Rabu, 09 Mei 2012

LEWAT DIARY



                                                                    *1*


Saat ini aku masih sangat ngantuk, tapi aku harus sekolah. Ahhh… pagi ini aku benar-benar lemas gara-gara semalam hanya empat jam aku tertidur. Untuk member makan otakku hingga kenyang, aku harus extra belajar. Setiap harinya aku berusaha sekeras mungkin biar otakku ini berubah jadi sepintar Albert Einstein, meskipun sering melamun tapi bisa jadi ilmuan, kerenkan? Tapi sayangnya aku bukan Albert Einstein si ilmuan pintar itu, dan diapun bukan aku si cowok ganteng n’ cool.
Setidaknya, meskipun otakku ini pas-pasan, tapi aku raja optimis. Meskipun kadang orang bilang apa yang ku lakukan itu nggak masuk akal, tapi aku selalu berusaha mencobanya. Untungnya ada sahabatku Dony, dia akan siap sedia setiap dimintai pertolongan, kayak super hero. [ha…ha…ha…]
“Al, cepetan bangun” Dony menarik selimutku. Dia selalu melakukan cara apapun untuk membangunkanku.
“ahh iya iya, 5 menit lagi oke” aku terus memejamkan mataku.
“oke, 5 menit lagi, tapi ntar malem waktu belajar kamu ditambah satu jam” kata Dony, mengancamku.
“ahh… nggak! apaan”
“makanya cepetan bangun” Dony menarik tanganku.
“iya oke, aku bangun terus mandi sekarang. Puas?” mau nggak mau, aku terpaksa bangun.
“puas banget Al” Dony tersenyum puas.
Dia emang temen yang setia, tapi dia ngotot banget. Umurku lebih tua darinya tiga minggu lima hari, tapi dia yang bertingkah lebih tua dariku. Aku bersahabat dengannya sejak kelas 3 SD, dan sampai sekarang hubungan kita masih sakinah-mawadah-warohman [ha…ha…ha...] maksudnya, hubungan kita masih baik dan bahkan sekarang kita semakin dekat, sejak Dony tinggal dirumahku.
Saat SMP, orang tua Dony kecelakaan dan keduanya meninggal ditempat. Dony anak satu-satunya dan paman, bibi, kakek, neneknya di Jakarta. Awalnya setelah ditinggal pergi orang tuanya, Dony berencana untuk pindah ke Jakarta, tapi aku maksa dia untuk tetep tinggal disini. Dan kebetulan saat itu bapaku lagi nyari guru private yang sabar ngadepin murid dengan seribu satu kenakalan sepertiku. Guru terakhirku berhenti ngajar karena aku masukin obat pencuci perut ke minumannya, akibatnya perutnya mules-mules ampe pagi dan dia kapok jadi guruku. Itulah sebabnya, bapak minta Dony buat jadi guru private ku, dan nggak jadi ke Jakarta. Berhubung Dony sahabatku, bapak pikir jika aku belajar dengannya, aku bisa nyaman dan menikmati semua pelajaran.
Kukira Dony bisa bantuin aku biar nggak terlalu sering belajar, tapi kacau. Setiap hari sehabis sholat isya, aku harus-musti-kudu-wajib belajar sampai jam 10 malam, bahkan kadang-kadang bisa nyampe jam 11 malem. Tapi ada untungnya juga sih, dengan begitu, peringkatku naik setiap tahunnya, dan ibu ngasih aku hadiah. Terakhir di kelas 3 SMP semester 1 aku dapet peringkat 5, yang asalnya nggak dapet ranking sama sekali. Dan saat lulus kemarin, nilaiku juga nggak jelek-jelek amat, yah walaupun ujung-ujungnya tetep Dony yang lebih pintar.
Sampai sekarang, Aldy dan Dony si sahabat sejati ini masih tinggal dirumah yang sama. Saat ini aku dan Dony udah SMA dan di kelas 2 semester 2, yah bisa dibilang umurku sekarang sekitar 17 tahun.
Tahukan apa yang paling menarik dari kisah remaja kayak kita-kita ini? Yap, apa lagi kalo bukan cerita cintanya. [ masa muda tanpa cinta.... oh tidak bisa ha... ha... ha...]. Sekarang aku lagi suka-sukanya sama cewek di kelas yang namanya Luzy. Dia cantik, pinter, menarik, dan yang paling penting dia itu pedes. Nggak ada yang berani deketin dia kecuali Aldy si raja optimis ini. Sesempurna apapun Luzy, nggak ada yang berani suka sama dia, karena dia itu super-duper jutek. Tapi justru itulah yang membuatku tertarik.
Jarak dari rumah ke sekolah cuma ngabisin waktu 15 menit bada 5 detik kalo pake jam tangan, dan sekarang kita berdua udah nyampe disekolah ini. Dan cewek sasaranku lagi berjalan menuju perpustakaan sendirian.
“Luzy” aku berteriak memanggilnya.
“ada apa?” dia menatapku dengan tatapannya yang tajam setajam silet.
“kamu inget aku?” aku tersenyum se-PD mungkin.
“emm” Luzy terus menatapku “nggak” katanya, dia langsung membalikan badannya dan melanjutkan langkah kakiknya.
Kurang pedes banget kan itu cewek, tapi aku harus tetap sabar dan jadi cowok yang manis biar dapetin dia. Kemaren waktu pulang sekolah, pas dia jatuh dari motornya jelas-jelas aku nolongin dia, dan sejak SMP kita selalu duduk di kelas yang sama, mana mungkin dia lupain wajah ganteng yang tak ter elakan ini secepat itu. Oke, tunggu beberapa hari lagi Aldy dan Luzy pasti jadian.
Sebenarnya aku playboy, saat dirumah oke lah aku jadi anak papah dan mamah yang baik hati, ramah tamah, tidak sombong dan rajin menabung meskipun di warung. Tapi setelah di luar rumah, itu kebebasanku yang nggak bisa di ganggu gugat. Banyak cewek yang aku jadikan bahan taruhan, dan semuanya berhasil. Karena itu, aku udah paham sepaham-pahamnya dengan semua jenis perempuan. Mulai dari cewek polos kaya HVS sampai cewek seganas Luzy. Selain itu, hobby ku adalah maen trek-trekan, bisa dibilang pergaulanku agak bebas, tapi nyantai aja aku nggak separah temanku yang lainnya, karena masih ada sahabat ku si superhero. Untungnya Dony nggak pernah banyak nanya kalo aku minta apapun, kayak semalem waktu aku minta dia anter aku ke tempat trek-trekan, dia nganterin tanpa banyak pertanyaan dan nasehat. Temanku yang satu ini udah ngerti banget kalau aku bukanlah orang yang suka diatur-atur.
“udahlah Al, nggak usah maen-maen sama dia” kata Dony.
“kamu kan tahu Don, kalau aku pernah pacaran sama tiga jenis cewek yang kayak gitu, jadi aku hafal banget kalo dia tuh pura-pura jutek”
“Luzy temen SMP kita loh”
“justru itu ki– ”
“ah … yaudah terserah, ayo ke kelas” Dony menarik tanganku.

*2*
Udah satu bulan, aku nyimpen memo diatas mejanya dikelas yang tulisannya selalu sama “I LOVE U”. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti datang dan marah-marah. Sekarang dia datang ke kelas dan ngasihin 30 lembar memo yang selama ini aku simpan diatas mejanya. Luzy, sama aja kayak cewek jutek sebelumnya yang pernah aku pacarin, bahkan dia terlalu mudah ditebak. Habis ini dia pasti marah-marah.
“nggak ada kerjaan banget deh” kata Luzy dengan nada yang tenang.
“emm” bingung deh mau jawab apa.
Ku kira dia bakalan marah, dan rencananya waktu dia marah-marah aku bakalan ngeluarin jurus jitu, yaitu teriak bilang ‘I LOVE YOU’, biasanya setelah itu cewek bakalan pura-pura mengabaikanku, tapi tamatnya tetep aja cewek itu nyamperin dan nanyain keseriusan perasaanku terhadap dia.
“aku nggak marah, aku cuma kasih saran aja, sekali-kali kasih aku coklat, bakso, mie ayam, atau apa aja deh yang bisa dimakan, aku nggak butuh kertas, kertas kayak gini aku punya banyak di rumah” kata Luzy, seakan-akan bisa menebak pikiranku.
“apa?”
Gagal! Kali ini perkiraanku melenceng, banyak banget yang melihat ku, wah… wajah ku yang putih ini berubah warna jadi merah, kayak tomat yang baru mateng. Makanan? Parah banget tuh cewek!
“katanya udah paham betul sama jenis cewek kayak dia” kata Dony, menyindirku.
“udah deh, mendingan kamu bantuin aku buat deketin Luzy”
“pasti deh aku lagi yang kena”
“ayolah, sob!”
“iya oke, kapan batas akhir kamu harus jadian sama dia?”
“minggu ini aku harus jadian sama dia, dan minggu selanjutnya aku putusin dia”
“hmm, dapet karma tahu rasa loh!”
Sebenarnya setiap kali gagal deketin cewek, aku selalu minta bantuan Dony. Sudah ku bilang, Doni itu teman yang siap sedia setiap saat. [ha…ha…ha…] entah apa yang bakalan dia lakuin kali ini buat bantuin aku menangin taruhan kali ini.
Kebetulan banget aku lihat Dony lagi ngobrol sama Luzy di perpus, kayaknya seru juga kalo nguping. Jadi type cowok pinter dan tenang kayak Dony yang dia suka, oke lihat aja nanti, aku pasti berhasil merubah selera kamu itu.
“kamu suka novel tentang kisah cintakan?” Dony mulai ngedeketin Luzy dan duduk disebelahnya.
“lalu?” mukanya Luzy masih sedatar tembok.
“ini” Dony meletakan novel yang cukup tebal di atas meja “kali ini cerita tentang cowok nakal yang suka sama cewek kutu buku yang nggak pernah pacaran” lanjutnya.
“tujuan kamu pasti mak coblangin aku sama temen kamu itu kan?”
“emm” Dony mengangguk.
“aku nggak berani menyukainya, awalnya aku suka dia tapi itu sebelum aku tahu resiko apa aja yang harus aku terima kalau aku menyukainya” Luzy bicara dengan senyumannya yang nggak pernah dia tunjukin ke aku.
“jadi?”
“tenang aja, besok aku bakal bantu dia buat menangin taruhan ini, selanjutnya aku akan berpura-pura sakit hati karena dia”
“apa untungnya kamu ngelakuin semua itu?”
“memangnya saat kita menyukai seseorang, apa keuntungan yang kita dapatkan?”
“nggak ada”
“cinta itu bukan perhitungan yang mudah di cari tahu untung dan ruginya, kalau kamu bertanya tentang kerugiannya pasti banyak hal yang kamu ungkapkan, tapi tanpa kamu sadari, dibalik kerugian itu pasti akan ada orang yang diuntungkan” Luzy pergi meninggalkan Dony.
“meskipun bukan kamu orang yang diuntungkan itu?” teriak Dony.
“keuntunganku adalah saat aku jadi pacarnya” Luzy tersenyum dan saat ini dia berjalan kearahku, sepertinya dia tahu sejak tadi aku menguping percakapan mereka.
“eh… Zy” lagi-lagi aku kehabisan kata-kata saat aku didekatnya.
“aku mau jadi pacar kamu, hari ini kita resmi jadian dan minggu depan tanggal kita putus, oke” Luzy tersenyum.
“maksudnya?” aku beneran bingung sama cewek yang satu ini.
“cepat atau lambat kamu pasti nembak aku kan?”
“emmm… iya, tap–”
“kali ini berapa uang yang kamu dapetin?” Luzy memotong pembicaraanku.
“450 ribu” ahh… gawat, saking gugupnya aku keceplosan deh.
“kalau gitu, kita bagi tiga”
“bagi tiga?”
“gimanapun juga Dony udah bantu kita untuk bisa jadian”
“oh itu”
“aku pergi dulu yah, say” dia tersenyum seakan-akan mentertawakanku dengan ucapan ‘say’ nya.
*3*
‘kita resmi jadian’ ‘say’. Ampun deh, itu cewek aneh banget, udah tahu di jadiin taruhan masih aja mau jadian denganku atau dia lagi butuh uang makanya dia ngorbanin statusnya? Bukankah dia minta uangnya dibagi tiga. Tapi tadi jelas-jelas aku denger dia bilang kalo dia menyukaiku, berarti dia pengen banget jadi pacarku walaupun cuma sebagai cewek taruhan.
“Al” suara teriakan Dony membuyarkan pikiranku saat ini.
“apa sih Don, hari ini minggu kan? Jadi nggak sekolah” sekarang aku masih terbaring di kasur kesayanganku ini.
“kenapa sasarannya harus Luzy sih?”
“lho, emang kenapa? Kamu suka Luzy?” aku yang tertidur, sekarang bangun dan nggak ngantuk lagi.
“nggak, lupain aja! Cepet sana mandi!”
“emang mau kemana?”
“di bawah ada Luzy”
“what? Yang bener” aku kaget setengah hidup.
“liat aja sendiri” Dony berjalan keluar dari kamar ini.
“thank’s ya don!”
Aku tahu, Dony pasti suka sama Luzy, sebenarnya itu masih dugaanku. Dilihat dari cara Dony melihat Luzy waktu ngobrol tadi, aku rasa Dony emang nyimpen perasaan ke Luzy. Tapi tenang aja Don, aku nggak suka sama Luzy kok. Apapun yang dia lakuin, nggak bisa mengubah perasaanku, karena aku hanya mencintai orang yang ku kenal sejak kecil dulu. Selama ini, meskipun aku sering pacaran sama cewek-cewek aneh, tetep aja di hatiku hanya ada satu nama, dan nama itu bukan Luzy.
“ngapain kamu kesini?” tanyaku.
“ngapain lagi kalau bukan ngajak kamu jalan?” jawab Luzy dengan ekspresi wajah yang sama sekali nggak mirip dengan Luzy yang aku kenal.
“kamu ini bener-bener nggak punya harga diri yah?” kata-kataku kali ini pasti bikin dia marah.
“oh… begitu yah” Luzy tersenyum dan menyodorkan tas yang dia bawa.
Aku membuka tas itu dan ternyata isinya sweater yang mirip banget kayak yang dia pakai saat ini.
“sweater pasangan, cepat pakai setelah itu kita jalan-jalan” senyum Luzy makin melebar.
Ada apa dengannya? dia bukan Luzy yang ganas. Awalnya dia itu gadis yang asli pedesnya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba jadi cewek yang ceria. Aneh, apa dia kembaran Luzy? Tapi setahuku dia nggak punya kembaran. Lalu, siapa yang sedang berdiri dihadapanku ini?
Tanpa banyak pertanyaan, aku langsung memakai sweater pasangan itu dan pergi jalan bareng Luzy. Waktu mau bawa motor, dia nggak mau. Dia menyuruhku untuk berjalan-jalan tanpa menggunakan motor. Padahal selama ini semua cewek yang aku ajak jalan, pasti males banget kalo disuruh jalan kaki, tapi Luzy malah menyuruhku untuk meninggalkan motor kesayanganku itu dirumah.
“kamu merasa aneh sama sifat ku kan?” Tanya Luzy sambil terus berjalan.
“lebih aneh lagi kalau aku nggak merasa aneh sama sifat kamu yang baru ini”
“aku menyukaimu sejak kita di SMP yang sama dua tahun lalu” Luzy bicara tanpa menatap mataku.
“aku tahu” kali ini, aku yang menebak pikirannya.
“kamu nggak sepintar dan nggak sehangat Dony”
“lalu, kenapa kamu suka sama aku, kenapa nggak suka sama Dony aja”
“karena kamu Aldy, cowok so playboy padahal sebenernya polos”
“polos?” dasar Luzy yang menyebalkan!
“kau sangat jujur mengatakan semua kelemahanmu, untuk ukuran lelaki, kamu terlalu terbuka dan cerewet”
“heh! Jadi tujuan kamu ngajak aku jalan buat ini?”
“di tambah lagi sifat kamu yang gampang marah dan so ganteng”
“sebenarnya mau kamu itu apa?” aku mulai kesal sama gadis ini.
“berpura-puralah menyukaiku” Luzy menghentikan langkahnya “meskipun kamu nggak pernah menyukaiku, tapi selama satu minggu ini berpura-puralah menjadi pacar yang paling baik” Lanjutnya.
“kamu membuatku kesulitan menghadapimu, selama ini aku sering berpura-pura menyukai orang lain, jadi harusnya kamu yang pura-pura nggak tahu kalau aku jadiin kamu taruhan”
“oke, selama satu minggu ini aku pura-pura nggak tahu”
“tapi apa kamu nggak punya harga diri, seharusnya kamu marah karena jadi bahan percobaan”
“setelah satu minggu ini berlalu, apa gunanya lagi harga diri. Lagi pula kamu nggak bakalan mempermalukanku di depan umumkan?”
“se-yakin itu?”
“aku kenal kamu udah lama, meskipun kamu baru mengenalku hari ini. Kamu yang kukenal bukan orang yang jahat. Aldy itu cowok polos yang bodoh dan berpura-pura jadi cowok dewasa”
Sepertinya selama ini dia memang banyak mengenalku. Dia terlihat seakan-akan bisa membaca fikiranku, dia sangat mengenal semua tentangku. Perempuan ini membuatku sulit mangambil sikap. Semakin dia bersikap seperti ini, aku semakin sulit membuatnya terluka. Dony benar, kenapa harus dia sasarannya.
Kita pergi ke banyak tempat, hari ini dia ajaib. Sangat ceria, dan menyenangkan. Bersamanya aku seperti menemukan kebahagiaan yang baru. Hari ini seperti mimpi, lebih menyenangkan jika Luzy itu adalah gadis kecilku yang selama ini aku tunggu.
*4*
Ini hari ke-3 aku menjadi pacarnya dan gossip udah menyebar seluas samudra [ha…ha…ha… lebay!]. dan diluar dugaanku Reza, Tony, dan Dika temanku yang sama-sama ‘badung’ ngasih aku uang 250 ribu itu hari ini, dan parahnya lagi ini siaran langsung didepan Luzy dan murid-murid lainnya. Saat ini aku ngerasa kasian sama Luzy, tapi aku juga nggak tahu kenapa mereka ngasih uang itu hari ini, padahal seharusnya aksi ini mereka lakuin hari sabtu nanti. Waktu aku melihat Luzy, dia tersenyum, tapi aku tahu itu hanya senyuman untuk menutupi luka hatinya. Aku nggak mungkin nyamperin dia sekarang, tapi aku udah kasih aba-aba ke Dony biar dia nyamperin Luzy. Niatnya, seperti biasa aku nyusulin mereka dan nguping.
Kalau gini ceritanya, apa yang harus aku dengerin. Aku pikir saat ini dia berubah jadi gadis cengeng karena malu dihadapan semua orang. Tapi, dari yang ku lihat, dia asyik banget makan bakso bareng Dony di kantin. Mereka dua orang yang jarang banget ketawa, tapi sekarang mereka berdua malah tertawa lepas dan bahagia banget kelihatannya. Yasudahlah, yang penting aku nggak nyakitin hatinya Luzy. Waktu mau balik ke kelas banget, Luzy melihatku dan dia berteriak memanggilku. Benar-benar cewek aneh. Sampai saat ini dia masih nggak punya malu. Mau nggak mau, terpaksa harus mau duduk makan bakso bareng mereka yang berbahagia ini.
“sebenernya, kita bukan ngajakin kamu makan bakso” kata Luzy.
“terus ngapain manggil aku?” tanyaku.
“kamu baru aja dapet rezeki kan, makanya harus berbagi. Aku udah bantuin kamu buat berbagi kebahagiaan sama semua orang ini, tadi aku bilang siapapun yang pesen bakso disini, bakalan dibayarin sama Aldy. Kamu berhutang sama aku, harus berterimakasih loh!”
Wah… ini cewek nyebelinnya nggak ada yang ngalahin deh! Si Dony juga rese banget, dia pasti sengaja bantuin nih cewek! Aku terus ngedumel dalam hati dan tersenyum untuk menutupi rasa kesalku ini. Cewek ini harusnya malu banget hari ini, eh… dia malah bahagia banget gara-gara berhasil mengerjaiku.
Sesampainya dirumah, sehabis sholat isya, seperti biasanya aku harus belajar. Padahal hari ini males banget apa lagi kalau inget kejadian tadi pagi disekolah. Tapi otakku sekarang harus ditujukan pada soal-soal bahasa inggris yang Dony kasih. Ampun banget! Soal ini susah banget. Sebenernya mungkin aja gampang, tapi karena nggak focus, nggak satupun yang berhasil ku jawab.
“Sorry yah, Al” kata Dony yang terlihat seperti menahan tawanya.
“kamu suka Luzy?” tanyaku.
“apa sih?”
“nggak apa-apa jujur aja, Don”
“itu nggak penting, yang penting sekarang kapan kamu selesai ngerjain soal itu”
“selalu begitu”
“apa?”
“mengalihkan pembicaraan, tiap kali ngerasa dipojokin, pasti ngomongya nggak nyambung lagi sama apa yang dibahas!”
Dony hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Dan sekarang aku harus fokus ngerjain soal-soal ini. Tapi, ponsel ku bunyi, dan ternyata itu Luzy. Dia mengirim pesan, dan bilang kalau dia menungguku di taman dekat rumahku. Padahal sebelumnya nggak ada perjanjian apapun, dia tiba-tiba sms dan bilang kalau dia udah ada disana dan ada hal penting yang harus dia omongin malam itu juga. Otomatis, nggak pake lama aku langsung lari ke taman itu.
“ada apa?” tanyaku dengan suara yang terdengar kelelahan.
“kenapa? Salah kalau aku mau ketemu kamu tanpa alasan”
“apa? kamu bilang ada hal penting”
“aku pengen liat bintang bareng pacarku, bisakan temani aku sepuluh menit saja?”
“pacar?”
“masih ada 4 hari lagi, bukankah ku bilang satu minggu?”
“tap–”
“diam dan duduk saja” Luzy menarik tanganku dan memaksaku duduk di kursi taman itu.
Malam ini ada banyak bintang, Luzy terus tersenyum dan melihat langit, dia tidak mengatakan apapun, hanya diam dan terus memperhatikan bintang-bintang itu. Sesekali aku melihatnya dan merasa malam ini dia cantik. Ah… tidak, maksudku dia memang cantik sejak dulu tapi saat ini aku melihatnya dengan perasaan yang berbeda. Tapi aku yakin ini bukan perasaan cinta.
“apa aja yang mau kamu lakuin setelah hari ini?” tanyaku.
“makan ice cream, bersepeda bareng, dan ke bioskop” jawabnya.
“bukankah ada 4 hari, kenapa cuma tiga hal yang ingin kamu lakukan?”
“hari terakhirnya rahasia”
“menyebalkan!”
