penting yang wajib ku ketahui.
Rani Kustiani & MYUDAWAL punya :D
BalasHapus