“sudah sepuluh menit, makasih yah!” dia berlari dan melambaikan tanganya.
*5*
Sesuai dengan yang Luzy inginkan, di hari ke-4 aku mengajaknya makan ice cream bereng, hari ke-5 aku mengajaknya bersepeda, dan hari ke-6 aku mengajak dia pergi ke bioskop. Hari ini hari ke-7, hari terakhir aku menjadi pacarnya. Entah apa yang ingin dia lakukan di hari ini, tapi aku merasa sulit melepaskannya. Semakin hari dia semakin menyenangkan, tapi aku nggak bisa terus mempertahankan hubungan yang memang sejak awal udah nggak baik. Belum lagi, perasaanku saat ini bukan untuknya, memang selama ini aku mulai menyukainya, tapi aku lebih menyukai seseorang yang ku cari selama ini.
Hari ini aku janji bertemu Luzy di taman biasa, taman dekat rumahku. Karena ini hari terakhir, aku sengaja membawa coklat dan bunga untuknya.
“maaf membuatmu menunggu lama”
“memang selalu beginikan”
“hari ini kita mau kemana?”
“kembali ke kehidupan masing-masing” Luzy tersenyum, tapi senyumannya semakin menyempit dan ekspresi wajahnya tidak ceria lagi “itu coklat dan bunga untuku kan?”
“emm, iya” kataku sambil memberikan coklat dan bunga itu.
“bagaimanapun juga, terimakasih untuk satu minggu ini” kata Luzy sambil melangkah pergi.
Saat itu aku kaku dan terus melihatnya yang mulai menjauh dan semakin jauh, karena itu mulutku berteriak refleks.
“Tidak bisakah kita memperpanjang waktu pacaran kita satu minggu lagi?”
Entah apa yang membuatku mengatakan hal itu, tapi perkataanku itu tidak berpengaruh apapun pada Luzy. Dia terus berjalan seakan-akan tidak mendengar apapun. Tanpa ku sadari, ternyata Dony dari tadi ada dibelakangku. Waktu aku membalikan badanku, aku tepat berdiri dihadapannya. Mata Dony terus melihat Luzy hingga punggung Luzy menghilang ditepi jalan. Kali ini aku yakin kalau Dony suka sama Luzy. Ku pikir kali ini dia bakal marah karena bagaimanapun juga aku membuat orang yang dia suka terluka. Tapi ternyata, Dony nggak marah sama sekali, dia hanya menyuruhku pulang untuk belajar lebih awal, karena semua nilai-nilaiku turun. Dony nggak bilang apapun soal perasaannya ke Luzy. Menjadi sahabatnya selama ini, dia tidak pernah curhat tentang apapun, selalu aku yang banyak cerita padanya. Aku lebih cocok menjadi adiknya meskipun usiaku lebih tua.
Berhubung lusa Dony ultah, aku harus nyiapin kado. Biar lebih special, mending aku menjadikan Luzy sebagai kadonya. Entah apa yang bakalan aku lakuin nanti, karena sampai saat inipun aku belum tahu gimana caranya bikin mereka berdua dekat. Tapi, jahat nggak sih kalau aku ngasih barang bekas yang udah pernah aku pake? Meskipun hanya status, tapi tetap aja aku dan Luzy pernah jadian. Yasudahlah, masalah itu gimana nanti aja, yang penting sekarang aku harus deketin Luzy lagi. Setelah kemarin kita resmi putus, hari ini dia kembali lagi dengan tatapan mautnya. Benar-benar gadis yang aneh! Sebenarnya siapa dia, kenapa dia bisa merubah sikap secepat itu.
Nyari satu cewek aja sulit banget. Biasanya Luzy di perpus atau di kantin, tapi hari ini dia nggak ada dimana-mana. Terpaksa deh harus muter-muter sekolahan nyari itu anak. Sampai kaki ku berhenti waktu mataku ini melihat Luzy dan Dony lagi duduk berdua di taman belakang sekolah. Nggak ada banyak orang yang datang kesini, itu berarti ini tempat mereka berdua. Tapi, sejak kapan? Jangan-jangan mereka udah deket sejak dulu banget. Saking pengen tahu mereka lagi apa, aku bersembunyi di balik pohon besar dekat tempat mereka berdua duduk. Ternyata setelah aku lihat seteliti mungkin, mereka bukan cuma duduk dan ngobrol. Mereka berdua ngedengerin music bareng lewat earphone. Romantis dan pas banget kayak orang yang lagi pacaran.
“yah bener, sejak SMP kamu suka banget lagu ini” akhirnya suara Luzy berhasil kudengarkan.
“kamu tahu dari mana?” kata Dony.
“aku tahu semuanya, lusa kamu ultah, apel buah yang paling kamu suka, kamu suka banget sama makanan pedas, setiap kali ada masalah pasti dengerin music dan duduk di bersandar di pohon, lebih suka diam tapi bukan berarti nggak pernah marah, selalu tersenyum bukan berarti nggak ada masalah. Itu hanya sebagian kecil, menurutmu apa yang nggak aku tahu tentang kamu?” kata Luzy panjang lebar.
“kenapa bisa, bukankah selama ini kamu suka sama Aldy?”
“berapa lama kamu jadi temanku? Sejak SMP kita sering main barengkan?”
“apa hanya teman?”
“yaiyalah. Bukankah selama ini aku suka Aldy?”
“emm” Dony menutup matanya “hari ini cerah”
“aku ke kelas lagi yah” Luzy berdiri dan membersihkan rumput-rumput kering yang menempel di roknya.
Kali ini aku tahu kalo ternyata mereka berdua udah deket sejak lama, tapi kenapa Dony nggak pernah cerita dan malah pura-pura nggak pernah deket sama dia. Waktu Luzy balik ke kelas, aku ngikutin dia dari belakang.
“Luzy” teriakku.
Luzy membalikan badannya “ada apa?” muka datarnya dimulai lagi.
“tadi aku liat kalian di belakang”
“aku tahu, lalu?”
What, Dia tahu? “sejak kapan kalian temenan?”
“sejak SMP lah, mulai menyukai mu juga waktu SMP”
Kayaknya Luzy udah mulai sadar kalo pertanyaan aku ini udah aneh banget. Dia langsung pergi gitu aja, tanpa senyuman atau apapun. Setidaknya ucapkan kata-kata kayak yang dia bilang ke Dony “aku ke kelas lagi yah”. Apa coba yang Dony suka dari cewek hambar kayak dia?
“Tunggu! Kalau Dony suka sama kamu gimana?” aku berteriak dan akibat ucapanku itu, dia menghentikan langkahnya.
Dia berjalan kearahku, wah… aku mulai takut kalau dia meledak “memangnya harus gimana?”
Syukurlah, dia nggak marah-marah. Tapi, tetep aja ekspresinya itu lho…
“kamu nggak bisa jadian sama dia?” tanyaku.
“apa itu penting? Apa gunanya bilang cinta kalau akhirnya salah satu dari kita bakal ada yang ditinggalin?”
“Dony belum pernah pacaran, jadi dia nggak bakal ninggalin kamu. Dia bukan aku” Aku mulai merasa bersalah setelah mendengar ucapannya.
“kalau kamu mencintaiku, apa yang akan kamu lakukan saat kamu tahu kapan aku bisa meninggalkanmu?”
“aku bakalan lebih sering didekatmu”
“kalau aku pergi, kamu harus tetap disini. Jika semakin banyak kenangan yang aku kasih, kamu akan merasa sangat kehilangan waktu aku pergi”
Aku sama sekali nggak bisa memproduksi kalimat apapun. Secara, saat ini bibirku beku dan nggak bisa ngomong. Memang apa yang harus kulakukan? Saat aku menyukai orang itu, aku akan hidup seakan-akan nggak pernah meninggalkan dia. Sebenarnya apa maksudnya? Dia mau pindah sekolah atau apa? Entahlah, gadis ini memang sulit kumengerti. Sekeras apapun aku mengikuti jalan pikirannya, aku nggak bisa menemukan jawaban lewat kehidupannya.
Karena aku terus diam setelah dia mengatakan hal itu. Dia langsung pergi meninggalkanku yang masih menyimpan pertanyaan tentang ucapannya. Dia aneh, tapi menarik. Sama seperti Dony, terlalu banyak hal yang nggak bisa dia bagi dengan orang-orang sekitarnya. Menyendiri dan selalu merasa kesepian padahal selama ini ada begitu banyak orang didekatnya.
“ada apa sih Al, ngapain ngomong gitu ke Luzy?” suara Dony selalu datang tiba-tiba.
“Don” aku menengok ke arahnya dan tersenyum karena merasa nggak enak.
“ayo” Dony merangkul bahuku.
“kamu nggak marah?”
“niat kamu kan baik, lagian kalo aku marah, bisa-bisa di ultahku nanti kamu nggak ngasih kado” Dony tersenyum dan mulai bersikap aneh.
Benarkan, sama banget kaya Luzy, terkadang untuk menutupi kesedihannya dia akan bersikap aneh dan berbeda. Jika besar nanti mereka berdua berjodoh dan menikah lalu punya anak, pasti anaknya bakalan lebih dahsyat anehnya dari mereka berdua. [ha…ha…ha…]
*5*
Hari ultah Dony kali ini pasti special banget. Semalam Luzy mengajakku bertemu di tempat biasa, dia menitipkan kado untuk Dony. Entah apa isinya, akupun ingin segera tahu. Tapi harus sabar, biar lebih kena di hatinya, mendingan aku kasih nanti sepulang sekolah. Jadi tetep aja, hari ini aku duluan yang ngucapin.
Begitu sampai disekolah, Dony langsung ke taman belakang tempat waktu itu aku liat mereka berdua. Seperti biasa, aku ngikutin dari belakang. Begitu sampai, aku benar-benar terkejut. Tempat ini disulap menjadi sangat indah. Pohon besar yang saat itu ku pakai untuk bersembunyi, sekarang dihiasi dengan balon-balon berwarna putih dan merah jambu. Belum lagi ada meja kecil yang diatasnya tersimpan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Saat itu pikiranku langsung melayang ke Luzy, apa mungkin dia yang ngelakuin semua ini? Dan sekarang aku ingat kado itu. Waktu aku ultah kemarin dia nggak ngasih kado apapun, padahal dia menyukaiku, tapi kenapa saat Dony ulang tahun dia ngasih kado yang cukup gede? Tempat ini juga dari awal nggak banyak orang yang dateng kesini. Siapa lagi kalau bukan Luzy?
Tapi, pikiranku tentang Luzy berhenti waktu aku lihat Dony yang menahan tangisannya sambil memakan kue itu. Tetap saja, air matanya keluar meskipun ia berusaha menahannya. Aku makin bingung sama semua keadaan ini. Ada apa sebenarnya?
Setelah pulang dari sekolah, perhatianku langung tertuju pada kado yang Luzy titipkan semalam. Tadinya aku nggak berani buka kado ini, karena ini kado milik Dony, jadi nggak sopan banget, kan kalau aku membukanya tanpa sepengetahuan pemiliknya. Tapi, terlalu banyak teka-teki dan aku sangat penasaran. Maafin aku, Don!
Setelah mengambil kadonya, saat Dony mandi, nggak pake lama aku pergi dengan motorku membawa kado ini. Jika membukanya dirumah, Dony pasti tahu. Karena itu, aku pergi nyari tempat yang aman.
Aku duduk di salah satu meja pelanggan di caffe ini. Perlahan-lahan, aku mulai membuka kado ini. Yang kulihat hanya buku yang agak tebal. Diary? Secara spontan, hatiku menebak buku ini. Benar, setelah ku lihat dengan jelas, ini memang Diary. Tapi buat apa dia ngasih benda yang paling pribadi ke Dony?.
Aku mulai membuka buku ini. Dan benar, ini tulisan tangan Luzy. Meskipun tidak akrab dengannya, tapi saat SMP dia bertugas sebagai sekertaris kelas. Itu sebabnya aku hafal bentuk tulisan cewek ini.
Aku mulai membaca lembar pertama buku ini.
“selamat ulang tahun”
hanya tiga kata? Irit banget tuh cewek. Oke, kita lihat apa yang dia tulis di lembar kedua.
Saat aku membuka lembar kedua buku itu, ternyata nggak ada tulisan apapun. Aku coba membuka lembar selanjutnya dan selanjutnya, tapi nggak ada yang dia tulis. Buku ini memang cukup tebal, dan dilihat dari sisi manapun buku ini adalah diary. Ternyata ini kadonya, kupikir ada hal yang lebih menarik. Dasar aneh ! lagian kenapa aku berpikir Luzy bakalan ngasih kado yang special, secara selama ini Luzy menyukaiku bukan Dony.
“ini, semalam Luzy menyuruhku ngasihin ini kekamu” aku memberikan buku itu saat pulang ke rumah.
Dony nggak bicara apapun, dia hanya membuka buku itu dan membaca kata yang SPJ itu, [Singkat-Padat-Jelas]. Setelah membacanya, dia langsung menyimpan buku itu tanpa pertanyaan apapun. Orang-orang ini selalu membuatku penasaran.
Memang aku ini sahabat – apakah? –
Hari ini aku benar-benar nggak melihat Luzy. Kepsek bilang, Luzy pindah sekolah. Dia menghilang tanpa kata apapun, aku sangat ingin mencari tahu tentang dia, tapi mau nanya kesiapa? Nyari tahu kemana? Jangankan sahabat, temanpun dia nggak punya.
“Galau?” lagi-lagi suara Dony mengagetkanku.
“apa sih?”kataku.
“Luzy dan aku, kita cuma temenan kok”
“lho, emang apa hubungannya sama aku? Lebih dari temen juga nggak apa-apa kok!”
“nggak usah pura-pura, kamu mulai suka kan sama Luzy?”
“ya nggak lah. Dari jaman Obama sampai jaman nabi adam, aku nggak mungkin suka sama dia”
“cara kamu mikirin dia, liat dia, dan ngobrolin dia, sama kayak waktu kamu suka sama Reina”
“udah dong Don, aku tahu kamu suka Luzy. Aku suka Reina itu bener, tapi kalau aku suka Luzy, itu salah”
“pendapat kamu soal aku suka Luzy juga salah. aku nggak pernah suka sama dia Al”
Ternyata Dony nggak pernah suka sama Luzy. Pendapatku selalu saja salah, tapi mendengar Dony bilang kayak gitu, hati ku tiba-tiba berdaun-daun [berbunga-bunga maksudnya ha… ha… ha…]. Mungkin ini karena aku nggak mau kehilangan fans kayak Luzy.
Dony udah tertidur pulas, tapi mataku nggak bisa merem. Kesempetan buat kabur [ha…ha…ha…] malam ini aku bisa nge-trek di tempat biasa, kebetulan Reza, Tony, dan Dika udah nunggu disana.
*6*
“setelah nonton film kita napain?” Tanya Luzy.
“kamu mau ngapain?” jawabku.
“emm… photo box” kata Luzy sambil menggandeng tanganku.
Sepulang dari bioskop kita langsung ke tempat photo box, dan berjalan-jalan sambil makan ice cream. Hari ini kita sangat dekat, layaknya pasangan yang cucok banget. Sambil jalan dan makan ice cream, kita berdua mentertawakan muka-muka yang konyol di photo ini. saat photo box, kita bergaya ‘alay’. selanjutnya Luzy nggak pernah berhenti menggandeng tanganku. Tapi tiba-tiba aja hujan datang tanpa undangan, akhirnya kita kehujanan deh.
Hujan? huahhh… ternyata bukan hujan, tapi Dony menyiramku pake se-gayung air es. Pantes aja dingin banget!
“keterlaluan banget sih Don!”
“ya habisnya dibangunin, terus aja merem. Betah banget, mimpi apa sih?”
“mau tahu aja!”
“yaudah buruan mandi, telat nih”
“iya ah!”
Waktu berputar lebih cepat dari yang kubayangkan. Sekarang, status kita bukan pelajar lagi, tapi mahasiswa. Setelah lulus, kita sepakat buat ninggalin Bandung dan merantahu ke Jakarta untuk mencari ‘seseorang’. [ha…ha…ha…]. Ya nggak lha yah, kita ke Jakarta untuk kuliah, yah walaupun masih ada kuliahan yang bagus di Bandung. Tapi ya itu hak asasi manusia. Dan, kita tinggal gratis di kost-kostan punya paman dan bibinya Dony.
Udah lama aku nggak mimpiin tentang Luzy, tapi malam ini dia tiba-tiba nongol di mimpiku. Hmm… mungkin karena dia terlalu aneh, makanya sampai saat ini aku masih mengingatnya.
Sekarang aku dan Dony berjalan-jalan di kampus kita ini, kampus yang bakalan manpung kita sampai kelar. Tapi, gara-gara keasyikan bercanda, aku nggak sengaja ngedorong Dony sampai dia nabrak cewek disebelahnya.
“Sorry” kata Dony.
“nggak apa-apakan?” kataku.
Cewek ini nggak mengucapkan kata apapun. Dia terus tertunduk dan melihat gelang pink yang kita pake. Yah… selama ini sebenarnya, kita memakai gelang yang sama berwarna pink.
“Aldy, Dony?” kata cewek ini dan mulai mengangkat kepalanya dan melihat sosok pria tampan yang ada dihadapannya.
Tunggu, tadi dia lancar banget ngucapin nama kita. Siapa dia? apa dia mengenal kita? Tapi, semakin aku menelusuri wajahnya, ternyata cewek ini…
Reina, gadis kecil yang selama ini aku cari dari Sabang sampai Merauke dan balik lagi ke Bandung.
Saat itu, umur kita masih sangat kecil. Aku dan Reina berteman sejak TK. Bahkan sebelum aku menjalin hubungan ku dengan Dony [eitss… maksudnya hubungan persahabatan].
Tadi pagi disekolah, pembagian raport, dan sekarang kita resmi jadi siswa kelas 3. Syukurlah, kita naik dengan nilai yang memuaskan, yah kecuali Aku. Diantara mereka, hanya diriku ini yang nilainya sedikit kurang, setidaknya aku berhasil masuk peringkat delapan.
 Malam ini, Reina menungguku dan Dony di taman belakang rumahnya. Dia bilang, dia mau ngomongin sesuatu.
“hey, gadis kecil” kataku sambil berjalan mendekati Reina.
“umurku sama denganmu” kata Reina yang sedang duduk.
“dulu saat umurmu 4 tahun, kau menangis di taman ini karena aku mengambil bonekamu” aku langsung tiduran diatas rerumputan.
“itukan udah lama, mau sampai kapan diinget-inget terus?”
“kamu inget nggak waktu semua temanmu menanyakan ibumu, bahkan mereka mentertawakanmu karena kamu tidak punya ibu”
“yah, saat itu kau datang dan memarahi merekakan? Masih kecil tapi hobby nya marah-marah”
“lalu, saat umur 6 tahun, kamu jatuh di lumpur yang kotor, gara-gara kamu, aku harus pulang tanpa baju”
“ternyata selama ini kamu terus yang muncul di kenangan masa kecilku”
“tentu, kapan kamu punya teman selain aku”
“maaf aku telat, ada apa Rei, Al?” Dony datang dan membuat kita berhenti bernostalgia.
“nggak apa-apa” Reina berdiri dan menarik ku agar akupun berdiri.
“jadi ada apa Rei?” tanya Dony.
“karena kamu sahabat Aldy, itu artinya kamu juga sahabatku” jawab Reina.
“terus?” kata Dony
“aku mau kamu jadi ayahku dan Aldy jadi ibuku” Reina duduk dan menunduk.
“maksudnya?” Dony kebingungan dengan ucapan Reina.
“eh… tunggu, apa aku keliatan kayak ibu-ibu?” kataku.
“emm…” Reina menganguk “selama ini, meskipun aku memiliki ayah, tapi aku selalu kesepian dirumah” lanjutnya.
“tapi, kenapa aku yang jadi ibu?” tanyaku.
“karena seorang ibu lebih mengenal anaknya dan selalu berada didekat anaknya, lagi pula kamu yang menyuruhku untuk menganggap kamu sebagai ibuku” jawab Reina.
“itu, karena aku menghiburmu” jawabku dengan suara yang pelan.
Reina, mengambil tanganku dan memasangkan gelang yang terbuat dari kain berwarna pink ini. setelah gelang itu terpasang ditanganku, dia melakukan hal yang sama pada tangan Dony. Saat kulihat, ternyata dibalik kalung ini ada tulisan tangannya, “ibu”.
Itulah asal-usulnya gelang c-u-t-e ini kudapatkan.
“hey!” Reina mengeraskan suaranya dan pikiranku loncat-loncat deh!
“Reina” aku terus memperhatikan wajahnya dan masih nggak percaya bisa ketemu sama dia lagi.
“iyah, aku Reina” Reina berdiri dan tersenyum.
Ahh… senyumannya membuatku makin cenat-cenut deh! Yah… gadis kecil yang selama ini kucari dan kutunggu ada di depan mataku. Seperti mimpi di dalam mimpi. Baru aja mimpi tentang Luzy, eh … paginya ketemu Reina.
“Rei” kata Dony sambil mengeluarkan sesuatu dalam tasnya “ini” dia memberikan sebuah kalung pada Reina.
“jadi selama ini kalungnya ada di kamu, ah… kupikir hilang” Reina mengambil kalung itu dan terus menggenggamnya sambil tersenyum.
“tunggu deh, kalung?” tanyaku yang mulai kebingungan.
“dulu aku nemuin kalung itu di atas tanah” jawab Dony.
“lho, kok bisa?” Tanya Reina.
“kita ceritanya sambil jalan-jalan deh” kata Dony.
Kita mulai berjalan mengelilingi kampus baru ini yang mempertemukan romeo-juliet. Tapi, kalau itu kalung punya Reina, kenapa ada di Dony. Lalu, kenapa dia nggak pernah cerita kalau dia menyimpan benda milik Reina. Tapi, kalau dipikir-pikir, memangnya kapan dia pernah curhat?
Oke untuk cerita lebih lanjut, kita dengarkan keterangan dari tersangka [ha…ha…ha…]. Sambil berjalan, Dony mulai menceritakan kisah si kalung itu.
Saat itu, aku disuruh ibu kewarung untuk membeli mie. Aku berjalan kaki, karena jarak rumah dengan warungnya juga nggak jauh. Waktu lagi berjalan dengan tenangnya, tiba-tiba saja seseorang berteriak dan merusak ketenanganku saat itu
 “awas!” teriak seorang cewek yang lagi menaiki sepeda.
“hey, hati-hati!” kataku.
Aku menahan sepedah yang di taiki gadis itu agar dalam posisi yang seimbang dan gadis itu tidak terjatuh. Tapi gagal, pada akhirnya malah kita berdua yang jatuh bersama. Anehnya gadis itu malah tertawa.
“ada apa denganmu, kenapa tertawa” Tanyaku.
“karena ini menyenangkan” cewek itu berdiri dan mengangkat sepedanya yang menimpa tubuh ku yang kurus.
“kamu aneh!” kata Dony.
“ayo” cewek itu tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membantu ku berdiri.
“emm, makasih” aku berdiri dan tangan kita masih berpegangan.
“namaku Reina” dia memegang tanganku seakan-akan sedang berkenalan.
“aku, Dony” merekapun saling melepaskan tangan yang berjabatan tadi.
“aku tahu, kamu si murid baru itu kan? Yang sebangku sama Aldy?” tanya Reina.
“kamu sekelas denganku?”
“iyah, sampai ketemu besok disekolah yah” Reina pergi dengan sepedahnya.
“besok hari minggu”
“ahh… aku lupa, kalau begitu sampai ketemu lusa” Reina tersenyum dan melanjutkan langkahnya.
Aku tersenyum dan terus melihat Reina yang berjalan sambil mendorong sepedahnya, hingga ku sadar, seharusnya dari tadi aku ke warung dan membeli mie. Saat mau pergi meninggalkan tempat itu, aku melihat kalung yang cantik tergeletak di atas tanah. Kupikir itu adalah kalung Reina yang terjatuh juga saat kejadian tadi, karena itulah aku membawa kalung itu dan berniat untuk mengembalikannya disekolah nanti. Tapi ternyata aku lupa dan selalu tidak ada waktu yang tepat untuk memberikannya, hingga akhirnya aku baru mengembalikannya sekarang.
Huahh… ceritanya cukup panjang juga, yah… meskipun masih kurang panjang kalau dibandingi dengan curhatan yang sering banget ku ceritakan.
Jadi itu sebabnya, kenapa kalung itu ada di Dony. Sebenarnya, itu kalung yang aku kasih ke Reina waktu dia berulang tahun yang ke-7. Aku sengaja memilih bentuk bintang karena dia sangat suka bintang. Syukurlah orang yang menyukainya saat ini seterang bintang dan se-indah bulan [ha…ha…ha…].
“Rei, emang nggak ada yang mau kamu omongin sama aku, gitu?” tanyaku yang berharap banget dia nanya.
“harus nanya apa?” Tanya Reina.
“apa aja deh, misalnya kamu kangen nggak sama aku? [ha…ha…ha…]” PD-ku muncul deh kepermukaan wajah.
“ya ampun… heh bu! Kenapa kamu nggak berubah?” Reina tertawa.
“dia yang paling banyak berubah, kok!” kata Dony yang sekarang mulai aktif berbicara.
“benarkah?” Reina melihatku se-teliti mungkin “dilihat dari penampilan, kamu kayak…,  jangan-jangan…” lanjutnya.
“yap… tapi keren dan tetap wangi kan, beda banget sama anak genk yang jarang mandi plus dekil itu”
“ya emang, ternyata kamu emang susah diatur” kata Reina.
“Rei, kamu ambil jurusan apa?” Tanya Dony.
Hari pertama bertemu Reina, pasti akan terus berlanjut pada hari-hari berikutnya. Ah… Reina, gadis kecilku yang sekarang jadi membesar, aku benar-benar menunggumu dan sekarang kita ketemu, benar juga kalau jodoh itu nggak akan kemana, palingan maen dulu ke tetangga [oops… salah yah?].
*8*
Asyiek… karena sekarang di Jakarta, berarti kata-katanya gue-loe [ha…ha…ha…]. Si gue ini, sekarang lagi siap-siap buat kencan bareng Reina. Yah… sebenernya bukan kencan sih, hanya main biasa, soalnya ada Dony. Ah… kalau aja Dony memberiku waktu buat berduaan bareng Reina.
Sekarang, kita bertiga lagi muter-muter tempat yang asyik di mamah kota ini [ha…ha…ha… ibu kota maksudnya]. Pertama dan utama, tentunya kalau nge-date, pasti ke bioskop, habis itu makan ice cream, terus photo box, dan nggak lupa bersepeda bareng. Tapi, sebenernya itu nge-date versi Luzy, pacar terakhirku yang entah kemana. Sekarang, kita baru aja keluar dari bioskop dan langsung ketaman buat makan ice cream sekalian photo-photo gokil lewat kamera punya Dony.
“Rei, kita photo berdua yah, Don tolong photo kita!” aku menarik tangan Reina, agar dia berdiri disebelahku.
“tunggu, tunggu” kata Reina.
“oke… 1…2…3….” Kata Dony.
“ckrek…” bunyi suara kamera Dony.
“symbol cinta” Reina menarik tanganku agar tanganku membuat bentuk hati dengan tangannya.
“ckrek…” bunyi suara kamera Dony lagi.
Akhirnya bukan cuma aku dan Reina yang narsis di photo itu, tapi Dony juga ikutan. Hari ini, setelah selesai main-main di taman, kita langsung pulang kerumah karena tugas kuliah udah numpuk kayak baju cucian. Nggak kerasa ternyata kita udah kuliah di sini kurang-lebih hampir 2 semester, dan selama ini hubungan kita bertiga makin dekat.
Niatnya sih seminggu lagi aku mau ngajakin dia berkencan resmi, terus nembak dia deh [jedor…jedor… deh!]. tapi masih ragu, gara-gara takut ditolak. Selama ini, Reina malah terlihat lebih dekat dengan Dony, tapi itu juga emang gara-gara aku juga sih. Karena Reina dan Dony satu jurusan, jadi aku menyuruh Dony buat nyari informasi tentang dia. selama ini, Dony tahu kalau dialah cewek yang super-duper-extra luas tempatnya di hatiku. Yah… meskipun terkadang bayangan Luzy yang selama satu minggu itu hampir mirip kayak Reina. Sebenarnya bukan Reina yang mirip Luzy, tapi Luzy yang terlihat seperti Reina saat satu minggu jadi pacarku itu.
Malam ini, aku nyari hiburan bareng orang sesat ini, huuu… udah tahu sesat terus ngapain masih di ikutin? Apalagi kalau bukan untuk hiburan, secara otakku udah mumet dan mampet selama dikampus dan di tempat kost karena makananku selalu buku. So… buat cuci mata tapi ngotorin hati, ya boleh lah cari kesenangan dikit walaupun ujung-ujungnya jadi kesengsaraan [ha…ha…ha…].
Kalau bareng Anton yang anak Jakarta asli plus teman yang lainnya, aku pasti ngomong so-gaul. Tapi, kalau bareng Dony dan Reina, ucapanku masih terdengar kayak cowok yang polos [manis dan lucu dong! Ha…ha…ha…].
“Sob, gimana target loe?” Tanya Anton yang lagi seru-serunya liatin mukanya di cermin motor.
“target apaan?” jawabku, yang balik nanya.
“itu lho, cewek yang jadi calon pacar loe”
“euh… gue kira apaan”
“udah lama deket, tapi kapan jadiannya?”
“nanti juga ada saatnya, tenang aja!”
“loe kagak takut, si Rei keburu di embat sama temen loe?”
“temen yang mana? Dony maksud loe?”
“yap! Si cowok kutu buku itu kan makin hari makin rekat banget sama si Rei”
“gue emang sengaja nyuruh dia cari info tentang Rei, wajar kalau mereka deket”
“kagak khawatir?”
“ya kagak lah!”
“se-yakin itu?”
“gue percaya sama Dony, dia bukan orang yang gampang jatuh cinta, diakan udah nungguin seseorang”
“hah! Siapa?”
“se-su-a-tu! ha..ha..ha..”
Ngapain juga aku harus khawatir? Dony, nggak mungkin suka sama Reina apa lagi dia tahu kalau aku menyukainya. Buktinya, waktu dia suka sama Luzy, dia nggak berani ngomong gara-gara aku duluan yang jadi cowoknya.
Huah… malam ini aku nge-gas motorku dengan extra. Tanpa rasa takut terjatuh aku terus ngebut membawa motor ninja berwarna merah ini. hal ini udah jadi kebiasaanku, jadi udah nggak ada rasa takut jatuh dari motor lagi, yah… palingan takut cicilan motor kaga kebayar [ha…ha…ha…].
*9*
 “Dy, buruan!” Anto menarik tanganku.
“emang ada apa?” kataku.
“liat aja ntar, loe kagak boleh lewatin yang satu ini”
“apaan sih? Ada sinetron?”
“tepatnya ada siaran sinetron yang live”
Mana ada sinetron yang tayang secara live, ngaco banget nih anak. Padahal, dikantin tadi aku lagi serius menikmati makanku. Dia tiba-tiba datang dan mengagetkanku. Baru nyampe disampingku, dia langsung teriak dan narik-narik tanganku yang mahal ini.
Dan ternyata, sekarang kita udah nyampe di TKP [ha…ha…ha…]. Saat ini, di dekat parkiran ini, dimataku ini, yang ada hanya Dony lagi ngobrol sama Reina. Terus, mana sinetronnya?. Yah… memang agak cemburu juga, soalnya mereka ngobrol dan makan bareng berdua terus kaga ngajakin sayah! Awalnya mereka cuma makan masing-masing piring mereka [oops… harusnya, melahap makanan yang ada di atas piring mereka. he…he….he…] tapi, lama-lama tangan Dony mulai kegatelan dan perlu digaruk. Masa dia ngehapus makan yang ada dibibir Reina pake tissue dan langsung pake tangannya, kenapa nggak tissuenya aja yang dia kasih! Tapi, tenang aja, diantara mereka nggak ada apa-apa walaupun belum tentu nggak terjadi apa-apa.
Anton ngotot banget, biar aku percaya kalau Dony suka sama Reina, tapi seratus kalipun dia ngulangin kata-katanya, aku akan tetap dengan pendapatku, kalau Dony nggak mungkin suka sama Reina karena dia tahu bahwa murid sekaligus sahabatnya ini suka banget-banget-banget sama Reina gadis kecilku.
“woy!” aku datang mendekati mereka dan duduk disebelah Reina.
“kenapa kesini Al?” Tanya Reina.
“lho, emang kenapa? Aku juga mau ikutan makan bareng kalian!” kataku walaupun nggak tahu apa yang mau mereka makan.
“yakin?” kata Reina.
“mas, satu lagi yah!” aku berteriak pada pedangang itu.
Akhirnya, pesanan ini siap disantap. Ternyata ini siomay. Wah… mereka malah asyik memperhatikan ekspresiku yang terkaget-kaget liat jenis makanan ini. lagian, kenapa aku nggak nanya dulu, makanan apa yang lagi mereka pesen. Lalu, kenapa aku nggak merhatiin gerobaknya yang jelas-jelas terpajang kata ‘siomay’. Kalau udah gini, mendingan cabut aja deh! Makanan ini, paling nggak mood untukku makan. Meskipun mereka berdua rakus banget menyantapnya, tetep aja sekali nggak suka tetap nggak suka. Akhirnya aku terlihat seperti lalat yang mengganggu mereka makan. Tapi, ngomong-ngomong apa yang bakalan terjadi kalau ada lalat setampan ini? cewek lalat pasti ngejar-ngejar. [ha…ha…ha…]
Aku emang nggak pernah nafsu liat jenis makanan yang satu ini sejak usiaku 5 tahun. Sebenarnya itu gara-gara kejadian konyol yang memalukan. Waktu lagi makan siomay, aku lari-lari dan akhirnya jatuh, saat itu juga lah siomayku yang ada dimulut langsung meluncur ke kerongkongan tanpa dikunyah. Apalagi kalau bukan tersedak, tapi ini parah karena siomaynya cukup besar. Dan saat itu, Reina melihatku dan mentertawakanku. Tapi, yasudahlah itu udah jadi sejarah.
“masih yakin?” Reina menyindirku.
“nggak! Aku suka semua jenis makanan, kecuali yang satu ini!” kataku.
“itu aku juga tahu, makanya kita nggak ngajak kamu” kata Reina sambil menyuapkan siomay itu.
“yaudah, kalau gitu aku balik dulu yah” aku mulai berdiri.
“siomaynya?” kata Dony.
“buat loe aja” aku berjalan kembali ketempat sebelumnya.
Anton yang maksa banget aku buat nonton mereka, masih nunggu kabar selanjutnya dariku. Lagian kenapa juga ini anak ngarep banget aku percaya kalau Dony suka sama Reina.
“gimana?” Tanya Anton.
“gimana apanya?” aku bertanya balik.
“yaelah, itu loh mereka berdua”
“mereka lagi makan siomay bukan mesra-mesraan”
“ah… loe bodoh banget sih Al, mereka emang makan siomay, tapi sambil romantis-romantisan”
“dimana-mana kalau mau so sweet itu di tempat yang romantis, masa iya di pinggir parkiran gitu”
“terserah deh, yang penting gue udah ngasih tahu”
“yaudah, ke perpus yuk! Kita nyari bahan buat tugas”
Sampai kapanpun, aku nggak mungkin percaya kalau Dony bakalan suka sama Reina. Dony mendekati Reina buat jadi mak comblang kita berdua, masa iya malahan mereka yang saling suka. Ditambah lagi, aku adalah orang dimasa lalunya Reina, yah… kalau cinta monyet buat anak-anak SMP/SMA, berarti kisah ku dan Reina panggil aja cinta anaknya monyet [ha…ha…ha…].
*10*
Setelah seharian nggak berhenti bergerak, sekarang baru kerasa deh pegal-pegalnya. Malam ini, aku lagi duduk di kursi sambil nanton TV. Ini udah jam 9 malam, tapi Dony belum balik. Kemana aja sih dia, mana ponselnya nggak bisa di hubungi lagi. Minggu-minggu ini kita memang lagi sibuk masing-masing, jadi kita jarang pulang atahu berangkan bareng.
Acara di TV nggak ada yang seru! Hoamm… aku juga mulai ngantuk, tapi Dony masih belum pulang. dari pada bosen sendirian dirumah, mendingan aku keluar dengan motorku. Tapi, janjian dulu sama Anton di tempat biasa, jalan tempat anak-anak nongkrong.
Sambil mengendarai motor di jalan ke tempat tujuan, aku masih memikirkan Dony. Sebelumnya selalu dia yang pulang lebih awal, kenapa sekarang malah telat banget dia pulang. nggak mungkin kan kalau dia diculik, dia bukan anak kecil. Jadi kemungkinan dia lagi main atau ngerjain tugas. Tapi, kalau dia main berarti sama Reina dong. Benar… sejak tadikan aku liat mereka lagi makan siomay, dan semakin hari mereka berdua juga makin deket. Tapi, sampai sekarang Reina masih biasa aja, mungkin dia masih nggak tahu kalau aku suka. Terus, kapan Dony mulai deketin kita sebagai pasangan?
 Ah… udah deh, dari pada menebak-nebak nggak tentu mendingan sekarang sebelum ke tempat trek-trekan, aku dateng dulu ke rumah Reina.
Sampai juga di rumahnya, tapi aku nggak langsung masuk. Itu karena saat ini, kejadian yang terekam dimataku secara langsung bikin hatiku mulai gerah. Ternyata Dony memang lagi di rumah Reina, tapi yang bikin parah ditempat ini adalah, Reina dan Dony duduk bersebelahan sambil mendengarkan music di ipon lewat headshet. Suasana ini membuat pikiranku mengingat masa lalu waktu di SMA. Saat Dony dan Luzy berduaan ditaman belakang, yang kulihat saat ini mirip banget sama yang pernah tayang waktu SMA, yang membedakannya hanya tempat dan waktu. Tapi, justru ini lebih romantis dari pada yang pernah aku liat waktu SMA. Sambil mendengarkan music bersama, mereka tertawa dibawah cahaya bintang. Tapi, ngomong-ngomong cahaya bintang, aku mulai mengingat Luzy lagi. Ah… udahan deh! Sekarang bukan waktu yang tepat buat mengenang masa lalu.
Sekarang aku bakalan nyamperin mereka dan marah sama Dony. Yah… aku mulai melangkahkan kakiku, selangkah, dualangkah, dan akhirnya aku berhenti sebelum sampai di dekat mereka. Langkahku terhenti setelah aku melihat setumpuk buku di samping Reina. Saat ini aku berpikir, mungkin saja mereka lagi ngerjain tugas dan duduk santai berdua itu setelah menyelesaikan tugasnya. Lagian seharusnya aku percaya sama Dony. Aku putuskan untuk segera pergi dari tempat ini sebelum mereka sadar dengan kedatanganku. Aku pergi diam-diam karena saat datangpun diam-diam.
Benar… mereka juga sahabatan, wajar aja kalau mereka duduk sedekat itu. Walaupun terlihat kayak yang lagi pacaran, tapi nggak mungkin lah! Mana mungkin? Benar… sekali lagi, mana mungkin?
Meskipun udah berkali-kali berusaha meyakinkan hatiku ini kalau kedekatan mereka malam itu nggak lebih dari sahabat, tetep aja hati ini masih kepanasan dan perlu di kipasin. Huah… yasudahlah, yang penting aku harus berusaha percaya.
Setelah sampai di arena balapan ini, aku melampiaskankan semua yang aku rasa lewat kecepatan motor ini. aku menjalankan motor ini sangat cepat dan bahkan lebih cepat dari biasanya. Dan… sampai di garis finish, tetep aja ada yang lebih cepat dariku. Tapi, setidaknya aku yang ke-2. Orang itu juga pasti lagi kesal, makanya ngendarain motornya super-duper cepat.
Orang yang mengalahkan ku itu mengulurkan tangannya, dan akupun menjabatnya. Dengan busana yang berwarna hitam dia terlihat lebih keren dariku, tapi bukan berarti lebih ganteng, karena sampai sekarangpun dia nggak ngebuka helmnya, mungkin kurang PD dengan wajahnya [ha…ha…ha…].
Eits… ternyata sekarang dia mulai membuka helmnya, dan saat itu juga rambut panjangnya terurai. Hah? Kupikir dia lelaki, ternyata perempuan, ah… ternyata yang mengalahkan ku seorang wanita. Tapi, sepertinya aku mengenali wajah ini, tatapan dan senyumannya udah nggak asing lagi. Benarkah? Ternyata, cewek ini Luzy. Hebat… ternyata aku bertemu dengan dia lagi. Dia memang bukan cewek biasa, bahkan hal seperti inipun mampu dia lakukan?
“woy!” Luzy mengagetkan ku yang sejak tadi tertegun melihat wajahnya.
“emmm…” aku menundukan kepala karena bingung mau bilang apa.
“apa kabar?” Tanya Luzy dengan tenang.
“baik, kamu?” jawabku singkat.
“sangat baik”
“oh… baguslah”
Luzy menatapku seakan-akan ada yang salah denganku “ada apa denganmu, kenapa jadi kaku gitu?” kata Luzy.
“wah, ini sifat barumu lagi?” kataku.
“sorry, sifat baru?” Tanya Luzy yang mulai kebingungan.
“saat SMP kamu pendiam, masuk SMA jadi jutek, dan selama satu minggu jadi sangat ceria, dan sekarang kamu mulai bertingkah aneh. Sebenarnya mana sifat aslimu?” kataku panjang lebar.
“nanti juga kamu tahu, seperti apa sifatku yang sebenarnya” kata Luzy sambil memakai helmnya lagi.
Luzy pergi dengan motornya. Bodoh… kenapa aku nggak sempat meminta nomor ponselnya. Tapi, ucapannya itu terdengar seakan-akan dia yakin kita bakalan ketemu lagi. Yah… mungkin karena dia bakalan sering ketempat ini dan pastinya ditempat ini juga kita ketemu lagi. Ahh… bertemu dengan dia membuatku mulai bertanya-tanya lagi. Dia kayak soal matematika, sulit tapi kadang bisa menyenangkan dengan proses yang panjang untuk menemukan jawabannya.
Sekarang udah waktunya balik ke kost-kostan. Ternyata, Dony udah pulang bahkan sekarang dia lagi asyik dengan mimpinya. Akupun harus segera tidur karena besok harus ke kampus pagi-pagi.
*11*
Hari ini, aku masih harus menyelesaikan tugasku, dan tentunya masih harus ngumpulin bahan sebanyak mungkin. Jadi aku harus rajin-rajin ke perpus. Keliling-keliling nyari buku, tapi bingung juga nyari buku apa [ha…ha…ha…].
“a..aw” suara itu seperti suara Reina.
Aku mendekati suara itu berasal dan ternyata memang benar itu Reina. Seperti dugaanku, pasti bukan hanya Reina, karena akhir-akhir ini dimana ada Reina disitulah ada Dony. Aku hanya bisa diam karena waktu terasa sulit bergulir. Secara, saat ini aku melihat mereka bersikap seperti pasangan, bahkan bukan seperti, tapi memang pasangan. Jika orang lainpun melihatnya, orang akan berpendapat sama denganku. Karena, tidak akan ada sahabat yang dekat seperti kedekatan mereka. ini perpustakaan, tapi mereka melakukan tindakan tercela! Dan kenapa harus Dony dan Reina?
“bruk” aku melemparkan buku yang aku pegang ke lantai, dan mereka mulai menghentikan apa yang mereka lakukan. Saat ini, mereka berdua melihatku dan akupun terus menatap mereka dengan penuh rasa kesal. Setelah beberapa menit dalam tempat yang menyebalkan ini, aku mengambil kembali buku yang kulemparkan karena aku memang membutuhkan buku itu. Setelah itu, aku membalikan badanku dan berlari keluar.
“Al, gue udah dapet bukunya, loe gimana” Tanya Anto sambil menyodorkan buku yang dia bawa, tapi aku mengabaikannya dan melanjutkan langkahku.
Aku sangat kesal dengan apa yang kulihat tadi. Saat ini aku bener-bener butuh waktu buat menengangkan pikiranku. Aku terus berjalan keluar dan sampailah di kursi dekat pohon yang cukup besar. Aku mencoba menjernihkan pikiranku. Tapi, apa yang kulihat tadi itu sulit ku lupakan begitu saja. Wajar jika aku cemburu, karena aku menyukainya.
“bantu aku menghabiskannya!” tiba-tiba saja ada suasana yang membuatku berhenti mengingat kejadian itu.
Aku menengok kesebelah kiri dekat pohon itu, dan ternyata aku benar-benar dikejutkan oleh pemilik suara itu. Dia Luzy, saat ini dia tersenyum dan menyodorkan ice cream padaku. Aku terus melihat senyumannya. Tapi kali ini, bukan senyuman menakutkan ataupun senyuman yang ceria, melainkan senyuman yang sangat tenang dan membuatku merasa tenang juga melihatnya.
“cepat ambil, aku mulai pegal!” kata Luzy.
“eh… emm…” aku mengambil ice cream itu.
Setelah itu, dia langsung duduk di sebelah ku “oke aku setuju!” kata Luzy, yang entah apa maksudnya.
“setuju apa?” tanyaku yang selalu kebingungan didekatnya.
“bukankah ucapanmu yang terakhir memintaku untuk memperpanjang waktu jadian kita selama satu minggu lagi” Luzy tersenyum.
“ah… kamu masih ingat hal itu” aku menggaruk kepala ku karena malu “eh… tapi, kenapa kamu bisa ada disini?” tanyaku.
“ini kampusku, jadi nggak anehkan kalau aku ada disini”
“tapi, aku nggak pernah liat kamu”
“kampus kita inikan sangat luas, kita juga beda jurusan. Dan, setiap ada kamu aku pasti sembunyi”
“hah? Ngapain sembunyi segala?”
“ngapain lagi kalau bukan karena ingin kamu temukan?”
“apa?”
“jadi, gimana? Ucapanmu malam itu masih berlaku nggak?” Luzy kembali menanyakan hal itu.
“emm… sorry Luz, tapi saat ini aku nggak bisa” jawabku dengan penuh rasa bersalah.
“karena Reina?”
“tahu dari mana?”
“selama ini yang bersembunyikan aku, bukan kamu”
“maksudnya?”
“lupakanlah” Luzy melihat kebelakang “kayaknya ada yang mau ngomong deh!” kata Luzy yang langsung pergi.
Otomatis, aku langsung melihat apa yang terjadi, aku langsung menengokan kepalaku dan ternyata, Reina ada di belakangku.
“Al” Reina mendekatiku dan langsung duduk menggantikan Luzy.
“ada apa?” kataku kesal.
“apa yang kamu liat nggak sama kayak apa yang kamu pikirin”
“sama banget kayak sinetron!” kataku dan langsung pergi meninggalkannya.
aku langsung keparkiran untuk mengambil motorku, karena aku harus bertemu dengan Dony, yang ternyata mempermainkan kepercayaanku. Aku dan motorku terus melaju melalui jalan ini hingga sampai di kost. Ternyata Dony yang selama ini jadi sahabat yang siap sedia setiap saat malah jadi orang yang paling membuatku kesal.
*12*
Dony yang lagi anteng duduk sambil nonton TV, seakan-akan nggak ada apapun yang terjadi, aku seret keluar dan apa lagi yang kulakukan kalau bukan memberinya pukulan.
Aku mengepalkan tanganku dengan penuh rasa emosi dan aku mulai meluncurkan pukulan di wajahnya, tapi lagi-lagi tanganku terasa kaku setelah aku berpikir bahwa dia sahabatku. Akhirnya aku menurunkan tanganku dan hanya menarik kerah bajunya.
“kalau mau jadi maling, harusnya loe nyuri buat keluarga loe, tapi loe malah jadi maling dalam keluarga loe sendiri” tanganku masih menarik kerah bajunya.
Dony mencoba melepaskan kerah bajunya yang kutarik hingga aku melepaskannya “tadi di perp–” kata Dony.
“Don!” aku berteriak memotong pembicaraannya “gue tulus sayang sama loe, tapi itu sebelum hari ini” aku pergi meninggalkannya.
“tapi…” Dony berteriak dan menghentikan langkahku “hari ini, besok. Atau kapanpun, loe tetep sahabat gue” lanjutnya.
Aku berjalan kembali mendekatinya dan saat itu. Aku langsung mengepalkan tanganku dan meluncurkan pukulanku tepat di wajahnya, dan ujung bibir Dony pun berdarah. Jujur, saat ini aku sangat ingin meminta maaf dan mengobatinya karena merasa bersalah, tapi rasa marahku saat ini lebih besar dari perasaan bersalah itu. Aku langsung pergi dan membawa motorku.
aku terus menjalankan motorku, dan terus mencoba menenangkan pikiranku. Sebenarnya apa yang harus kulakukan? Oke, aku memang menyukainya dan sangat wajar jika cemburu, tapi hanya wajar, karena aku nggak punya hak untuk cemburu terhadap Dony dan Reina, karena bagaimanapun juga aku masih sahabatnya Reina dan bukan pacarnya.
Selama inipun Dony selalu mengalah, masalah apapun dia akan selalu mengalah untuku. Bahkan, meskipun dia menyukai Luzy, dia nggak bilang apapun dan hanya diam menyembunyikan perasaannya agar aku tetap jadian sama Luzy. Oke, sekarang waktunya aku mengalah. Tadi jelas-jelas Reina datang dan bilang kalau apa yang kulihat nggak sama seperti apa yang aku pikirkan, berarti aku hanya salah paham.
Setelah memikirkan semuanya, aku memutar balik motorku dan kembali ke kost-kostan untuk meminta maaf. Setelah sampai, ternyata pintu kost ditutup dan akupun membukanya.
“ahh…” kata Dony yang merasakan sakit karena pukulanku tadi.
Saat ini, ternyata Reina ada disini dan bahkan dia sangat teliti mengobati luka Dony. Lalu, apa ini masih salah paham?
Reina dan Dony melihatku yang sedang berdiri di sela pintu. Apa lagi yang harus kulakukan sekarang, nggak mungkin kalau aku melanjutkan niatku untuk meminta maaf. Rasa kesalku semakin bertambah.
“sumpah… gue nyesel udah balik ketempat ini!” kataku dan langsung membanting pintu sekeras mungkin.
“Al” mereka berteriak memanggilku, tapi aku terus mengabaikannya.
Aku membawa motorku pergi dan terus menjalankannya dengan kecepatan yang melebihi batas normal, ini lebih cepat dari sebelumnya, semua ini karena aku sangat kesal.
Apa yang membuatku kesal, kurasa bukan hanya cemburu, tapi aku merasa mereka mempermainkanku dan Dony menghianatiku, tapi sebenarnya aku juga menyesal karena mungkin setelah kejadian ini aku dan Dony nggak bersahabat lagi. Tidak… aku nggak peduli, masih ada Anton dan anak-anak yang lainnya.
Motorku terus melaju dengan cepat dan rasa kesalku terus menyelimuti hati dan pikiranku. Dan, motorku bertambah cepat dan semakin cepat, hingga… semuanya gelap!
Kejadian yang hanya beberapa detik itu membuatku terjatuh dari motorku dan aku tidak bisa melihat sekelilingku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya…
*13*
Saat ini aku merasakan sakit di kepalaku dan tubuhku yang lainnya, tapi kurasa aku mulai sadar.
“Al” aku yakin itu suara ibu
“kamu sadar, nak?” dan yang ini adalah suara bapa.
Aku mencoba membuka mataku untuk memastikan bahwa itu memang ibu dan bapa. Saat ini aku berhasil membuka mataku, tapi meskipun begitu aku tidak bisa melihat apapun karena ruangan ini terlalu gelap. Tunggu… tidak mungkin ruangan ini tidak ada lampunya, pasti ada yang salah denganku, tepatnya lagi dengan mataku. Ada apa ini? aku buta?.
“nggak mungkin” berulang kali aku mengucapkan kata itu dengan teriakan yang sepertinya membuat bapa dan ibu khawatir.
Setelah dokter memeriksa ku, ternyata benar… “aku buta!”. Kornea mataku rusak saat kecelakaan, dan aku bisa melihat lagi, jika ada donor mata untukku. Tapi, itu tidak semudah seperti donor darah. Kali ini aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun. Apa gunanya hidup tanpa mata, mana mungkin aku bisa bertahan tanpa melihat apapun. Kini, aku menyalahkan Dony, semua ini karena dia!
“Al” aku mendengar suara Dony.
“pergi loe!” aku berteriak mengusirnya!
“sorry, Al”
“pergi! Loe senengkan liat gue buta? Reina jelas lebih milih loe!” aku semakin mengeraskan suaraku.
“Al, please jangan gitu!” tiba-tiba aku mendengar suara Reina.
“oh… ternyata ada Reina juga, jadi sekarang kalian mau ngetawain gue bareng-bareng?”
“Al”
“PERGI!” entah apa yang aku lemparkan saat ini, tapi yang jelas aku berhasil membuat mereka keluar.
Bapa dan ibu berusaha menenangkanku, tapi akupun mendengar ibu menangis melihatku begini. Sekarang apa yang harus ku lakukan? “apa? apa? apa?”.
*13*
Selama satu bulan ini, Luzy terus menemaniku dengan sifatnya yang membuatku tenang. Ternyata ini sifat dia sebenarnya. Hangat dan tenang. Sampai sekarang, aku nggak pernah dengar lagi kelanjutan kisah dari Reina dan Dony. Karena nggak ada seorangpun yang berani membicarakan masalah itu, yah… kecuali Luzy yang keras kepala.
“kamu yakin, itu perasaan cinta?” Tanya Luzy memulai obrolan kita.
“apa lagi kalau buka cinta?” jawabku.
“tapi, bukankah cinta itu menumbuhkan kasih sayang dan bukan permusuhan?”
“aku mau tidur sekarang!” aku menghindari percakapan ini.
“yaudah, semoga dalam tidurmu, ada mimpi, dan dalam mimpimu ada masa lalumu”
“keluarlah, aku mau tidur”
Apa bedanya aku membuka atau menutup mataku saat tidur? Bukankah sama saja, sekalipun mataku terbuka aku tetap tidak bisa melihat apapun seperti orang yang menutup matanya.
Sebenarnya aku nggak mau tidur, hanya ingin menjauh dari Luzy, karena dia sering membicarakan tentang Dony dan Reina, ini bukan pertama kalinya. Dia selalu membahas mereka.
Aku hanya berbaring di kasur, dan tidak tertidur. Tapi, tiba-tiba saja aku mendengar suara di luar ruang rawatku.
“pokoknya aku mau masuk!” sepertinya itu suara Reina.
“ nggak bisa, belum saatnya!” dan ini pasti Dony.
“kenapa sih kamu minta Luzy buat jaga Aldy, padahal kalau aku yang menjaganya dia juga pasti mau!”
“dia masih kesal sama kamu”
“bukan aku, tapi kamu! Dia marah sama kamu! Aldy nggak mungkin marah sama aku, bukannya dia menyukaiku?”
“please! Kali ini, berhentilah bersikap kekanak-kanakan”
“udah cukup, Aldy lagi tidur!” suara Luzy mulai terdengar.
“selama satu bulan ini, kamu nggak berusaha ngerebut Aldy kan?” kata Reina.
“bukankah kamu selalu ada setiap aku lagi sama dia?” Luzy
“udah cukup!” kata Dony.
“ah… kamu nggak pernah ngerasain hal ini, kamu nggak pernah ngerti tentang perasaan ini. Kenapa kamu malah deketin Aldy sama dia sih? Aldy itu dari awal menyukaiku dan harusnya kita jadian” suara Reina.
“kamu yang nyuruh aku buat bikin dia salah paham karena kamu pengen liat seberapa besar rasa sukanya sama kamu. Rei, cinta itu bukan permainan dan bukan juga tes” Dony membalas perkataan Reina.
“ahh… udah aku pergi! Sampai kapanpun kamu nggak bakalan ngerti dengan apa yang aku rasain!”
“aku lebih mengerti perasaan itu dari pada kamu, karena aku merasakannya sejak awal, hanya bisa bersamanya tapi tidak bisa memilikinya, mencintainya tapi harus melepaskannya, bukankah itu yang kamu rasakan?”
Suara mereka semua tidak terdengar lagi. Sekarang, tidak ada apapun yang kudengar. Tapi, apa maksud semua ini? jika aku menebak dari apa yang ku dengar, beararti selama ini Reina juga menyukaiku dan dia sengaja membuatku salah paham dengan kedekatannya sama Dony biar dia bisa liat seberapa besar aku menyukainya. Dasar gadis bodoh! Kenapa dia selalu bersikap seperti itu diusianya sekarang ini? tapi apa gunanya semua yang ku dengar. Selama ini, selama satu bulan terakhir ini aku berhasil membiasakan diri untuk tidak menyukainya. Bisa dibilang, perasaanku sudah berkurang dan bahkan hampir tidak ada!
Jadi selama satu bulan inipun, mereka berdua membantu Luzy mengurusku? Ternyata mereka ada disampingku meskipun aku tidak merasakannya. Bagaimanapun juga, sekarang aku tahu kebenarannya dan sangat berterimakasih karena mereka tetap menjadi sahabatku.
“Diary itu, kamu sudah mengisinya?” suara Luzy terdengar tenang.
“emm… maksih Luz” kata Dony.
“Dony, aku harap nanti dimanapun kau berada, tersenyum dan bahagialah”
“ini, nanti berikan ini padanya!”
Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Reina pasti sudah pergi, karena aku hanya mendengar suara Luzy dan Dony. Tapi, pembicaraan mereka kali ini, aku sama sekali tidak mengerti. Yasudahlah, lagi pula suara kedua orang itu sudah tidak terdengar lagi.
*14*
Sudah dua minggu aku di berada Bandung, dan selama ini bukan ibu atau bapa yang mengurusku, tapi Luzy. Dia tiba-tiba datang menyusulku ke Bandung setelah kejadian di rumah sakit itu dan memintaku untuk menjadikannya perawat. Awalnya aku nggak mau, tapi dia terus maksa dan akhirnya waktu ibu dan bapa membawaku pulang ke Bandung, Luzy diam-diam mengikutiku dan entah dengan cara apa, dia berhasil menjadi perawatku.
“buka mulutmu, aa…” kata Luzy yang saat ini sedang menyuapiku.
“udah, mana sendoknya. Aku bisa sendiri!” aku membentak Luzy.
“tapi, aku ingin menyuapi mu”
Aku menghempashan tanganku dan ternyata pas pada sendok yang saat itu sedang di pegang Luzy. Sepertinya sendok itu jatuh karena aku mendengar suara “treng..”
“Aldy” suara Luzy terdengar begitu lembut. “jika permintaanmu yang waktu itu sudah tidak berlaku lagi, kalau begitu sekarang izinkan aku yang memohon satu permintaan” jelasnya.
“aku nggak mau”
“sampai matamu sembuh” pintanya.
“lalu, setelah itu kamu akan menghilang lagi seperti sebelumnya. Begitu?”
“emm… karena memang seharusnya begitu”
Setelah menutup mulut beberapa menit, akhirnya aku mulai berbicara kembali.
“baiklah, sampai mataku bisa melihat, kau adalah pacarku”
“serius?” suara Luzy mulai kegirangan, sayang aku tidak bisa melihat senyumnya.
“sebenarnya, kenapa kau selalu datang membantuku setelah itu pergi tanpa kabar?”
“karena aku menyukaimu. Aku suka dan aku akan membantumu, dengan begitu aku bisa menjadi orang yang berguna dimata orang yang aku sukai”
“hanya itu?”
“aku kebelakang dulu yah, mengganti sendok. Setelah itu, kamu harus menghabiskan makananmu”
*14*
Setelah selesai menyuapiku, Luzy mendorong kursi rodaku. Dengan tenangnya, aku begitu nyaman di dekatnya. Meskipun saat ini hanya warna hitam pekat yang ada di pandanganku, tapi aku yakin sekarang aku berada di luar rumah. Karena, udaranya mulai terasa.
“selamat sore, Kak!” suara itu terdengar kompak di telingaku.
“kau tahu, dimana kita sekarang?” kali ini, hanya satu suara yang terdengar, dan itu Luzy.
“dimana?” tanyaku.
“kita di taman, tempat dulu saat kita jadi pasangan satu minggu”
“lalu suara anak kecil itu?”
“mereka ada di hadapanmu”
“untuk apa?”
“memberi energy positif”
“apa maksudmu?”
“mereka dihadapanmu, tapi kau tidak bisa melihatnya dan hanya bisa merasakannya, kan? Begitu juga sebaliknya”
Aku terdiam begitu mendengar ucapan Luzy. Apa itu artinya, anak-anak itu buta? Lalu, apa maksudnya Luzy membawaku bertemu dengan mereka? energy positif apa yang dia maksud?
“kakak akan memberi tahu kalian tentang teman kakak ini, kalian semua ingin mendengarkannya, kan?” suara Luzy yang begitu ceria mulai terdengar keras.
“iya!” anak-anak itu terdengar keras.
“baiklah, kakak mulai. Panggil saja dia kak Aldy. Dia begitu baik dan menyenangkan, karena itu, kakak akan meninggalkan kalian dengan kak Aldy” jelasnya pada anak-anak itu.
“eh, Luz” secara spontan, aku langsung memanggil Luzy, karena jika dia pergi siapa yang akan menuntunku? Semua orang disini buta, kecuali Luzy.
“aku ke warung dulu sebentar, mereka harus dikasih minum dan makanan, kan?” itu ucapan terakhir Luzy.
Sepertinya Luzy benar-benar pergi, karena sebanyak apapun aku memanggil namanya, dia sama sekali tidak menjawab.
“kak Aldy, apa kakak pernah melihat daun?” Tanya salah seorng dari mereka.
“emm… tentu. Warnanya hijau dan hampir berbentuk oval”
“kita bahkan tidak tahu, seperti apa warna hijau itu” kata yang lainnya.
“kalian sama sekali tidak pernah melihatnya?”
“kita semua buta sejak lahir”
Apa? sejak lahir? Setidaknya aku lebih beruntung, aku bisa melihat semua hal sebelum aku buta, tidak ada benda yang belum pernah ku lihat. Tapi, mereka hidup dalam kegelapan sejak lahir. Pasti sangat menyedihkan tidak bisa melihat apapun semasa hidupnya, yang ada hanya warna hitam.
“kakak, karena kak Aldy bisa melihat, tolong katakan pada kita semua seperti apa tempat ini. udaranya begitu sejuk, pasti tempat ini begitu menyenangkan” pinta seorang anak.
Jadi, Luzy tidak memberi tahu mereka bahwa aku juga buta? Apa yang bisa ku lihat? Saat ini mataku tidak bisa melihat apapun. Tapi, setidaknya aku pernah datang ke taman ini, bahkan sering. Jadi, aku akan menceritakan semua yang aku ingat dari taman ini.
“ada pohon yang besar dan kokoh, lalu ada kursi disebelah pohon itu. Di taman ini, begitu banyak tumbuhan. Nah, di sebelah kiri pohon itu jika berjalan lima langkah, maka kalian akan tiba di kolam ikan. Di sebrang adalah…”
Aku terus menceritakan semua hal di tempat ini meskipun sebenarnya aku tidak melihat apapun, tapi aku mengingatnya karena pernah melihatnya. Dan, semoga saja mereka bisa mengingat keindahannya lewat apa yang mereka dengar.
*15*
“awan, bunga, tanah, air” aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan “aku hidup kembali, Luz” kataku.
“memangnya selama ini kamu mati?” jawabnya.
“mataku yang mati” aku menghela nafas. “aku mau ketemu sama Reina dan Dony” lanjutku.
“yaudah, tunggu sebentar”
Satu minggu setelah aku menceritakan banyak hal pada anak-anak yang tidak bisa melihat itu, aku mendapatkan kabar baik. Aku dapat donor mata. Sekarang, aku bisa melihat dunia ini lagi. Lagit itu biru, awan putih, daun hijau, dan seluruh warna dan bentuk yang ada. Aku sangat-sangat bahagia. Siapapun yang mendonorkan matanya, aku sangat berterimakasih. Tapi, lebih berterimakasih lagi jika aku bisa melihat keindahan dunia ini bersama dengan orang-orang yang tidak bisa melihat. Jika mata bisa dipinjamkan, aku akan memohon agar orang yang memiliki mata yang sempurna bisa meminjamkan matanya pada orang yang buta meskipun hanya 5 detik untuk melihat sehelai daun. Mulai sekarang aku akan lebih berhati-hati menjaga mata ini.
Saat ini, aku menunggu Luzy kembali bersama Reina dan Dony. Aku juga merindukan mereka, sekarang aku sangat ingin memeluk mereka dan bercanda bareng mereka lagi. Mulai sekarang, apapun yang terjadi mana mungkin aku menyalahkan kedua sahabatku itu. Hanya salah paham yang kecil, tidak seharusnya membuat persahabatan kita berantakan.
“ini” Luzy kembali dan menyodorkan sebuah buku.
“emm..” aku mengambil buku tersebut “mana Dony dan Reina?” tanyaku.
“Reina bentar lagi datang, tapi Dony…”
“kenapa?”
“kamu akan tahu setelah melihat buku itu”
“Al” teriakan yang nyaring itu tiba-tiba terdengar. Benar, ternyata Reina datang.
“Rei” aku berlari mendekatinya dengan tatapan yang bahagia [tapi, bukan cinta].
“ternyata, kamu suka juga sama aku?” aku menyindirnya.
“ihh… GR banget!”
“ngaku aja!”
“sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi sahabat dan ibuku, aku datang untuk pamit sama kamu”
“emangnya mau kemana?”
“aku lanjutin study ke luar, kemungkinan nggak bakalan balik lagi”
“lho, tap–”
“Luzy” Reina berteriak memanggil Luzy “titip ibuku yah!” Reina tersenyum dan pergi.
Menyebalkan, sekarang saat aku sudah bisa melihat lagi dia malah pergi. Tapi, Dony? Aku baru ingat kalau tadi Luzy memberiku sebuah buku. Ternyata ini buku Diary yang Luzy hadiahkan saat ulang tahun Dony. Lalu, tujuannya memberiku diary ini untuk apa? daripada penasaran, aku langsung membuka diary ini dan ternyata diary yang awalnya hanya berisi ‘selamat ulang tahun’ ini, sekarang menjadi padat dengan tulisan tangan Dony.
“langsung baca lembar terakhir aja, Al” kata Luzy.
Aku pun menurutinya dan membaca buku ini langsung pada lembar terakhirnya.
“lewat mata ini, aku akan tetap hadir menjadi sahabatmu dan lewat mata ini aku akan tetap melihat orang yang aku sukai. Jaga mata itu dan Luzy seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini”
Tanpa kusadari, ternyata air mata mulai membasahi pipiku “Don” suaraku mulai melemah.
“itu mata Dony, jangan di pake nagis!” Luzy mencoba menenangkanku.
“tapi, kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.
“sejak dulu aku tahu Dony punya penyakit yang bisa membuatnya mati kapan saja, karena itulah aku memberinya Diary untuk menuliskan kejadian yang dia lalui selama dia hidup”
“sejak kapan? Dan kenapa kamu nggak pernah ngasih tahu aku?”
“semua pertanyaan yang membuatmu penasaran akan terjawab setelah kamu membaca Diary ini”
Benar… lewat diary ini, aku bisa melihat semua kejadian yang kita alami lewat sudut pandangnya. Lewat diary ini, aku mengerti apa yang dia rasakan, lewat diary ini juga aku belajar banyak dari kata-kata yang dia rangkai, dan lewat mata ini Dony akan tetap hidup sebagai orang yang berpengaruh dalam memotivasiku.
Tidak semua hal yang ku lakukan sama dengan apa yang orang lain harapkan. Dalam hidup ini aku harus belajar melakukan, memikirkan, dan menginginkan sesuatu setelah kita mempertimbangkannya. Karena, dunia ini bukan hanya milikku, tapi dunia ini juga milikmu, dia, mereka, kalian, dan siapapun. Jadi, aku harus belajar melihat hal lewat sudut pandang orang lain, tidak hanya melihat pendapat diri sendiri.
Lewat diary nya, Dony mengajarkanku hal yang paling penting yang wajib ku ketahui.




Saat ini aku masih sangat ngantuk, tapi aku harus sekolah. Ahhh… pagi ini aku benar-benar lemas gara-gara semalem hanya empat jam aku tertidur. Untuk memberi otakku hingga kenyang, aku harus extra belajar. Setiap harinya aku berusaha sekeras mungkin biar otakku ini berubah jadi sepintar Albert Einstein, meskipun nggak belajar tapi bisa jadi ilmuan, kerenkan? Tapi sayangnya aku bukan Albert Einstein si ilmuan pintar itu, dan diapun bukan aku si cowok ganteng n’ cool.
Setidaknya, meskipun otakku ini pas-pasan, tapi aku raja optimis. Meskipun kadang orang bilang apa yang ku lakukan itu nggak masuk akal, tapi aku selalu berusaha mencobanya. Untungnya ada sahabatku Dony, dia akan siap sedia setiap dimintai pertolongan, kayak super hero. [ha…ha…ha…]
“Al, cepetan bangun” Dony menarik selimutku. Dia selalu melakukan cara apapun untuk membangunkanku.
“ahh iya iya, 5 menit lagi oke” aku terus memejamkan mataku.
“oke, 5 menit lagi, tapi ntar malem waktu belajar kamu ditambah satu jam” kata Dony, mengancamku.
“ahh… nggak! apaan”
“makanya cepetan bangun” Dony menarik tanganku.
“iya oke, aku bangun terus mandi sekarang. Puas?” mau nggak mau, aku terpaksa bangun.
“puas banget Al” Dony tersenyum puas.
Dia emang temen yang setia, tapi dia ngotot banget. Umurku lebih tua darinya tiga minggu lima hari, tapi dia yang bertingkah lebih tua dariku. Aku bersahabat dengannya sejak kelas 3 SD, dan sampai sekarang hubungan kita masih sakinah-mawadah-warohman [ha…ha…ha...] maksudnya, hubungan kita masih baik dan bahkan sekarang kita semakin dekat, sejak Dony tinggal dirumahku.
Saat SMP, orang tua Dony kecelakaan dan keduanya meninggal ditempat. Dony anak satu-satunya dan paman, bibi, kakek, neneknya di Jakarta. Awalnya setelah ditinggal pergi orang tuanya, Dony berencana untuk pindah ke Jakarta, tapi aku maksa dia untuk tetep tinggal disini. Dan kebetulan saat itu bapaku lagi nyari guru private yang sabar ngadepin murid dengan seribu satu kenakalan sepertiku. Guru terakhirku berhenti ngajar karena aku masukin obat pencuci perut ke minumannya, akibatnya perutnya mules-mules ampe pagi dan dia kapok jadi guruku. Itulah sebabnya, bapak minta Dony buat jadi guru private ku, dan nggak jadi ke Jakarta. Berhubung Dony sahabatku, bapak pikir jika aku belajar dengannya, aku bisa nyaman dan menikmati semua pelajaran.
Kukira Dony bisa bantuin aku biar nggak terlalu sering belajar, tapi kacau. Setiap hari sehabis sholat isya, aku harus-musti-kudu-wajib belajar sampai jam 10 malam, bahkan kadang-kadang bisa nyampe jam 11 malem. Tapi ada untungnya juga sih, dengan begitu, peringkatku naik setiap tahunnya, dan ibu ngasih aku hadiah. Terakhir di kelas 3 SMP semester 1 aku dapet peringkat 5, yang asalnya nggak dapet ranking sama sekali. Dan saat lulus kemarin, nilaiku juga nggak jelek-jelek amat, yah walaupun ujung-ujungnya tetep Dony yang lebih pintar.
Sampai sekarang, Aldy dan Dony si sahabat sejati ini masih tinggal dirumah yang sama. Saat ini aku dan Dony udah SMA dan di kelas 2 semester 2, yah bisa dibilang umurku sekarang sekitar 17 tahun.
Tahukan apa yang paling menarik dari kisah remaja kayak kita-kita ini? Yap, apa lagi kalo bukan cerita cintanya. [ masa muda tanpa cinta.... oh tidak bisa ha... ha... ha...]. Sekarang aku lagi suka-sukanya sama cewek di kelas yang namanya Luzy. Dia cantik, pinter, menarik, dan yang paling penting dia itu pedes. Nggak ada yang berani deketin dia kecuali Aldy si raja optimis ini. Sesempurna apapun Luzy, nggak ada yang berani suka sama dia, karena dia itu super-duper jutek. Tapi justru itulah yang membuatku tertarik.
Jarak dari rumah ke sekolah cuma ngabisin waktu 15 menit bada 5 detik kalo pake jam tangan, dan sekarang kita berdua udah nyampe disekolah ini. Dan cewek sasaranku lagi berjalan menuju perpustakaan sendirian.
“Luzy” aku berteriak memanggilnya.
“ada apa?” dia menatapku dengan tatapannya yang tajam setajam silet.
“kamu inget aku?” aku tersenyum se-PD mungkin.
“emm” Luzy terus menatapku “nggak” katanya, dia langsung membalikan badannya dan melanjutkan langkah kakiknya.
Kurang pedes banget kan itu cewek, tapi aku harus tetap sabar dan jadi cowok yang manis biar dapetin dia. Kemaren waktu pulang sekolah, pas dia jatuh dari motornya jelas-jelas aku nolongin dia, dan sejak SMP kita selalu duduk di kelas yang sama, mana mungkin dia lupain wajah ganteng yang tak ter elakan ini secepat itu. Oke, tunggu beberapa hari lagi Aldy dan Luzy pasti jadian.
Sebenarnya aku playboy, saat dirumah oke lah aku jadi anak papah dan mamah yang baik hati, ramah tamah, tidak sombong dan rajin menabung meskipun di warung. Tapi setelah di luar rumah, itu kebebasanku yang nggak bisa di ganggu gugat. Banyak cewek yang aku jadikan bahan taruhan, dan semuanya berhasil. Karena itu, aku udah paham sepaham-pahamnya dengan semua jenis perempuan. Mulai dari cewek polos kaya HVS sampai cewek seganas Luzy. Selain itu, hobby ku adalah maen trek-trekan, bisa dibilang pergaulanku agak bebas, tapi nyantai aja aku nggak separah temanku yang lainnya, karena masih ada sahabat ku si superhero. Untungnya Dony nggak pernah banyak nanya kalo aku minta apapun, kayak semalem waktu aku minta dia anter aku ke tempat trek-trekan, dia nganterin tanpa banyak pertanyaan dan nasehat. Temanku yang satu ini udah ngerti banget kalau aku bukanlah orang yang suka diatur-atur.
“udahlah Al, nggak usah maen-maen sama dia” kata Dony.
“kamu kan tahu Don, kalau aku pernah pacaran sama tiga jenis cewek yang kayak gitu, jadi aku hafal banget kalo dia tuh pura-pura jutek”
“Luzy temen SMP kita loh”
“justru itu ki– ”
“ah … yaudah terserah, ayo ke kelas” Dony menarik tanganku.

*2*
Udah satu bulan, aku nyimpen memo diatas mejanya dikelas yang tulisannya selalu sama “I LOVE U”. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti datang dan marah-marah. Sekarang dia datang ke kelas dan ngasihin 30 lembar memo yang selama ini aku simpan diatas mejanya. Luzy, sama aja kayak cewek jutek sebelumnya yang pernah aku pacarin, bahkan dia terlalu mudah ditebak. Habis ini dia pasti marah-marah.
“nggak ada kerjaan banget deh” kata Luzy dengan nada yang tenang.
“emm” bingung deh mau jawab apa.
Ku kira dia bakalan marah, dan rencananya waktu dia marah-marah aku bakalan ngeluarin jurus jitu, yaitu teriak bilang ‘I LOVE YOU’, biasanya setelah itu cewek bakalan pura-pura mengabaikanku, tapi tamatnya tetep aja cewek itu nyamperin dan nanyain keseriusan perasaanku terhadap dia.
“aku nggak marah, aku cuma kasih saran aja, sekali-kali kasih aku coklat, bakso, mie ayam, atau apa aja deh yang bisa dimakan, aku nggak butuh kertas, kertas kayak gini aku punya banyak di rumah” kata Luzy, seakan-akan bisa menebak pikiranku.
“apa?”
Gagal! Kali ini perkiraanku melenceng, banyak banget yang melihat ku, wah… wajah ku yang putih ini berubah warna jadi merah, kayak tomat yang baru mateng. Makanan? Parah banget tuh cewek!
“katanya udah paham betul sama jenis cewek kayak dia” kata Dony, menyindirku.
“udah deh, mendingan kamu bantuin aku buat deketin Luzy”
“pasti deh aku lagi yang kena”
“ayolah, sob!”
“iya oke, kapan batas akhir kamu harus jadian sama dia?”
“minggu ini aku harus jadian sama dia, dan minggu selanjutnya aku putusin dia”
“hmm, dapet karma tahu rasa loh!”
Sebenarnya setiap kali gagal deketin cewek, aku selalu minta bantuan Dony. Sudah ku bilang, Doni itu teman yang siap sedia setiap saat. [ha…ha…ha…] entah apa yang bakalan dia lakuin kali ini buat bantuin aku menangin taruhan kali ini.
Kebetulan banget aku lihat Dony lagi ngobrol sama Luzy di perpus, kayaknya seru juga kalo nguping. Jadi type cowok pinter dan tenang kayak Dony yang dia suka, oke lihat aja nanti, aku pasti berhasil merubah selera kamu itu.
“kamu suka novel tentang kisah cintakan?” Dony mulai ngedeketin Luzy dan duduk disebelahnya.
“lalu?” mukanya Luzy masih sedatar tembok.
“ini” Dony meletakan novel yang cukup tebal di atas meja “kali ini cerita tentang cowok nakal yang suka sama cewek kutu buku yang nggak pernah pacaran” lanjutnya.
“tujuan kamu pasti mak coblangin aku sama temen kamu itu kan?”
“emm” Dony mengangguk.
“aku nggak berani menyukainya, awalnya aku suka dia tapi itu sebelum aku tahu resiko apa aja yang harus aku terima kalau aku menyukainya” Luzy bicara dengan senyumannya yang nggak pernah dia tunjukin ke aku.
“jadi?”
“tenang aja, besok aku bakal bantu dia buat menangin taruhan ini, selanjutnya aku akan berpura-pura sakit hati karena dia”
“apa untungnya kamu ngelakuin semua itu?”
“memangnya saat kita menyukai seseorang, apa keuntungan yang kita dapatkan?”
“nggak ada”
“cinta itu bukan perhitungan yang mudah di cari tahu untung dan ruginya, kalau kamu bertanya tentang kerugiannya pasti banyak hal yang kamu ungkapkan, tapi tanpa kamu sadari, dibalik kerugian itu pasti akan ada orang yang diuntungkan” Luzy pergi meninggalkan Dony.
“meskipun bukan kamu orang yang diuntungkan itu?” teriak Dony.
“keuntunganku adalah saat aku jadi pacarnya” Luzy tersenyum dan saat ini dia berjalan kearahku, sepertinya dia tahu sejak tadi aku menguping percakapan mereka.
“eh… Zy” lagi-lagi aku kehabisan kata-kata saat aku didekatnya.
“aku mau jadi pacar kamu, hari ini kita resmi jadian dan minggu depan tanggal kita putus, oke” Luzy tersenyum.
“maksudnya?” aku beneran bingung sama cewek yang satu ini.
“cepat atau lambat kamu pasti nembak aku kan?”
“emmm… iya, tap–”
“kali ini berapa uang yang kamu dapetin?” Luzy memotong pembicaraanku.
“450 ribu” ahh… gawat, saking gugupnya aku keceplosan deh.
“kalau gitu, kita bagi tiga”
“bagi tiga?”
“gimanapun juga Dony udah bantu kita untuk bisa jadian”
“oh itu”
“aku pergi dulu yah, say” dia tersenyum seakan-akan mentertawakanku dengan ucapan ‘say’ nya.
*3*
‘kita resmi jadian’ ‘say’. Ampun deh, itu cewek aneh banget, udah tahu di jadiin taruhan masih aja mau jadian denganku atau dia lagi butuh uang makanya dia ngorbanin statusnya? Bukankah dia minta uangnya dibagi tiga. Tapi tadi jelas-jelas aku denger dia bilang kalo dia menyukaiku, berarti dia pengen banget jadi pacarku walaupun cuma sebagai cewek taruhan.
“Al” suara teriakan Dony membuyarkan pikiranku saat ini.
“apa sih Don, hari ini minggu kan? Jadi nggak sekolah” sekarang aku masih terbaring di kasur kesayanganku ini.
“kenapa sasarannya harus Luzy sih?”
“lho, emang kenapa? Kamu suka Luzy?” aku yang tertidur, sekarang bangun dan nggak ngantuk lagi.
“nggak, lupain aja! Cepet sana mandi!”
“emang mau kemana?”
“di bawah ada Luzy”
“what? Yang bener” aku kaget setengah hidup.
“liat aja sendiri” Dony berjalan keluar dari kamar ini.
“thank’s ya don!”
Aku tahu, Dony pasti suka sama Luzy, sebenarnya itu masih dugaanku. Dilihat dari cara Dony melihat Luzy waktu ngobrol tadi, aku rasa Dony emang nyimpen perasaan ke Luzy. Tapi tenang aja Don, aku nggak suka sama Luzy kok. Apapun yang dia lakuin, nggak bisa mengubah perasaanku, karena aku hanya mencintai orang yang ku kenal sejak kecil dulu. Selama ini, meskipun aku sering pacaran sama cewek-cewek aneh, tetep aja di hatiku hanya ada satu nama, dan nama itu bukan Luzy.
“ngapain kamu kesini?” tanyaku.
“ngapain lagi kalau bukan ngajak kamu jalan?” jawab Luzy dengan ekspresi wajah yang sama sekali nggak mirip dengan Luzy yang aku kenal.
“kamu ini bener-bener nggak punya harga diri yah?” kata-kataku kali ini pasti bikin dia marah.
“oh… begitu yah” Luzy tersenyum dan menyodorkan tas yang dia bawa.
Aku membuka tas itu dan ternyata isinya sweater yang mirip banget kayak yang dia pakai saat ini.
“sweater pasangan, cepat pakai setelah itu kita jalan-jalan” senyum Luzy makin melebar.
Ada apa dengannya? dia bukan Luzy yang ganas. Awalnya dia itu gadis yang asli pedesnya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba jadi cewek yang ceria. Aneh, apa dia kembaran Luzy? Tapi setahuku dia nggak punya kembaran. Lalu, siapa yang sedang berdiri dihadapanku ini?
Tanpa banyak pertanyaan, aku langsung memakai sweater pasangan itu dan pergi jalan bareng Luzy. Waktu mau bawa motor, dia nggak mau. Dia menyuruhku untuk berjalan-jalan tanpa menggunakan motor. Padahal selama ini semua cewek yang aku ajak jalan, pasti males banget kalo disuruh jalan kaki, tapi Luzy malah menyuruhku untuk meninggalkan motor kesayanganku itu dirumah.
“kamu merasa aneh sama sifat ku kan?” Tanya Luzy sambil terus berjalan.
“lebih aneh lagi kalau aku nggak merasa aneh sama sifat kamu yang baru ini”
“aku menyukaimu sejak kita di SMP yang sama dua tahun lalu” Luzy bicara tanpa menatap mataku.
“aku tahu” kali ini, aku yang menebak pikirannya.
“kamu nggak sepintar dan nggak sehangat Dony”
“lalu, kenapa kamu suka sama aku, kenapa nggak suka sama Dony aja”
“karena kamu Aldy, cowok so playboy padahal sebenernya polos”
“polos?” dasar Luzy yang menyebalkan!
“kau sangat jujur mengatakan semua kelemahanmu, untuk ukuran lelaki, kamu terlalu terbuka dan cerewet”
“heh! Jadi tujuan kamu ngajak aku jalan buat ini?”
“di tambah lagi sifat kamu yang gampang marah dan so ganteng”
“sebenarnya mau kamu itu apa?” aku mulai kesal sama gadis ini.
“berpura-puralah menyukaiku” Luzy menghentikan langkahnya “meskipun kamu nggak pernah menyukaiku, tapi selama satu minggu ini berpura-puralah menjadi pacar yang paling baik” Lanjutnya.
“kamu membuatku kesulitan menghadapimu, selama ini aku sering berpura-pura menyukai orang lain, jadi harusnya kamu yang pura-pura nggak tahu kalau aku jadiin kamu taruhan”
“oke, selama satu minggu ini aku pura-pura nggak tahu”
“tapi apa kamu nggak punya harga diri, seharusnya kamu marah karena jadi bahan percobaan”
“setelah satu minggu ini berlalu, apa gunanya lagi harga diri. Lagi pula kamu nggak bakalan mempermalukanku di depan umumkan?”
“se-yakin itu?”
“aku kenal kamu udah lama, meskipun kamu baru mengenalku hari ini. Kamu yang kukenal bukan orang yang jahat. Aldy itu cowok polos yang bodoh dan berpura-pura jadi cowok dewasa”
Sepertinya selama ini dia memang banyak mengenalku. Dia terlihat seakan-akan bisa membaca fikiranku, dia sangat mengenal semua tentangku. Perempuan ini membuatku sulit mangambil sikap. Semakin dia bersikap seperti ini, aku semakin sulit membuatnya terluka. Dony benar, kenapa harus dia sasarannya.
Kita pergi ke banyak tempat, hari ini dia ajaib. Sangat ceria, dan menyenangkan. Bersamanya aku seperti menemukan kebahagiaan yang baru. Hari ini seperti mimpi, lebih menyenangkan jika Luzy itu adalah gadis kecilku yang selama ini aku tunggu.
*4*
Ini hari ke-3 aku menjadi pacarnya dan gossip udah menyebar seluas samudra [ha…ha…ha… lebay!]. dan diluar dugaanku Reza, Tony, dan Dika temanku yang sama-sama ‘badung’ ngasih aku uang 250 ribu itu hari ini, dan parahnya lagi ini siaran langsung didepan Luzy dan murid-murid lainnya. Saat ini aku ngerasa kasian sama Luzy, tapi aku juga nggak tahu kenapa mereka ngasih uang itu hari ini, padahal seharusnya aksi ini mereka lakuin hari sabtu nanti. Waktu aku melihat Luzy, dia tersenyum, tapi aku tahu itu hanya senyuman untuk menutupi luka hatinya. Aku nggak mungkin nyamperin dia sekarang, tapi aku udah kasih aba-aba ke Dony biar dia nyamperin Luzy. Niatnya, seperti biasa aku nyusulin mereka dan nguping.
Kalau gini ceritanya, apa yang harus aku dengerin. Aku pikir saat ini dia berubah jadi gadis cengeng karena malu dihadapan semua orang. Tapi, dari yang ku lihat, dia asyik banget makan bakso bareng Dony di kantin. Mereka dua orang yang jarang banget ketawa, tapi sekarang mereka berdua malah tertawa lepas dan bahagia banget kelihatannya. Yasudahlah, yang penting aku nggak nyakitin hatinya Luzy. Waktu mau balik ke kelas banget, Luzy melihatku dan dia berteriak memanggilku. Benar-benar cewek aneh. Sampai saat ini dia masih nggak punya malu. Mau nggak mau, terpaksa harus mau duduk makan bakso bareng mereka yang berbahagia ini.
“sebenernya, kita bukan ngajakin kamu makan bakso” kata Luzy.
“terus ngapain manggil aku?” tanyaku.
“kamu baru aja dapet rezeki kan, makanya harus berbagi. Aku udah bantuin kamu buat berbagi kebahagiaan sama semua orang ini, tadi aku bilang siapapun yang pesen bakso disini, bakalan dibayarin sama Aldy. Kamu berhutang sama aku, harus berterimakasih loh!”
Wah… ini cewek nyebelinnya nggak ada yang ngalahin deh! Si Dony juga rese banget, dia pasti sengaja bantuin nih cewek! Aku terus ngedumel dalam hati dan tersenyum untuk menutupi rasa kesalku ini. Cewek ini harusnya malu banget hari ini, eh… dia malah bahagia banget gara-gara berhasil mengerjaiku.
Sesampainya dirumah, sehabis sholat isya, seperti biasanya aku harus belajar. Padahal hari ini males banget apa lagi kalau inget kejadian tadi pagi disekolah. Tapi otakku sekarang harus ditujukan pada soal-soal bahasa inggris yang Dony kasih. Ampun banget! Soal ini susah banget. Sebenernya mungkin aja gampang, tapi karena nggak focus, nggak satupun yang berhasil ku jawab.
“Sorry yah, Al” kata Dony yang terlihat seperti menahan tawanya.
“kamu suka Luzy?” tanyaku.
“apa sih?”
“nggak apa-apa jujur aja, Don”
“itu nggak penting, yang penting sekarang kapan kamu selesai ngerjain soal itu”
“selalu begitu”
“apa?”
“mengalihkan pembicaraan, tiap kali ngerasa dipojokin, pasti ngomongya nggak nyambung lagi sama apa yang dibahas!”
Dony hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Dan sekarang aku harus fokus ngerjain soal-soal ini. Tapi, ponsel ku bunyi, dan ternyata itu Luzy. Dia mengirim pesan, dan bilang kalau dia menungguku di taman dekat rumahku. Padahal sebelumnya nggak ada perjanjian apapun, dia tiba-tiba sms dan bilang kalau dia udah ada disana dan ada hal penting yang harus dia omongin malam itu juga. Otomatis, nggak pake lama aku langsung lari ke taman itu.
“ada apa?” tanyaku dengan suara yang terdengar kelelahan.
“kenapa? Salah kalau aku mau ketemu kamu tanpa alasan”
“apa? kamu bilang ada hal penting”
“aku pengen liat bintang bareng pacarku, bisakan temani aku sepuluh menit saja?”
“pacar?”
“masih ada 4 hari lagi, bukankah ku bilang satu minggu?”
“tap–”
“diam dan duduk saja” Luzy menarik tanganku dan memaksaku duduk di kursi taman itu.
Malam ini ada banyak bintang, Luzy terus tersenyum dan melihat langit, dia tidak mengatakan apapun, hanya diam dan terus memperhatikan bintang-bintang itu. Sesekali aku melihatnya dan merasa malam ini dia cantik. Ah… tidak, maksudku dia memang cantik sejak dulu tapi saat ini aku melihatnya dengan perasaan yang berbeda. Tapi aku yakin ini bukan perasaan cinta.
“apa aja yang mau kamu lakuin setelah hari ini?” tanyaku.
“makan ice cream, bersepeda bareng, dan ke bioskop” jawabnya.
“bukankah ada 4 hari, kenapa cuma tiga hal yang ingin kamu lakukan?”
“hari terakhirnya rahasia”
“menyebalkan!”
“sudah sepuluh menit, makasih yah!” dia berlari dan melambaikan tanganya.
*5*
Sesuai dengan yang Luzy inginkan, di hari ke-4 aku mengajaknya makan ice cream bereng, hari ke-5 aku mengajaknya bersepeda, dan hari ke-6 aku mengajak dia pergi ke bioskop. Hari ini hari ke-7, hari terakhir aku menjadi pacarnya. Entah apa yang ingin dia lakukan di hari ini, tapi aku merasa sulit melepaskannya. Semakin hari dia semakin menyenangkan, tapi aku nggak bisa terus mempertahankan hubungan yang memang sejak awal udah nggak baik. Belum lagi, perasaanku saat ini bukan untuknya, memang selama ini aku mulai menyukainya, tapi aku lebih menyukai seseorang yang ku cari selama ini.
Hari ini aku janji bertemu Luzy di taman biasa, taman dekat rumahku. Karena ini hari terakhir, aku sengaja membawa coklat dan bunga untuknya.
“maaf membuatmu menunggu lama”
“memang selalu beginikan”
“hari ini kita mau kemana?”
“kembali ke kehidupan masing-masing” Luzy tersenyum, tapi senyumannya semakin menyempit dan ekspresi wajahnya tidak ceria lagi “itu coklat dan bunga untuku kan?”
“emm, iya” kataku sambil memberikan coklat dan bunga itu.
“bagaimanapun juga, terimakasih untuk satu minggu ini” kata Luzy sambil melangkah pergi.
Saat itu aku kaku dan terus melihatnya yang mulai menjauh dan semakin jauh, karena itu mulutku berteriak refleks.
“Tidak bisakah kita memperpanjang waktu pacaran kita satu minggu lagi?”
Entah apa yang membuatku mengatakan hal itu, tapi perkataanku itu tidak berpengaruh apapun pada Luzy. Dia terus berjalan seakan-akan tidak mendengar apapun. Tanpa ku sadari, ternyata Dony dari tadi ada dibelakangku. Waktu aku membalikan badanku, aku tepat berdiri dihadapannya. Mata Dony terus melihat Luzy hingga punggung Luzy menghilang ditepi jalan. Kali ini aku yakin kalau Dony suka sama Luzy. Ku pikir kali ini dia bakal marah karena bagaimanapun juga aku membuat orang yang dia suka terluka. Tapi ternyata, Dony nggak marah sama sekali, dia hanya menyuruhku pulang untuk belajar lebih awal, karena semua nilai-nilaiku turun. Dony nggak bilang apapun soal perasaannya ke Luzy. Menjadi sahabatnya selama ini, dia tidak pernah curhat tentang apapun, selalu aku yang banyak cerita padanya. Aku lebih cocok menjadi adiknya meskipun usiaku lebih tua.
Berhubung lusa Dony ultah, aku harus nyiapin kado. Biar lebih special, mending aku menjadikan Luzy sebagai kadonya. Entah apa yang bakalan aku lakuin nanti, karena sampai saat inipun aku belum tahu gimana caranya bikin mereka berdua dekat. Tapi, jahat nggak sih kalau aku ngasih barang bekas yang udah pernah aku pake? Meskipun hanya status, tapi tetap aja aku dan Luzy pernah jadian. Yasudahlah, masalah itu gimana nanti aja, yang penting sekarang aku harus deketin Luzy lagi. Setelah kemarin kita resmi putus, hari ini dia kembali lagi dengan tatapan mautnya. Benar-benar gadis yang aneh! Sebenarnya siapa dia, kenapa dia bisa merubah sikap secepat itu.
Nyari satu cewek aja sulit banget. Biasanya Luzy di perpus atau di kantin, tapi hari ini dia nggak ada dimana-mana. Terpaksa deh harus muter-muter sekolahan nyari itu anak. Sampai kaki ku berhenti waktu mataku ini melihat Luzy dan Dony lagi duduk berdua di taman belakang sekolah. Nggak ada banyak orang yang datang kesini, itu berarti ini tempat mereka berdua. Tapi, sejak kapan? Jangan-jangan mereka udah deket sejak dulu banget. Saking pengen tahu mereka lagi apa, aku bersembunyi di balik pohon besar dekat tempat mereka berdua duduk. Ternyata setelah aku lihat seteliti mungkin, mereka bukan cuma duduk dan ngobrol. Mereka berdua ngedengerin music bareng lewat earphone. Romantis dan pas banget kayak orang yang lagi pacaran.
“yah bener, sejak SMP kamu suka banget lagu ini” akhirnya suara Luzy berhasil kudengarkan.
“kamu tahu dari mana?” kata Dony.
“aku tahu semuanya, lusa kamu ultah, apel buah yang paling kamu suka, kamu suka banget sama makanan pedas, setiap kali ada masalah pasti dengerin music dan duduk di bersandar di pohon, lebih suka diam tapi bukan berarti nggak pernah marah, selalu tersenyum bukan berarti nggak ada masalah. Itu hanya sebagian kecil, menurutmu apa yang nggak aku tahu tentang kamu?” kata Luzy panjang lebar.
“kenapa bisa, bukankah selama ini kamu suka sama Aldy?”
“berapa lama kamu jadi temanku? Sejak SMP kita sering main barengkan?”
“apa hanya teman?”
“yaiyalah. Bukankah selama ini aku suka Aldy?”
“emm” Dony menutup matanya “hari ini cerah”
“aku ke kelas lagi yah” Luzy berdiri dan membersihkan rumput-rumput kering yang menempel di roknya.
Kali ini aku tahu kalo ternyata mereka berdua udah deket sejak lama, tapi kenapa Dony nggak pernah cerita dan malah pura-pura nggak pernah deket sama dia. Waktu Luzy balik ke kelas, aku ngikutin dia dari belakang.
“Luzy” teriakku.
Luzy membalikan badannya “ada apa?” muka datarnya dimulai lagi.
“tadi aku liat kalian di belakang”
“aku tahu, lalu?”
What, Dia tahu? “sejak kapan kalian temenan?”
“sejak SMP lah, mulai menyukai mu juga waktu SMP”
Kayaknya Luzy udah mulai sadar kalo pertanyaan aku ini udah aneh banget. Dia langsung pergi gitu aja, tanpa senyuman atau apapun. Setidaknya ucapkan kata-kata kayak yang dia bilang ke Dony “aku ke kelas lagi yah”. Apa coba yang Dony suka dari cewek hambar kayak dia?
“Tunggu! Kalau Dony suka sama kamu gimana?” aku berteriak dan akibat ucapanku itu, dia menghentikan langkahnya.
Dia berjalan kearahku, wah… aku mulai takut kalau dia meledak “memangnya harus gimana?”
Syukurlah, dia nggak marah-marah. Tapi, tetep aja ekspresinya itu lho…
“kamu nggak bisa jadian sama dia?” tanyaku.
“apa itu penting? Apa gunanya bilang cinta kalau akhirnya salah satu dari kita bakal ada yang ditinggalin?”
“Dony belum pernah pacaran, jadi dia nggak bakal ninggalin kamu. Dia bukan aku” Aku mulai merasa bersalah setelah mendengar ucapannya.
“kalau kamu mencintaiku, apa yang akan kamu lakukan saat kamu tahu kapan aku bisa meninggalkanmu?”
“aku bakalan lebih sering didekatmu”
“kalau aku pergi, kamu harus tetap disini. Jika semakin banyak kenangan yang aku kasih, kamu akan merasa sangat kehilangan waktu aku pergi”
Aku sama sekali nggak bisa memproduksi kalimat apapun. Secara, saat ini bibirku beku dan nggak bisa ngomong. Memang apa yang harus kulakukan? Saat aku menyukai orang itu, aku akan hidup seakan-akan nggak pernah meninggalkan dia. Sebenarnya apa maksudnya? Dia mau pindah sekolah atau apa? Entahlah, gadis ini memang sulit kumengerti. Sekeras apapun aku mengikuti jalan pikirannya, aku nggak bisa menemukan jawaban lewat kehidupannya.
Karena aku terus diam setelah dia mengatakan hal itu. Dia langsung pergi meninggalkanku yang masih menyimpan pertanyaan tentang ucapannya. Dia aneh, tapi menarik. Sama seperti Dony, terlalu banyak hal yang nggak bisa dia bagi dengan orang-orang sekitarnya. Menyendiri dan selalu merasa kesepian padahal selama ini ada begitu banyak orang didekatnya.
“ada apa sih Al, ngapain ngomong gitu ke Luzy?” suara Dony selalu datang tiba-tiba.
“Don” aku menengok ke arahnya dan tersenyum karena merasa nggak enak.
“ayo” Dony merangkul bahuku.
“kamu nggak marah?”
“niat kamu kan baik, lagian kalo aku marah, bisa-bisa di ultahku nanti kamu nggak ngasih kado” Dony tersenyum dan mulai bersikap aneh.
Benarkan, sama banget kaya Luzy, terkadang untuk menutupi kesedihannya dia akan bersikap aneh dan berbeda. Jika besar nanti mereka berdua berjodoh dan menikah lalu punya anak, pasti anaknya bakalan lebih dahsyat anehnya dari mereka berdua. [ha…ha…ha…]
*5*
Hari ultah Dony kali ini pasti special banget. Semalam Luzy mengajakku bertemu di tempat biasa, dia menitipkan kado untuk Dony. Entah apa isinya, akupun ingin segera tahu. Tapi harus sabar, biar lebih kena di hatinya, mendingan aku kasih nanti sepulang sekolah. Jadi tetep aja, hari ini aku duluan yang ngucapin.
Begitu sampai disekolah, Dony langsung ke taman belakang tempat waktu itu aku liat mereka berdua. Seperti biasa, aku ngikutin dari belakang. Begitu sampai, aku benar-benar terkejut. Tempat ini disulap menjadi sangat indah. Pohon besar yang saat itu ku pakai untuk bersembunyi, sekarang dihiasi dengan balon-balon berwarna putih dan merah jambu. Belum lagi ada meja kecil yang diatasnya tersimpan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Saat itu pikiranku langsung melayang ke Luzy, apa mungkin dia yang ngelakuin semua ini? Dan sekarang aku ingat kado itu. Waktu aku ultah kemarin dia nggak ngasih kado apapun, padahal dia menyukaiku, tapi kenapa saat Dony ulang tahun dia ngasih kado yang cukup gede? Tempat ini juga dari awal nggak banyak orang yang dateng kesini. Siapa lagi kalau bukan Luzy?
Tapi, pikiranku tentang Luzy berhenti waktu aku lihat Dony yang menahan tangisannya sambil memakan kue itu. Tetap saja, air matanya keluar meskipun ia berusaha menahannya. Aku makin bingung sama semua keadaan ini. Ada apa sebenarnya?
Setelah pulang dari sekolah, perhatianku langung tertuju pada kado yang Luzy titipkan semalam. Tadinya aku nggak berani buka kado ini, karena ini kado milik Dony, jadi nggak sopan banget, kan kalau aku membukanya tanpa sepengetahuan pemiliknya. Tapi, terlalu banyak teka-teki dan aku sangat penasaran. Maafin aku, Don!
Setelah mengambil kadonya, saat Dony mandi, nggak pake lama aku pergi dengan motorku membawa kado ini. Jika membukanya dirumah, Dony pasti tahu. Karena itu, aku pergi nyari tempat yang aman.
Aku duduk di salah satu meja pelanggan di caffe ini. Perlahan-lahan, aku mulai membuka kado ini. Yang kulihat hanya buku yang agak tebal. Diary? Secara spontan, hatiku menebak buku ini. Benar, setelah ku lihat dengan jelas, ini memang Diary. Tapi buat apa dia ngasih benda yang paling pribadi ke Dony?.
Aku mulai membuka buku ini. Dan benar, ini tulisan tangan Luzy. Meskipun tidak akrab dengannya, tapi saat SMP dia bertugas sebagai sekertaris kelas. Itu sebabnya aku hafal bentuk tulisan cewek ini.
Aku mulai membaca lembar pertama buku ini.
“selamat ulang tahun”
hanya tiga kata? Irit banget tuh cewek. Oke, kita lihat apa yang dia tulis di lembar kedua.
Saat aku membuka lembar kedua buku itu, ternyata nggak ada tulisan apapun. Aku coba membuka lembar selanjutnya dan selanjutnya, tapi nggak ada yang dia tulis. Buku ini memang cukup tebal, dan dilihat dari sisi manapun buku ini adalah diary. Ternyata ini kadonya, kupikir ada hal yang lebih menarik. Dasar aneh ! lagian kenapa aku berpikir Luzy bakalan ngasih kado yang special, secara selama ini Luzy menyukaiku bukan Dony.
“ini, semalam Luzy menyuruhku ngasihin ini kekamu” aku memberikan buku itu saat pulang ke rumah.
Dony nggak bicara apapun, dia hanya membuka buku itu dan membaca kata yang SPJ itu, [Singkat-Padat-Jelas]. Setelah membacanya, dia langsung menyimpan buku itu tanpa pertanyaan apapun. Orang-orang ini selalu membuatku penasaran.
Memang aku ini sahabat – apakah? –
Hari ini aku benar-benar nggak melihat Luzy. Kepsek bilang, Luzy pindah sekolah. Dia menghilang tanpa kata apapun, aku sangat ingin mencari tahu tentang dia, tapi mau nanya kesiapa? Nyari tahu kemana? Jangankan sahabat, temanpun dia nggak punya.
“Galau?” lagi-lagi suara Dony mengagetkanku.
“apa sih?”kataku.
“Luzy dan aku, kita cuma temenan kok”
“lho, emang apa hubungannya sama aku? Lebih dari temen juga nggak apa-apa kok!”
“nggak usah pura-pura, kamu mulai suka kan sama Luzy?”
“ya nggak lah. Dari jaman Obama sampai jaman nabi adam, aku nggak mungkin suka sama dia”
“cara kamu mikirin dia, liat dia, dan ngobrolin dia, sama kayak waktu kamu suka sama Reina”
“udah dong Don, aku tahu kamu suka Luzy. Aku suka Reina itu bener, tapi kalau aku suka Luzy, itu salah”
“pendapat kamu soal aku suka Luzy juga salah. aku nggak pernah suka sama dia Al”
Ternyata Dony nggak pernah suka sama Luzy. Pendapatku selalu saja salah, tapi mendengar Dony bilang kayak gitu, hati ku tiba-tiba berdaun-daun [berbunga-bunga maksudnya ha… ha… ha…]. Mungkin ini karena aku nggak mau kehilangan fans kayak Luzy.
Dony udah tertidur pulas, tapi mataku nggak bisa merem. Kesempetan buat kabur [ha…ha…ha…] malam ini aku bisa nge-trek di tempat biasa, kebetulan Reza, Tony, dan Dika udah nunggu disana.
*6*
“setelah nonton film kita napain?” Tanya Luzy.
“kamu mau ngapain?” jawabku.
“emm… photo box” kata Luzy sambil menggandeng tanganku.
Sepulang dari bioskop kita langsung ke tempat photo box, dan berjalan-jalan sambil makan ice cream. Hari ini kita sangat dekat, layaknya pasangan yang cucok banget. Sambil jalan dan makan ice cream, kita berdua mentertawakan muka-muka yang konyol di photo ini. saat photo box, kita bergaya ‘alay’. selanjutnya Luzy nggak pernah berhenti menggandeng tanganku. Tapi tiba-tiba aja hujan datang tanpa undangan, akhirnya kita kehujanan deh.
Hujan? huahhh… ternyata bukan hujan, tapi Dony menyiramku pake se-gayung air es. Pantes aja dingin banget!
“keterlaluan banget sih Don!”
“ya habisnya dibangunin, terus aja merem. Betah banget, mimpi apa sih?”
“mau tahu aja!”
“yaudah buruan mandi, telat nih”
“iya ah!”
Waktu berputar lebih cepat dari yang kubayangkan. Sekarang, status kita bukan pelajar lagi, tapi mahasiswa. Setelah lulus, kita sepakat buat ninggalin Bandung dan merantahu ke Jakarta untuk mencari ‘seseorang’. [ha…ha…ha…]. Ya nggak lha yah, kita ke Jakarta untuk kuliah, yah walaupun masih ada kuliahan yang bagus di Bandung. Tapi ya itu hak asasi manusia. Dan, kita tinggal gratis di kost-kostan punya paman dan bibinya Dony.
Udah lama aku nggak mimpiin tentang Luzy, tapi malam ini dia tiba-tiba nongol di mimpiku. Hmm… mungkin karena dia terlalu aneh, makanya sampai saat ini aku masih mengingatnya.
Sekarang aku dan Dony berjalan-jalan di kampus kita ini, kampus yang bakalan manpung kita sampai kelar. Tapi, gara-gara keasyikan bercanda, aku nggak sengaja ngedorong Dony sampai dia nabrak cewek disebelahnya.
“Sorry” kata Dony.
“nggak apa-apakan?” kataku.
Cewek ini nggak mengucapkan kata apapun. Dia terus tertunduk dan melihat gelang pink yang kita pake. Yah… selama ini sebenarnya, kita memakai gelang yang sama berwarna pink.
“Aldy, Dony?” kata cewek ini dan mulai mengangkat kepalanya dan melihat sosok pria tampan yang ada dihadapannya.
Tunggu, tadi dia lancar banget ngucapin nama kita. Siapa dia? apa dia mengenal kita? Tapi, semakin aku menelusuri wajahnya, ternyata cewek ini…
Reina, gadis kecil yang selama ini aku cari dari Sabang sampai Merauke dan balik lagi ke Bandung.
Saat itu, umur kita masih sangat kecil. Aku dan Reina berteman sejak TK. Bahkan sebelum aku menjalin hubungan ku dengan Dony [eitss… maksudnya hubungan persahabatan].
Tadi pagi disekolah, pembagian raport, dan sekarang kita resmi jadi siswa kelas 3. Syukurlah, kita naik dengan nilai yang memuaskan, yah kecuali Aku. Diantara mereka, hanya diriku ini yang nilainya sedikit kurang, setidaknya aku berhasil masuk peringkat delapan.
 Malam ini, Reina menungguku dan Dony di taman belakang rumahnya. Dia bilang, dia mau ngomongin sesuatu.
“hey, gadis kecil” kataku sambil berjalan mendekati Reina.
“umurku sama denganmu” kata Reina yang sedang duduk.
“dulu saat umurmu 4 tahun, kau menangis di taman ini karena aku mengambil bonekamu” aku langsung tiduran diatas rerumputan.
“itukan udah lama, mau sampai kapan diinget-inget terus?”
“kamu inget nggak waktu semua temanmu menanyakan ibumu, bahkan mereka mentertawakanmu karena kamu tidak punya ibu”
“yah, saat itu kau datang dan memarahi merekakan? Masih kecil tapi hobby nya marah-marah”
“lalu, saat umur 6 tahun, kamu jatuh di lumpur yang kotor, gara-gara kamu, aku harus pulang tanpa baju”
“ternyata selama ini kamu terus yang muncul di kenangan masa kecilku”
“tentu, kapan kamu punya teman selain aku”
“maaf aku telat, ada apa Rei, Al?” Dony datang dan membuat kita berhenti bernostalgia.
“nggak apa-apa” Reina berdiri dan menarik ku agar akupun berdiri.
“jadi ada apa Rei?” tanya Dony.
“karena kamu sahabat Aldy, itu artinya kamu juga sahabatku” jawab Reina.
“terus?” kata Dony
“aku mau kamu jadi ayahku dan Aldy jadi ibuku” Reina duduk dan menunduk.
“maksudnya?” Dony kebingungan dengan ucapan Reina.
“eh… tunggu, apa aku keliatan kayak ibu-ibu?” kataku.
“emm…” Reina menganguk “selama ini, meskipun aku memiliki ayah, tapi aku selalu kesepian dirumah” lanjutnya.
“tapi, kenapa aku yang jadi ibu?” tanyaku.
“karena seorang ibu lebih mengenal anaknya dan selalu berada didekat anaknya, lagi pula kamu yang menyuruhku untuk menganggap kamu sebagai ibuku” jawab Reina.
“itu, karena aku menghiburmu” jawabku dengan suara yang pelan.
Reina, mengambil tanganku dan memasangkan gelang yang terbuat dari kain berwarna pink ini. setelah gelang itu terpasang ditanganku, dia melakukan hal yang sama pada tangan Dony. Saat kulihat, ternyata dibalik kalung ini ada tulisan tangannya, “ibu”.
Itulah asal-usulnya gelang c-u-t-e ini kudapatkan.
“hey!” Reina mengeraskan suaranya dan pikiranku loncat-loncat deh!
“Reina” aku terus memperhatikan wajahnya dan masih nggak percaya bisa ketemu sama dia lagi.
“iyah, aku Reina” Reina berdiri dan tersenyum.
Ahh… senyumannya membuatku makin cenat-cenut deh! Yah… gadis kecil yang selama ini kucari dan kutunggu ada di depan mataku. Seperti mimpi di dalam mimpi. Baru aja mimpi tentang Luzy, eh … paginya ketemu Reina.
“Rei” kata Dony sambil mengeluarkan sesuatu dalam tasnya “ini” dia memberikan sebuah kalung pada Reina.
“jadi selama ini kalungnya ada di kamu, ah… kupikir hilang” Reina mengambil kalung itu dan terus menggenggamnya sambil tersenyum.
“tunggu deh, kalung?” tanyaku yang mulai kebingungan.
“dulu aku nemuin kalung itu di atas tanah” jawab Dony.
“lho, kok bisa?” Tanya Reina.
“kita ceritanya sambil jalan-jalan deh” kata Dony.
Kita mulai berjalan mengelilingi kampus baru ini yang mempertemukan romeo-juliet. Tapi, kalau itu kalung punya Reina, kenapa ada di Dony. Lalu, kenapa dia nggak pernah cerita kalau dia menyimpan benda milik Reina. Tapi, kalau dipikir-pikir, memangnya kapan dia pernah curhat?
Oke untuk cerita lebih lanjut, kita dengarkan keterangan dari tersangka [ha…ha…ha…]. Sambil berjalan, Dony mulai menceritakan kisah si kalung itu.
Saat itu, aku disuruh ibu kewarung untuk membeli mie. Aku berjalan kaki, karena jarak rumah dengan warungnya juga nggak jauh. Waktu lagi berjalan dengan tenangnya, tiba-tiba saja seseorang berteriak dan merusak ketenanganku saat itu
 “awas!” teriak seorang cewek yang lagi menaiki sepeda.
“hey, hati-hati!” kataku.
Aku menahan sepedah yang di taiki gadis itu agar dalam posisi yang seimbang dan gadis itu tidak terjatuh. Tapi gagal, pada akhirnya malah kita berdua yang jatuh bersama. Anehnya gadis itu malah tertawa.
“ada apa denganmu, kenapa tertawa” Tanyaku.
“karena ini menyenangkan” cewek itu berdiri dan mengangkat sepedanya yang menimpa tubuh ku yang kurus.
“kamu aneh!” kata Dony.
“ayo” cewek itu tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membantu ku berdiri.
“emm, makasih” aku berdiri dan tangan kita masih berpegangan.
“namaku Reina” dia memegang tanganku seakan-akan sedang berkenalan.
“aku, Dony” merekapun saling melepaskan tangan yang berjabatan tadi.
“aku tahu, kamu si murid baru itu kan? Yang sebangku sama Aldy?” tanya Reina.
“kamu sekelas denganku?”
“iyah, sampai ketemu besok disekolah yah” Reina pergi dengan sepedahnya.
“besok hari minggu”
“ahh… aku lupa, kalau begitu sampai ketemu lusa” Reina tersenyum dan melanjutkan langkahnya.
Aku tersenyum dan terus melihat Reina yang berjalan sambil mendorong sepedahnya, hingga ku sadar, seharusnya dari tadi aku ke warung dan membeli mie. Saat mau pergi meninggalkan tempat itu, aku melihat kalung yang cantik tergeletak di atas tanah. Kupikir itu adalah kalung Reina yang terjatuh juga saat kejadian tadi, karena itulah aku membawa kalung itu dan berniat untuk mengembalikannya disekolah nanti. Tapi ternyata aku lupa dan selalu tidak ada waktu yang tepat untuk memberikannya, hingga akhirnya aku baru mengembalikannya sekarang.
Huahh… ceritanya cukup panjang juga, yah… meskipun masih kurang panjang kalau dibandingi dengan curhatan yang sering banget ku ceritakan.
Jadi itu sebabnya, kenapa kalung itu ada di Dony. Sebenarnya, itu kalung yang aku kasih ke Reina waktu dia berulang tahun yang ke-7. Aku sengaja memilih bentuk bintang karena dia sangat suka bintang. Syukurlah orang yang menyukainya saat ini seterang bintang dan se-indah bulan [ha…ha…ha…].
“Rei, emang nggak ada yang mau kamu omongin sama aku, gitu?” tanyaku yang berharap banget dia nanya.
“harus nanya apa?” Tanya Reina.
“apa aja deh, misalnya kamu kangen nggak sama aku? [ha…ha…ha…]” PD-ku muncul deh kepermukaan wajah.
“ya ampun… heh bu! Kenapa kamu nggak berubah?” Reina tertawa.
“dia yang paling banyak berubah, kok!” kata Dony yang sekarang mulai aktif berbicara.
“benarkah?” Reina melihatku se-teliti mungkin “dilihat dari penampilan, kamu kayak…,  jangan-jangan…” lanjutnya.
“yap… tapi keren dan tetap wangi kan, beda banget sama anak genk yang jarang mandi plus dekil itu”
“ya emang, ternyata kamu emang susah diatur” kata Reina.
“Rei, kamu ambil jurusan apa?” Tanya Dony.
Hari pertama bertemu Reina, pasti akan terus berlanjut pada hari-hari berikutnya. Ah… Reina, gadis kecilku yang sekarang jadi membesar, aku benar-benar menunggumu dan sekarang kita ketemu, benar juga kalau jodoh itu nggak akan kemana, palingan maen dulu ke tetangga [oops… salah yah?].
*8*
Asyiek… karena sekarang di Jakarta, berarti kata-katanya gue-loe [ha…ha…ha…]. Si gue ini, sekarang lagi siap-siap buat kencan bareng Reina. Yah… sebenernya bukan kencan sih, hanya main biasa, soalnya ada Dony. Ah… kalau aja Dony memberiku waktu buat berduaan bareng Reina.
Sekarang, kita bertiga lagi muter-muter tempat yang asyik di mamah kota ini [ha…ha…ha… ibu kota maksudnya]. Pertama dan utama, tentunya kalau nge-date, pasti ke bioskop, habis itu makan ice cream, terus photo box, dan nggak lupa bersepeda bareng. Tapi, sebenernya itu nge-date versi Luzy, pacar terakhirku yang entah kemana. Sekarang, kita baru aja keluar dari bioskop dan langsung ketaman buat makan ice cream sekalian photo-photo gokil lewat kamera punya Dony.
“Rei, kita photo berdua yah, Don tolong photo kita!” aku menarik tangan Reina, agar dia berdiri disebelahku.
“tunggu, tunggu” kata Reina.
“oke… 1…2…3….” Kata Dony.
“ckrek…” bunyi suara kamera Dony.
“symbol cinta” Reina menarik tanganku agar tanganku membuat bentuk hati dengan tangannya.
“ckrek…” bunyi suara kamera Dony lagi.
Akhirnya bukan cuma aku dan Reina yang narsis di photo itu, tapi Dony juga ikutan. Hari ini, setelah selesai main-main di taman, kita langsung pulang kerumah karena tugas kuliah udah numpuk kayak baju cucian. Nggak kerasa ternyata kita udah kuliah di sini kurang-lebih hampir 2 semester, dan selama ini hubungan kita bertiga makin dekat.
Niatnya sih seminggu lagi aku mau ngajakin dia berkencan resmi, terus nembak dia deh [jedor…jedor… deh!]. tapi masih ragu, gara-gara takut ditolak. Selama ini, Reina malah terlihat lebih dekat dengan Dony, tapi itu juga emang gara-gara aku juga sih. Karena Reina dan Dony satu jurusan, jadi aku menyuruh Dony buat nyari informasi tentang dia. selama ini, Dony tahu kalau dialah cewek yang super-duper-extra luas tempatnya di hatiku. Yah… meskipun terkadang bayangan Luzy yang selama satu minggu itu hampir mirip kayak Reina. Sebenarnya bukan Reina yang mirip Luzy, tapi Luzy yang terlihat seperti Reina saat satu minggu jadi pacarku itu.
Malam ini, aku nyari hiburan bareng orang sesat ini, huuu… udah tahu sesat terus ngapain masih di ikutin? Apalagi kalau bukan untuk hiburan, secara otakku udah mumet dan mampet selama dikampus dan di tempat kost karena makananku selalu buku. So… buat cuci mata tapi ngotorin hati, ya boleh lah cari kesenangan dikit walaupun ujung-ujungnya jadi kesengsaraan [ha…ha…ha…].
Kalau bareng Anton yang anak Jakarta asli plus teman yang lainnya, aku pasti ngomong so-gaul. Tapi, kalau bareng Dony dan Reina, ucapanku masih terdengar kayak cowok yang polos [manis dan lucu dong! Ha…ha…ha…].
“Sob, gimana target loe?” Tanya Anton yang lagi seru-serunya liatin mukanya di cermin motor.
“target apaan?” jawabku, yang balik nanya.
“itu lho, cewek yang jadi calon pacar loe”
“euh… gue kira apaan”
“udah lama deket, tapi kapan jadiannya?”
“nanti juga ada saatnya, tenang aja!”
“loe kagak takut, si Rei keburu di embat sama temen loe?”
“temen yang mana? Dony maksud loe?”
“yap! Si cowok kutu buku itu kan makin hari makin rekat banget sama si Rei”
“gue emang sengaja nyuruh dia cari info tentang Rei, wajar kalau mereka deket”
“kagak khawatir?”
“ya kagak lah!”
“se-yakin itu?”
“gue percaya sama Dony, dia bukan orang yang gampang jatuh cinta, diakan udah nungguin seseorang”
“hah! Siapa?”
“se-su-a-tu! ha..ha..ha..”
Ngapain juga aku harus khawatir? Dony, nggak mungkin suka sama Reina apa lagi dia tahu kalau aku menyukainya. Buktinya, waktu dia suka sama Luzy, dia nggak berani ngomong gara-gara aku duluan yang jadi cowoknya.
Huah… malam ini aku nge-gas motorku dengan extra. Tanpa rasa takut terjatuh aku terus ngebut membawa motor ninja berwarna merah ini. hal ini udah jadi kebiasaanku, jadi udah nggak ada rasa takut jatuh dari motor lagi, yah… palingan takut cicilan motor kaga kebayar [ha…ha…ha…].
*9*
 “Dy, buruan!” Anto menarik tanganku.
“emang ada apa?” kataku.
“liat aja ntar, loe kagak boleh lewatin yang satu ini”
“apaan sih? Ada sinetron?”
“tepatnya ada siaran sinetron yang live”
Mana ada sinetron yang tayang secara live, ngaco banget nih anak. Padahal, dikantin tadi aku lagi serius menikmati makanku. Dia tiba-tiba datang dan mengagetkanku. Baru nyampe disampingku, dia langsung teriak dan narik-narik tanganku yang mahal ini.
Dan ternyata, sekarang kita udah nyampe di TKP [ha…ha…ha…]. Saat ini, di dekat parkiran ini, dimataku ini, yang ada hanya Dony lagi ngobrol sama Reina. Terus, mana sinetronnya?. Yah… memang agak cemburu juga, soalnya mereka ngobrol dan makan bareng berdua terus kaga ngajakin sayah! Awalnya mereka cuma makan masing-masing piring mereka [oops… harusnya, melahap makanan yang ada di atas piring mereka. he…he….he…] tapi, lama-lama tangan Dony mulai kegatelan dan perlu digaruk. Masa dia ngehapus makan yang ada dibibir Reina pake tissue dan langsung pake tangannya, kenapa nggak tissuenya aja yang dia kasih! Tapi, tenang aja, diantara mereka nggak ada apa-apa walaupun belum tentu nggak terjadi apa-apa.
Anton ngotot banget, biar aku percaya kalau Dony suka sama Reina, tapi seratus kalipun dia ngulangin kata-katanya, aku akan tetap dengan pendapatku, kalau Dony nggak mungkin suka sama Reina karena dia tahu bahwa murid sekaligus sahabatnya ini suka banget-banget-banget sama Reina gadis kecilku.
“woy!” aku datang mendekati mereka dan duduk disebelah Reina.
“kenapa kesini Al?” Tanya Reina.
“lho, emang kenapa? Aku juga mau ikutan makan bareng kalian!” kataku walaupun nggak tahu apa yang mau mereka makan.
“yakin?” kata Reina.
“mas, satu lagi yah!” aku berteriak pada pedangang itu.
Akhirnya, pesanan ini siap disantap. Ternyata ini siomay. Wah… mereka malah asyik memperhatikan ekspresiku yang terkaget-kaget liat jenis makanan ini. lagian, kenapa aku nggak nanya dulu, makanan apa yang lagi mereka pesen. Lalu, kenapa aku nggak merhatiin gerobaknya yang jelas-jelas terpajang kata ‘siomay’. Kalau udah gini, mendingan cabut aja deh! Makanan ini, paling nggak mood untukku makan. Meskipun mereka berdua rakus banget menyantapnya, tetep aja sekali nggak suka tetap nggak suka. Akhirnya aku terlihat seperti lalat yang mengganggu mereka makan. Tapi, ngomong-ngomong apa yang bakalan terjadi kalau ada lalat setampan ini? cewek lalat pasti ngejar-ngejar. [ha…ha…ha…]
Aku emang nggak pernah nafsu liat jenis makanan yang satu ini sejak usiaku 5 tahun. Sebenarnya itu gara-gara kejadian konyol yang memalukan. Waktu lagi makan siomay, aku lari-lari dan akhirnya jatuh, saat itu juga lah siomayku yang ada dimulut langsung meluncur ke kerongkongan tanpa dikunyah. Apalagi kalau bukan tersedak, tapi ini parah karena siomaynya cukup besar. Dan saat itu, Reina melihatku dan mentertawakanku. Tapi, yasudahlah itu udah jadi sejarah.
“masih yakin?” Reina menyindirku.
“nggak! Aku suka semua jenis makanan, kecuali yang satu ini!” kataku.
“itu aku juga tahu, makanya kita nggak ngajak kamu” kata Reina sambil menyuapkan siomay itu.
“yaudah, kalau gitu aku balik dulu yah” aku mulai berdiri.
“siomaynya?” kata Dony.
“buat loe aja” aku berjalan kembali ketempat sebelumnya.
Anton yang maksa banget aku buat nonton mereka, masih nunggu kabar selanjutnya dariku. Lagian kenapa juga ini anak ngarep banget aku percaya kalau Dony suka sama Reina.
“gimana?” Tanya Anton.
“gimana apanya?” aku bertanya balik.
“yaelah, itu loh mereka berdua”
“mereka lagi makan siomay bukan mesra-mesraan”
“ah… loe bodoh banget sih Al, mereka emang makan siomay, tapi sambil romantis-romantisan”
“dimana-mana kalau mau so sweet itu di tempat yang romantis, masa iya di pinggir parkiran gitu”
“terserah deh, yang penting gue udah ngasih tahu”
“yaudah, ke perpus yuk! Kita nyari bahan buat tugas”
Sampai kapanpun, aku nggak mungkin percaya kalau Dony bakalan suka sama Reina. Dony mendekati Reina buat jadi mak comblang kita berdua, masa iya malahan mereka yang saling suka. Ditambah lagi, aku adalah orang dimasa lalunya Reina, yah… kalau cinta monyet buat anak-anak SMP/SMA, berarti kisah ku dan Reina panggil aja cinta anaknya monyet [ha…ha…ha…].
*10*
Setelah seharian nggak berhenti bergerak, sekarang baru kerasa deh pegal-pegalnya. Malam ini, aku lagi duduk di kursi sambil nanton TV. Ini udah jam 9 malam, tapi Dony belum balik. Kemana aja sih dia, mana ponselnya nggak bisa di hubungi lagi. Minggu-minggu ini kita memang lagi sibuk masing-masing, jadi kita jarang pulang atahu berangkan bareng.
Acara di TV nggak ada yang seru! Hoamm… aku juga mulai ngantuk, tapi Dony masih belum pulang. dari pada bosen sendirian dirumah, mendingan aku keluar dengan motorku. Tapi, janjian dulu sama Anton di tempat biasa, jalan tempat anak-anak nongkrong.
Sambil mengendarai motor di jalan ke tempat tujuan, aku masih memikirkan Dony. Sebelumnya selalu dia yang pulang lebih awal, kenapa sekarang malah telat banget dia pulang. nggak mungkin kan kalau dia diculik, dia bukan anak kecil. Jadi kemungkinan dia lagi main atau ngerjain tugas. Tapi, kalau dia main berarti sama Reina dong. Benar… sejak tadikan aku liat mereka lagi makan siomay, dan semakin hari mereka berdua juga makin deket. Tapi, sampai sekarang Reina masih biasa aja, mungkin dia masih nggak tahu kalau aku suka. Terus, kapan Dony mulai deketin kita sebagai pasangan?
 Ah… udah deh, dari pada menebak-nebak nggak tentu mendingan sekarang sebelum ke tempat trek-trekan, aku dateng dulu ke rumah Reina.
Sampai juga di rumahnya, tapi aku nggak langsung masuk. Itu karena saat ini, kejadian yang terekam dimataku secara langsung bikin hatiku mulai gerah. Ternyata Dony memang lagi di rumah Reina, tapi yang bikin parah ditempat ini adalah, Reina dan Dony duduk bersebelahan sambil mendengarkan music di ipon lewat headshet. Suasana ini membuat pikiranku mengingat masa lalu waktu di SMA. Saat Dony dan Luzy berduaan ditaman belakang, yang kulihat saat ini mirip banget sama yang pernah tayang waktu SMA, yang membedakannya hanya tempat dan waktu. Tapi, justru ini lebih romantis dari pada yang pernah aku liat waktu SMA. Sambil mendengarkan music bersama, mereka tertawa dibawah cahaya bintang. Tapi, ngomong-ngomong cahaya bintang, aku mulai mengingat Luzy lagi. Ah… udahan deh! Sekarang bukan waktu yang tepat buat mengenang masa lalu.
Sekarang aku bakalan nyamperin mereka dan marah sama Dony. Yah… aku mulai melangkahkan kakiku, selangkah, dualangkah, dan akhirnya aku berhenti sebelum sampai di dekat mereka. Langkahku terhenti setelah aku melihat setumpuk buku di samping Reina. Saat ini aku berpikir, mungkin saja mereka lagi ngerjain tugas dan duduk santai berdua itu setelah menyelesaikan tugasnya. Lagian seharusnya aku percaya sama Dony. Aku putuskan untuk segera pergi dari tempat ini sebelum mereka sadar dengan kedatanganku. Aku pergi diam-diam karena saat datangpun diam-diam.
Benar… mereka juga sahabatan, wajar aja kalau mereka duduk sedekat itu. Walaupun terlihat kayak yang lagi pacaran, tapi nggak mungkin lah! Mana mungkin? Benar… sekali lagi, mana mungkin?
Meskipun udah berkali-kali berusaha meyakinkan hatiku ini kalau kedekatan mereka malam itu nggak lebih dari sahabat, tetep aja hati ini masih kepanasan dan perlu di kipasin. Huah… yasudahlah, yang penting aku harus berusaha percaya.
Setelah sampai di arena balapan ini, aku melampiaskankan semua yang aku rasa lewat kecepatan motor ini. aku menjalankan motor ini sangat cepat dan bahkan lebih cepat dari biasanya. Dan… sampai di garis finish, tetep aja ada yang lebih cepat dariku. Tapi, setidaknya aku yang ke-2. Orang itu juga pasti lagi kesal, makanya ngendarain motornya super-duper cepat.
Orang yang mengalahkan ku itu mengulurkan tangannya, dan akupun menjabatnya. Dengan busana yang berwarna hitam dia terlihat lebih keren dariku, tapi bukan berarti lebih ganteng, karena sampai sekarangpun dia nggak ngebuka helmnya, mungkin kurang PD dengan wajahnya [ha…ha…ha…].
Eits… ternyata sekarang dia mulai membuka helmnya, dan saat itu juga rambut panjangnya terurai. Hah? Kupikir dia lelaki, ternyata perempuan, ah… ternyata yang mengalahkan ku seorang wanita. Tapi, sepertinya aku mengenali wajah ini, tatapan dan senyumannya udah nggak asing lagi. Benarkah? Ternyata, cewek ini Luzy. Hebat… ternyata aku bertemu dengan dia lagi. Dia memang bukan cewek biasa, bahkan hal seperti inipun mampu dia lakukan?
“woy!” Luzy mengagetkan ku yang sejak tadi tertegun melihat wajahnya.
“emmm…” aku menundukan kepala karena bingung mau bilang apa.
“apa kabar?” Tanya Luzy dengan tenang.
“baik, kamu?” jawabku singkat.
“sangat baik”
“oh… baguslah”
Luzy menatapku seakan-akan ada yang salah denganku “ada apa denganmu, kenapa jadi kaku gitu?” kata Luzy.
“wah, ini sifat barumu lagi?” kataku.
“sorry, sifat baru?” Tanya Luzy yang mulai kebingungan.
“saat SMP kamu pendiam, masuk SMA jadi jutek, dan selama satu minggu jadi sangat ceria, dan sekarang kamu mulai bertingkah aneh. Sebenarnya mana sifat aslimu?” kataku panjang lebar.
“nanti juga kamu tahu, seperti apa sifatku yang sebenarnya” kata Luzy sambil memakai helmnya lagi.
Luzy pergi dengan motornya. Bodoh… kenapa aku nggak sempat meminta nomor ponselnya. Tapi, ucapannya itu terdengar seakan-akan dia yakin kita bakalan ketemu lagi. Yah… mungkin karena dia bakalan sering ketempat ini dan pastinya ditempat ini juga kita ketemu lagi. Ahh… bertemu dengan dia membuatku mulai bertanya-tanya lagi. Dia kayak soal matematika, sulit tapi kadang bisa menyenangkan dengan proses yang panjang untuk menemukan jawabannya.
Sekarang udah waktunya balik ke kost-kostan. Ternyata, Dony udah pulang bahkan sekarang dia lagi asyik dengan mimpinya. Akupun harus segera tidur karena besok harus ke kampus pagi-pagi.
*11*
Hari ini, aku masih harus menyelesaikan tugasku, dan tentunya masih harus ngumpulin bahan sebanyak mungkin. Jadi aku harus rajin-rajin ke perpus. Keliling-keliling nyari buku, tapi bingung juga nyari buku apa [ha…ha…ha…].
“a..aw” suara itu seperti suara Reina.
Aku mendekati suara itu berasal dan ternyata memang benar itu Reina. Seperti dugaanku, pasti bukan hanya Reina, karena akhir-akhir ini dimana ada Reina disitulah ada Dony. Aku hanya bisa diam karena waktu terasa sulit bergulir. Secara, saat ini aku melihat mereka bersikap seperti pasangan, bahkan bukan seperti, tapi memang pasangan. Jika orang lainpun melihatnya, orang akan berpendapat sama denganku. Karena, tidak akan ada sahabat yang dekat seperti kedekatan mereka. ini perpustakaan, tapi mereka melakukan tindakan tercela! Dan kenapa harus Dony dan Reina?
“bruk” aku melemparkan buku yang aku pegang ke lantai, dan mereka mulai menghentikan apa yang mereka lakukan. Saat ini, mereka berdua melihatku dan akupun terus menatap mereka dengan penuh rasa kesal. Setelah beberapa menit dalam tempat yang menyebalkan ini, aku mengambil kembali buku yang kulemparkan karena aku memang membutuhkan buku itu. Setelah itu, aku membalikan badanku dan berlari keluar.
“Al, gue udah dapet bukunya, loe gimana” Tanya Anto sambil menyodorkan buku yang dia bawa, tapi aku mengabaikannya dan melanjutkan langkahku.
Aku sangat kesal dengan apa yang kulihat tadi. Saat ini aku bener-bener butuh waktu buat menengangkan pikiranku. Aku terus berjalan keluar dan sampailah di kursi dekat pohon yang cukup besar. Aku mencoba menjernihkan pikiranku. Tapi, apa yang kulihat tadi itu sulit ku lupakan begitu saja. Wajar jika aku cemburu, karena aku menyukainya.
“bantu aku menghabiskannya!” tiba-tiba saja ada suasana yang membuatku berhenti mengingat kejadian itu.
Aku menengok kesebelah kiri dekat pohon itu, dan ternyata aku benar-benar dikejutkan oleh pemilik suara itu. Dia Luzy, saat ini dia tersenyum dan menyodorkan ice cream padaku. Aku terus melihat senyumannya. Tapi kali ini, bukan senyuman menakutkan ataupun senyuman yang ceria, melainkan senyuman yang sangat tenang dan membuatku merasa tenang juga melihatnya.
“cepat ambil, aku mulai pegal!” kata Luzy.
“eh… emm…” aku mengambil ice cream itu.
Setelah itu, dia langsung duduk di sebelah ku “oke aku setuju!” kata Luzy, yang entah apa maksudnya.
“setuju apa?” tanyaku yang selalu kebingungan didekatnya.
“bukankah ucapanmu yang terakhir memintaku untuk memperpanjang waktu jadian kita selama satu minggu lagi” Luzy tersenyum.
“ah… kamu masih ingat hal itu” aku menggaruk kepala ku karena malu “eh… tapi, kenapa kamu bisa ada disini?” tanyaku.
“ini kampusku, jadi nggak anehkan kalau aku ada disini”
“tapi, aku nggak pernah liat kamu”
“kampus kita inikan sangat luas, kita juga beda jurusan. Dan, setiap ada kamu aku pasti sembunyi”
“hah? Ngapain sembunyi segala?”
“ngapain lagi kalau bukan karena ingin kamu temukan?”
“apa?”
“jadi, gimana? Ucapanmu malam itu masih berlaku nggak?” Luzy kembali menanyakan hal itu.
“emm… sorry Luz, tapi saat ini aku nggak bisa” jawabku dengan penuh rasa bersalah.
“karena Reina?”
“tahu dari mana?”
“selama ini yang bersembunyikan aku, bukan kamu”
“maksudnya?”
“lupakanlah” Luzy melihat kebelakang “kayaknya ada yang mau ngomong deh!” kata Luzy yang langsung pergi.
Otomatis, aku langsung melihat apa yang terjadi, aku langsung menengokan kepalaku dan ternyata, Reina ada di belakangku.
“Al” Reina mendekatiku dan langsung duduk menggantikan Luzy.
“ada apa?” kataku kesal.
“apa yang kamu liat nggak sama kayak apa yang kamu pikirin”
“sama banget kayak sinetron!” kataku dan langsung pergi meninggalkannya.
aku langsung keparkiran untuk mengambil motorku, karena aku harus bertemu dengan Dony, yang ternyata mempermainkan kepercayaanku. Aku dan motorku terus melaju melalui jalan ini hingga sampai di kost. Ternyata Dony yang selama ini jadi sahabat yang siap sedia setiap saat malah jadi orang yang paling membuatku kesal.
*12*
Dony yang lagi anteng duduk sambil nonton TV, seakan-akan nggak ada apapun yang terjadi, aku seret keluar dan apa lagi yang kulakukan kalau bukan memberinya pukulan.
Aku mengepalkan tanganku dengan penuh rasa emosi dan aku mulai meluncurkan pukulan di wajahnya, tapi lagi-lagi tanganku terasa kaku setelah aku berpikir bahwa dia sahabatku. Akhirnya aku menurunkan tanganku dan hanya menarik kerah bajunya.
“kalau mau jadi maling, harusnya loe nyuri buat keluarga loe, tapi loe malah jadi maling dalam keluarga loe sendiri” tanganku masih menarik kerah bajunya.
Dony mencoba melepaskan kerah bajunya yang kutarik hingga aku melepaskannya “tadi di perp–” kata Dony.
“Don!” aku berteriak memotong pembicaraannya “gue tulus sayang sama loe, tapi itu sebelum hari ini” aku pergi meninggalkannya.
“tapi…” Dony berteriak dan menghentikan langkahku “hari ini, besok. Atau kapanpun, loe tetep sahabat gue” lanjutnya.
Aku berjalan kembali mendekatinya dan saat itu. Aku langsung mengepalkan tanganku dan meluncurkan pukulanku tepat di wajahnya, dan ujung bibir Dony pun berdarah. Jujur, saat ini aku sangat ingin meminta maaf dan mengobatinya karena merasa bersalah, tapi rasa marahku saat ini lebih besar dari perasaan bersalah itu. Aku langsung pergi dan membawa motorku.
aku terus menjalankan motorku, dan terus mencoba menenangkan pikiranku. Sebenarnya apa yang harus kulakukan? Oke, aku memang menyukainya dan sangat wajar jika cemburu, tapi hanya wajar, karena aku nggak punya hak untuk cemburu terhadap Dony dan Reina, karena bagaimanapun juga aku masih sahabatnya Reina dan bukan pacarnya.
Selama inipun Dony selalu mengalah, masalah apapun dia akan selalu mengalah untuku. Bahkan, meskipun dia menyukai Luzy, dia nggak bilang apapun dan hanya diam menyembunyikan perasaannya agar aku tetap jadian sama Luzy. Oke, sekarang waktunya aku mengalah. Tadi jelas-jelas Reina datang dan bilang kalau apa yang kulihat nggak sama seperti apa yang aku pikirkan, berarti aku hanya salah paham.
Setelah memikirkan semuanya, aku memutar balik motorku dan kembali ke kost-kostan untuk meminta maaf. Setelah sampai, ternyata pintu kost ditutup dan akupun membukanya.
“ahh…” kata Dony yang merasakan sakit karena pukulanku tadi.
Saat ini, ternyata Reina ada disini dan bahkan dia sangat teliti mengobati luka Dony. Lalu, apa ini masih salah paham?
Reina dan Dony melihatku yang sedang berdiri di sela pintu. Apa lagi yang harus kulakukan sekarang, nggak mungkin kalau aku melanjutkan niatku untuk meminta maaf. Rasa kesalku semakin bertambah.
“sumpah… gue nyesel udah balik ketempat ini!” kataku dan langsung membanting pintu sekeras mungkin.
“Al” mereka berteriak memanggilku, tapi aku terus mengabaikannya.
Aku membawa motorku pergi dan terus menjalankannya dengan kecepatan yang melebihi batas normal, ini lebih cepat dari sebelumnya, semua ini karena aku sangat kesal.
Apa yang membuatku kesal, kurasa bukan hanya cemburu, tapi aku merasa mereka mempermainkanku dan Dony menghianatiku, tapi sebenarnya aku juga menyesal karena mungkin setelah kejadian ini aku dan Dony nggak bersahabat lagi. Tidak… aku nggak peduli, masih ada Anton dan anak-anak yang lainnya.
Motorku terus melaju dengan cepat dan rasa kesalku terus menyelimuti hati dan pikiranku. Dan, motorku bertambah cepat dan semakin cepat, hingga… semuanya gelap!
Kejadian yang hanya beberapa detik itu membuatku terjatuh dari motorku dan aku tidak bisa melihat sekelilingku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya…
*13*
Saat ini aku merasakan sakit di kepalaku dan tubuhku yang lainnya, tapi kurasa aku mulai sadar.
“Al” aku yakin itu suara ibu
“kamu sadar, nak?” dan yang ini adalah suara bapa.
Aku mencoba membuka mataku untuk memastikan bahwa itu memang ibu dan bapa. Saat ini aku berhasil membuka mataku, tapi meskipun begitu aku tidak bisa melihat apapun karena ruangan ini terlalu gelap. Tunggu… tidak mungkin ruangan ini tidak ada lampunya, pasti ada yang salah denganku, tepatnya lagi dengan mataku. Ada apa ini? aku buta?.
“nggak mungkin” berulang kali aku mengucapkan kata itu dengan teriakan yang sepertinya membuat bapa dan ibu khawatir.
Setelah dokter memeriksa ku, ternyata benar… “aku buta!”. Kornea mataku rusak saat kecelakaan, dan aku bisa melihat lagi, jika ada donor mata untukku. Tapi, itu tidak semudah seperti donor darah. Kali ini aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun. Apa gunanya hidup tanpa mata, mana mungkin aku bisa bertahan tanpa melihat apapun. Kini, aku menyalahkan Dony, semua ini karena dia!
“Al” aku mendengar suara Dony.
“pergi loe!” aku berteriak mengusirnya!
“sorry, Al”
“pergi! Loe senengkan liat gue buta? Reina jelas lebih milih loe!” aku semakin mengeraskan suaraku.
“Al, please jangan gitu!” tiba-tiba aku mendengar suara Reina.
“oh… ternyata ada Reina juga, jadi sekarang kalian mau ngetawain gue bareng-bareng?”
“Al”
“PERGI!” entah apa yang aku lemparkan saat ini, tapi yang jelas aku berhasil membuat mereka keluar.
Bapa dan ibu berusaha menenangkanku, tapi akupun mendengar ibu menangis melihatku begini. Sekarang apa yang harus ku lakukan? “apa? apa? apa?”.

*13*
Selama satu bulan ini, Luzy terus menemaniku dengan sifatnya yang membuatku tenang. Ternyata ini sifat dia sebenarnya. Hangat dan tenang. Sampai sekarang, aku nggak pernah dengar lagi kelanjutan kisah dari Reina dan Dony. Karena nggak ada seorangpun yang berani membicarakan masalah itu, yah… kecuali Luzy yang keras kepala.
“kamu yakin, itu perasaan cinta?” Tanya Luzy memulai obrolan kita.
“apa lagi kalau buka cinta?” jawabku.
“tapi, bukankah cinta itu menumbuhkan kasih sayang dan bukan permusuhan?”
“aku mau tidur sekarang!” aku menghindari percakapan ini.
“yaudah, semoga dalam tidurmu, ada mimpi, dan dalam mimpimu ada masa lalumu”
“keluarlah, aku mau tidur”
Apa bedanya aku membuka atau menutup mataku saat tidur? Bukankah sama saja, sekalipun mataku terbuka aku tetap tidak bisa melihat apapun seperti orang yang menutup matanya.
Sebenarnya aku nggak mau tidur, hanya ingin menjauh dari Luzy, karena dia sering membicarakan tentang Dony dan Reina, ini bukan pertama kalinya. Dia selalu membahas mereka.
Aku hanya berbaring di kasur, dan tidak tertidur. Tapi, tiba-tiba saja aku mendengar suara di luar ruang rawatku.
“pokoknya aku mau masuk!” sepertinya itu suara Reina.
“ nggak bisa, belum saatnya!” dan ini pasti Dony.
“kenapa sih kamu minta Luzy buat jaga Aldy, padahal kalau aku yang menjaganya dia juga pasti mau!”
“dia masih kesal sama kamu”
“bukan aku, tapi kamu! Dia marah sama kamu! Aldy nggak mungkin marah sama aku, bukannya dia menyukaiku?”
“please! Kali ini, berhentilah bersikap kekanak-kanakan”
“udah cukup, Aldy lagi tidur!” suara Luzy mulai terdengar.
“selama satu bulan ini, kamu nggak berusaha ngerebut Aldy kan?” kata Reina.
“bukankah kamu selalu ada setiap aku lagi sama dia?” Luzy
“udah cukup!” kata Dony.
“ah… kamu nggak pernah ngerasain hal ini, kamu nggak pernah ngerti tentang perasaan ini. Kenapa kamu malah deketin Aldy sama dia sih? Aldy itu dari awal menyukaiku dan harusnya kita jadian” suara Reina.
“kamu yang nyuruh aku buat bikin dia salah paham karena kamu pengen liat seberapa besar rasa sukanya sama kamu. Rei, cinta itu bukan permainan dan bukan juga tes” Dony membalas perkataan Reina.
“ahh… udah aku pergi! Sampai kapanpun kamu nggak bakalan ngerti dengan apa yang aku rasain!”
“aku lebih mengerti perasaan itu dari pada kamu, karena aku merasakannya sejak awal, hanya bisa bersamanya tapi tidak bisa memilikinya, mencintainya tapi harus melepaskannya, bukankah itu yang kamu rasakan?”
Suara mereka semua tidak terdengar lagi. Sekarang, tidak ada apapun yang kudengar. Tapi, apa maksud semua ini? jika aku menebak dari apa yang ku dengar, beararti selama ini Reina juga menyukaiku dan dia sengaja membuatku salah paham dengan kedekatannya sama Dony biar dia bisa liat seberapa besar aku menyukainya. Dasar gadis bodoh! Kenapa dia selalu bersikap seperti itu diusianya sekarang ini? tapi apa gunanya semua yang ku dengar. Selama ini, selama satu bulan terakhir ini aku berhasil membiasakan diri untuk tidak menyukainya. Bisa dibilang, perasaanku sudah berkurang dan bahkan hampir tidak ada!
Jadi selama satu bulan inipun, mereka berdua membantu Luzy mengurusku? Ternyata mereka ada disampingku meskipun aku tidak merasakannya. Bagaimanapun juga, sekarang aku tahu kebenarannya dan sangat berterimakasih karena mereka tetap menjadi sahabatku.
“Diary itu, kamu sudah mengisinya?” suara Luzy terdengar tenang.
“emm… maksih Luz” kata Dony.
“Dony, aku harap nanti dimanapun kau berada, tersenyum dan bahagialah”
“ini, nanti berikan ini padanya!”
Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Reina pasti sudah pergi, karena aku hanya mendengar suara Luzy dan Dony. Tapi, pembicaraan mereka kali ini, aku sama sekali tidak mengerti. Yasudahlah, lagi pula suara kedua orang itu sudah tidak terdengar lagi.
*14*
Sudah dua minggu aku di berada Bandung, dan selama ini bukan ibu atau bapa yang mengurusku, tapi Luzy. Dia tiba-tiba datang menyusulku ke Bandung setelah kejadian di rumah sakit itu dan memintaku untuk menjadikannya perawat. Awalnya aku nggak mau, tapi dia terus maksa dan akhirnya waktu ibu dan bapa membawaku pulang ke Bandung, Luzy diam-diam mengikutiku dan entah dengan cara apa, dia berhasil menjadi perawatku.
“buka mulutmu, aa…” kata Luzy yang saat ini sedang menyuapiku.
“udah, mana sendoknya. Aku bisa sendiri!” aku membentak Luzy.
“tapi, aku ingin menyuapi mu”
Aku menghempashan tanganku dan ternyata pas pada sendok yang saat itu sedang di pegang Luzy. Sepertinya sendok itu jatuh karena aku mendengar suara “treng..”
“Aldy” suara Luzy terdengar begitu lembut. “jika permintaanmu yang waktu itu sudah tidak berlaku lagi, kalau begitu sekarang izinkan aku yang memohon satu permintaan” jelasnya.
“aku nggak mau”
“sampai matamu sembuh” pintanya.
“lalu, setelah itu kamu akan menghilang lagi seperti sebelumnya. Begitu?”
“emm… karena memang seharusnya begitu”
Setelah menutup mulut beberapa menit, akhirnya aku mulai berbicara kembali.
“baiklah, sampai mataku bisa melihat, kau adalah pacarku”
“serius?” suara Luzy mulai kegirangan, sayang aku tidak bisa melihat senyumnya.
“sebenarnya, kenapa kau selalu datang membantuku setelah itu pergi tanpa kabar?”
“karena aku menyukaimu. Aku suka dan aku akan membantumu, dengan begitu aku bisa menjadi orang yang berguna dimata orang yang aku sukai”
“hanya itu?”
“aku kebelakang dulu yah, mengganti sendok. Setelah itu, kamu harus menghabiskan makananmu”
*14*
Setelah selesai menyuapiku, Luzy mendorong kursi rodaku. Dengan tenangnya, aku begitu nyaman di dekatnya. Meskipun saat ini hanya warna hitam pekat yang ada di pandanganku, tapi aku yakin sekarang aku berada di luar rumah. Karena, udaranya mulai terasa.
“selamat sore, Kak!” suara itu terdengar kompak di telingaku.
“kau tahu, dimana kita sekarang?” kali ini, hanya satu suara yang terdengar, dan itu Luzy.
“dimana?” tanyaku.
“kita di taman, tempat dulu saat kita jadi pasangan satu minggu”
“lalu suara anak kecil itu?”
“mereka ada di hadapanmu”
“untuk apa?”
“memberi energy positif”
“apa maksudmu?”
“mereka dihadapanmu, tapi kau tidak bisa melihatnya dan hanya bisa merasakannya, kan? Begitu juga sebaliknya”
Aku terdiam begitu mendengar ucapan Luzy. Apa itu artinya, anak-anak itu buta? Lalu, apa maksudnya Luzy membawaku bertemu dengan mereka? energy positif apa yang dia maksud?
“kakak akan memberi tahu kalian tentang teman kakak ini, kalian semua ingin mendengarkannya, kan?” suara Luzy yang begitu ceria mulai terdengar keras.
“iya!” anak-anak itu terdengar keras.
“baiklah, kakak mulai. Panggil saja dia kak Aldy. Dia begitu baik dan menyenangkan, karena itu, kakak akan meninggalkan kalian dengan kak Aldy” jelasnya pada anak-anak itu.
“eh, Luz” secara spontan, aku langsung memanggil Luzy, karena jika dia pergi siapa yang akan menuntunku? Semua orang disini buta, kecuali Luzy.
“aku ke warung dulu sebentar, mereka harus dikasih minum dan makanan, kan?” itu ucapan terakhir Luzy.
Sepertinya Luzy benar-benar pergi, karena sebanyak apapun aku memanggil namanya, dia sama sekali tidak menjawab.
“kak Aldy, apa kakak pernah melihat daun?” Tanya salah seorng dari mereka.
“emm… tentu. Warnanya hijau dan hampir berbentuk oval”
“kita bahkan tidak tahu, seperti apa warna hijau itu” kata yang lainnya.
“kalian sama sekali tidak pernah melihatnya?”
“kita semua buta sejak lahir”
Apa? sejak lahir? Setidaknya aku lebih beruntung, aku bisa melihat semua hal sebelum aku buta, tidak ada benda yang belum pernah ku lihat. Tapi, mereka hidup dalam kegelapan sejak lahir. Pasti sangat menyedihkan tidak bisa melihat apapun semasa hidupnya, yang ada hanya warna hitam.
“kakak, karena kak Aldy bisa melihat, tolong katakan pada kita semua seperti apa tempat ini. udaranya begitu sejuk, pasti tempat ini begitu menyenangkan” pinta seorang anak.
Jadi, Luzy tidak memberi tahu mereka bahwa aku juga buta? Apa yang bisa ku lihat? Saat ini mataku tidak bisa melihat apapun. Tapi, setidaknya aku pernah datang ke taman ini, bahkan sering. Jadi, aku akan menceritakan semua yang aku ingat dari taman ini.
“ada pohon yang besar dan kokoh, lalu ada kursi disebelah pohon itu. Di taman ini, begitu banyak tumbuhan. Nah, di sebelah kiri pohon itu jika berjalan lima langkah, maka kalian akan tiba di kolam ikan. Di sebrang adalah…”
Aku terus menceritakan semua hal di tempat ini meskipun sebenarnya aku tidak melihat apapun, tapi aku mengingatnya karena pernah melihatnya. Dan, semoga saja mereka bisa mengingat keindahannya lewat apa yang mereka dengar.
*15*
“awan, bunga, tanah, air” aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan “aku hidup kembali, Luz” kataku.
“memangnya selama ini kamu mati?” jawabnya.
“mataku yang mati” aku menghela nafas. “aku mau ketemu sama Reina dan Dony” lanjutku.
“yaudah, tunggu sebentar”
Satu minggu setelah aku menceritakan banyak hal pada anak-anak yang tidak bisa melihat itu, aku mendapatkan kabar baik. Aku dapat donor mata. Sekarang, aku bisa melihat dunia ini lagi. Lagit itu biru, awan putih, daun hijau, dan seluruh warna dan bentuk yang ada. Aku sangat-sangat bahagia. Siapapun yang mendonorkan matanya, aku sangat berterimakasih. Tapi, lebih berterimakasih lagi jika aku bisa melihat keindahan dunia ini bersama dengan orang-orang yang tidak bisa melihat. Jika mata bisa dipinjamkan, aku akan memohon agar orang yang memiliki mata yang sempurna bisa meminjamkan matanya pada orang yang buta meskipun hanya 5 detik untuk melihat sehelai daun. Mulai sekarang aku akan lebih berhati-hati menjaga mata ini.
Saat ini, aku menunggu Luzy kembali bersama Reina dan Dony. Aku juga merindukan mereka, sekarang aku sangat ingin memeluk mereka dan bercanda bareng mereka lagi. Mulai sekarang, apapun yang terjadi mana mungkin aku menyalahkan kedua sahabatku itu. Hanya salah paham yang kecil, tidak seharusnya membuat persahabatan kita berantakan.
“ini” Luzy kembali dan menyodorkan sebuah buku.
“emm..” aku mengambil buku tersebut “mana Dony dan Reina?” tanyaku.
“Reina bentar lagi datang, tapi Dony…”
“kenapa?”
“kamu akan tahu setelah melihat buku itu”
“Al” teriakan yang nyaring itu tiba-tiba terdengar. Benar, ternyata Reina datang.
“Rei” aku berlari mendekatinya dengan tatapan yang bahagia [tapi, bukan cinta].
“ternyata, kamu suka juga sama aku?” aku menyindirnya.
“ihh… GR banget!”
“ngaku aja!”
“sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi sahabat dan ibuku, aku datang untuk pamit sama kamu”
“emangnya mau kemana?”
“aku lanjutin study ke luar, kemungkinan nggak bakalan balik lagi”
“lho, tap–”
“Luzy” Reina berteriak memanggil Luzy “titip ibuku yah!” Reina tersenyum dan pergi.
Menyebalkan, sekarang saat aku sudah bisa melihat lagi dia malah pergi. Tapi, Dony? Aku baru ingat kalau tadi Luzy memberiku sebuah buku. Ternyata ini buku Diary yang Luzy hadiahkan saat ulang tahun Dony. Lalu, tujuannya memberiku diary ini untuk apa? daripada penasaran, aku langsung membuka diary ini dan ternyata diary yang awalnya hanya berisi ‘selamat ulang tahun’ ini, sekarang menjadi padat dengan tulisan tangan Dony.
“langsung baca lembar terakhir aja, Al” kata Luzy.
Aku pun menurutinya dan membaca buku ini langsung pada lembar terakhirnya.
“lewat mata ini, aku akan tetap hadir menjadi sahabatmu dan lewat mata ini aku akan tetap melihat orang yang aku sukai. Jaga mata itu dan Luzy seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini”
Tanpa kusadari, ternyata air mata mulai membasahi pipiku “Don” suaraku mulai melemah.
“itu mata Dony, jangan di pake nagis!” Luzy mencoba menenangkanku.
“tapi, kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.
“sejak dulu aku tahu Dony punya penyakit yang bisa membuatnya mati kapan saja, karena itulah aku memberinya Diary untuk menuliskan kejadian yang dia lalui selama dia hidup”
“sejak kapan? Dan kenapa kamu nggak pernah ngasih tahu aku?”
“semua pertanyaan yang membuatmu penasaran akan terjawab setelah kamu membaca Diary ini”
Benar… lewat diary ini, aku bisa melihat semua kejadian yang kita alami lewat sudut pandangnya. Lewat diary ini, aku mengerti apa yang dia rasakan, lewat diary ini juga aku belajar banyak dari kata-kata yang dia rangkai, dan lewat mata ini Dony akan tetap hidup sebagai orang yang berpengaruh dalam memotivasiku.
Tidak semua hal yang ku lakukan sama dengan apa yang orang lain harapkan. Dalam hidup ini aku harus belajar melakukan, memikirkan, dan menginginkan sesuatu setelah kita mempertimbangkannya. Karena, dunia ini bukan hanya milikku, tapi dunia ini juga milikmu, dia, mereka, kalian, dan siapapun. Jadi, aku harus belajar melihat hal lewat sudut pandang orang lain, tidak hanya melihat pendapat diri sendiri.
Lewat diary nya, Dony mengajarkanku hal yang paling penting yang wajib ku ketahui.

1 komentar: